Sejumlah pihak meragukan komitmen Taliban pada perlindungan perempuan. Rekam jejak Taliban saat berkuasa di Afghanistan, tahun 1995 hingga 2001, menorehkan catatan yang buruk.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
Kabul telah jatuh ke tangan Taliban. Kini, kelompok yang dikenal berhaluan keras itu menguasai Afghanistan.Di tengah hiruk-pikuk berita tentang Bandara Kabul yang dipenuhi warga Afghanistan yang ingin meninggalkan negara itu, Taliban menyerukan bahwa akan memimpin dengan damai, termasuk jaminan pemenuhan hak-hak perempuan.
Sejumlah pengamat politik internasional menanggapi pernyataan Taliban itu dengan skeptis. Salah satu poin yang menjadi pertanyaan adalah di Kabul mungkin Taliban bisa menunjukkan sikap yang cenderung moderat karena, sebagai ibu kota Afghanistan, ada banyak wartawan media asing serta kantor perwakilan internasional yang menjadi pengawas. Akan tetapi, standar yang sama diragukan bisa diterapkan di kota-kota lain, apalagi pelosok.
Dalam wawancara eksklusif Kompas dengan Melinda Holmes, Direktur Program Jaringan Aksi Masyarakat Internasional (ICAN) itu mengaku sukar untuk memercayai janji Taliban. ICAN adalah salah satu divisi dari Aliansi Perempuan untuk Kepemimpinan dan Keamanan (WASL), sebuah organisasi internasional yang bermarkas di Amerika Serikat. Jaringan mereka mencakup pegiat perempuan dan hak asasi manusia di Afghanistan.
”Satu hal yang pasti, rekan-rekan kami di Afghanistan dilanda kekhawatiran dan berusaha untuk menyelamatkan diri,” kata Holmes.
Terkait pernyataan Taliban mengenai perempuan tetap boleh bekerja dan mengenyam pendidikan, Holmes menjelaskan bahwa pendidikan bukan sekadar membaca dan menghafal teks pelajaran. Pendidikan berarti mengembangkan jaringan sosial, berkolaborasi, memecahkan masalah, berpikir kritis, belajar kepemimpinan, dan terlibat aktif di masyarakat.
”Di negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim, seperti Indonesia, hal ini merupakan aspek yang sangat didorong untuk kalangan perempuan karena ada faktor budaya yang kuat terhadap kemajuan perempuan,” paparnya.
Janji Taliban
Sebagaimana diberitakan, Taliban untuk pertama kalinya menggelar taklimat media di Kabul pada Selasa (17/8/2021) pukul 20.00 waktu setempat. Mereka mengatakan akan menjamin hak semua warga Afghanistan dan tidak akan menyakiti siapa pun, baik mereka yang menentang keberadaan Taliban maupun para perempuan yang telah menikmati pendidikan dan karier.
”Perempuan adalah bagian yang penting dari pembangunan masyarakat. Taliban menjamin keselamatan mereka. Perempuan akan tetap diizinkan bersekolah dan bekerja selama sesuai dengan hukum Islam,” kata juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid.
Sebelumnya, dalam proses merebut pemerintahan Afghanistan dari Presiden Ashraf Ghani, Taliban membubarkan perkantoran dan menyuruh para perempuan yang bekerja untuk segera pulang. Di Kabul, mereka mengecat poster-poster yang menampilkan perempuan, baik di salon, pertokoan, maupun baliho.
Zabihullah dalam jumpa pers juga menyampaikan bahwa Taliban tidak akan membalas dendam kepada para pihak yang menentang mereka. Warga Afghanistan yang bekerja sebagai anggota staf lokal atau penerjemah untuk kedutaan asing tidak akan menjadi incaran. ”Taliban akan membentuk pemerintahan berlandaskan hukum Islam dan siap berkorelasi dengan dunia internasional,” ujarnya.
Skeptis
Akan tetapi, dengan catatan sejarah yang ada dan konteks budaya di Afghanistan, warga setempat tidak bisa menelan bulat-bulat janji Taliban. Masyarakat Afghanistan selama dua dekade terakhir telah bekerja keras untuk memajukan perempuan. Sekarang, perempuan menduduki posisi sebagai duta besar, gubernur, dan wali kota bukan sesuatu yang asing di sana.
”Fakta bahwa Taliban merebut pemerintahan membuktikan bahwa masyarakat, termasuk kaum perempuan, tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan untuk menentukan nasib dan arah bangsa sendiri,” ujar Holmes.
Sementara itu, Koordinator Aliansi Muslim Asia Tenggara (AMAN) Indonesia Dwi Rubiyanti Kholifah menanyakan lebih lanjut mengenai kerangka hukum Islam yang dipakai Taliban. Pasalnya, setiap kelompok Muslim memiliki penafsiran yang berbeda-beda.
”Dalam konteks Taliban, dunia tidak memiliki pembanding kecuali rekam jejak mereka 20 tahun lalu yang kebijakannya sangat tidak ramah terhadap perempuan,” katanya.
Selain itu, Taliban tidak dianggap sebagai pemerintahan yang sah oleh dunia. Mereka merupakan kelompok bersenjata yang merebut kekuasaan dari pemerintah dan tidak memakai mekanisme demokrasi. Dwi menuturkan, negara-negara, termasuk Indonesia, harus gencar melakukan komunikasi untuk membangun perdamaian dengan Taliban. Hanya dengan demikian, Indonesia bisa dilibatkan dalam mengawasi dan menjaga pemenuhan HAM di Afghanistan.