Menerapkan Pendekatan Keindonesiaan untuk Dakwah Islam di AS
Sudah 25 tahun Imam Shamsi Ali menetap di New York, AS. Selama itu pula ia menggerakkan kerukunan antarumat beragama di Negara Paman Sam dan menebar corak Islam Indonesia yang menekankan wajah harmoni dan damai.
”Melakukan dialog interfaith memang banyak tantangan, tapi untungnya saya orang Indonesia yang terbiasa dengan cara komunikasi luwes,” demikian kutipan wawancara dengan Imam Shamsi Ali dengan Kompas pada Senin (9/9/2021) melalui sambungan telepon.
Sudah 25 tahun ia menetap di kota New York, Amerika Serikat. Warga asli Bulukumba, Sulawesi Selatan, itu giat menjadi tokoh agama serta pegiat kerukunan antarumat beragama maupun antarkomunitas.
Selama itu pula, Shamsi giat menggerakkan kerukunan antarumat beragama di ”Negara Paman Sam”. Menurut dia, terkadang lebih susah melakukan dialog di dalam satu aliran agama dibandingkan dengan antaragama. Pasalnya, satu golongan di dalam satu aliran agama terkadang menganggap aliran mereka yang paling benar.
Baca juga : Menyemai Toleransi
Shamsi menuturkan, bermula dari kejadian 11 September 2001 ketika gedung World Trade Center di New York hancur akibat serangan teroris Al Qaeda. Peristiwa itu mengubah wajah hubungan antarmanusia dan antarbangsa. AS yang selama ini dianggap negara majemuk, apalagi kota New York yang penduduknya sangat beragam, ternyata masih hidup dalam segregasi.
Berbagai kecurigaan dan penghakiman muncul, terutama kepada kelompok Muslim dan migran yang diasosiasikan dekat dengan ideologi kekerasan. Apalagi, peristiwa besar 9/11 itu terjadi di New York dan memengaruhi dinamika dunia.
Beberapa hari selepas peristiwa 9/11, Shamsi yang saat itu merupakan imam di Pusat Kebudayaan Islam new York mendampingi Presiden George W Bush mengunjungi lokasi kejadian. Di sana, ia berdialog dengan pemimpin tertinggi AS itu mengenai pentingnya mengedepankan kerukunan antarumat beragama.
Baca juga : Toleransi Yes, Perundungan No
”Di situ para tokoh agama di New York mulai bertemu dan berdiskusi. Pelan-pelan membangun jaringan untuk mencari cara membuat jembatan tidak hanya antarumat beragama, tetapi untuk warga New York yang beragam,” tutur Shamsi.
Corak Indonesia
Selama tiga tahun, Shamsi terus mengembangkan dialog dengan penganut dan tokoh agama lain. Hal ini mendapat tentangan dari sebagian kelompok Islam di New York. Di kota ini terdapat setidaknya 1 juta umat Muslim. Khusus yang dari Indonesia atau keturunan Indonesia, jumlahnya hanya 2.000 orang. Sisanya berasal dari Timur Tengah, Benua Afrika, dan Asia Selatan.
”Perlu diingat bahwa dalam memahami agama sendiri banyak yang terpengaruh dengan budaya asal. Hal ini yang membuat pendekatan intra-agama menjadi lebih sukar dibandingkan dengan antaragama. Beberapa kelompok lebih memilih eksklusif dan tidak mau bersinggungan dengan kelompok lain,” ujar Shamsi.
Meskipun demikian, Shamsi tidak menyerah. Menurut dia, ini karena sifat sebagai orang Indonesia. Pembawaan orang Indonesia jauh lebih luwes dan—sembari bercanda—bisa dibilang kadang-kadang sok kenal dan sok akrab dengan pihak yang mungkin berlawanan dengan kita.
Salah satu contohnya, pada tahun 2004 ketika Paus Yohannes Paulus wafat. Shamsi diundang berbicara di salah satu stasiun televisi swasta bersama tokoh-tokoh agama non-Katolik untuk memberi pesan dan kesan mengenai Sri Paus di mata agama lain. Di acara itu, Shamsi bertemu dengan tokoh agama Yahudi. Selama ini, antara komunitas Muslim dan Yahudi sukar membangun komunikasi akibat masih kentalnya prasangka yang telah terjadi selama berabad-abad.
”Pada pertemuan pertama itu komunikasi antara saya dan rabi juga terkendala karena masih dipengaruhi prasangka, tetapi yang penting saya sudah mendapat kontak beliau,” tutur Shamsi.
Baca juga : Teruslah Serukan Toleransi
Beberapa pekan setelahnya, Shamsi mengontak rabi itu dan mengajak untuk melakukan diskusi lintas agama Islam dan Yahudi. Mereka melibatkan 25 tokoh agama Islam dan 25 tokoh agama Yahudi di Amerika Utara. Artinya, meskipun sama-sama beragama Islam ataupun Yahudi, para tokoh ini memiliki latar belakang budaya asal yang berbeda-beda sehingga membuat diskusi menjadi lebih dinamis.
Shamsi tidak menampik fakta bahwa tidak semua pihak yang terlibat dalam diskusi itu berminat untuk melanjutkan komunikasi. Bagi mereka yang tetap menjalin hubungan pun juga terjadi pasang dan surut karena isu agama sangat sensitif dan terpengaruh oleh berbagai kejadian di belahan Bumi.
”Di sini memang lebih rumit. Di satu sisi, pendekatan ala Indonesia memang tidak begitu saja melepas kontak dan tetap menjalin silaturahmi meskipun pihak yang lain terkesan enggan. Di sisi lain, pamor Indonesia belum kuat di AS, termasuk di komunitas Muslim,” papar Shamsi.
Shamsi menjabarkan, pamor Indonesia sangat bergantung pada peran Indonesia di kancah internasional. Di skala politik global, Indonesia belum menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Demikian pula dengan komunitas Muslim global, contohnya Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Meskipun Indonesia memiliki jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, reputasinya masih kalah dibandingkan negara-negara Timur Tengah dalam kepemimpinan.
”Ini masalah yang berkelindan karena kita masih terpaku pada pemahaman bahwa ajaran Islam identik dengan budaya Timur Tengah. Padahal, Islam di Indonesia memiliki banyak sekali nilai kemajemukan yang bisa menjembatani berbagai aliran ataupun pikiran seperti agama Islam, demokrasi, dan pluralisme bisa berjalan berdampingan. Namun, tanpa dukungan kekuatan politik Indonesia di dunia, persepsi Islam Indonesia ini akan sulit disebarluaskan,” ucap Shamsi.
Ia menjelaskan, prinsip Islam dalam pandangan Indonesia yang dipahaminya ialah menghormati berbagai perbedaan, baik intraagama, antaragama, maupun antarmanusia. Akan tetapi, di dalamnya terdapat batasan-batasan, yaitu mengetahui ketika kebebasan bereskpresi berakhir dan tanggung jawab sosial dimulai. Prinsip ini yang kerap berselisih dengan budaya Barat yang umumnya mengutamakan kebebasan berekspresi, misalnya melakukan pengejekan kepada semua orang tanpa ada yang dipandang sakral.
Prinsip Islam dalam pandangan Indonesia yang dipahaminya ialah menghormati berbagai perbedaan, baik intraagama, antaragama, maupun antarmanusia.
”Hal penting yang selalu saya pegang ialah kritik itu berbeda dari menghina. Jika hendak mengkritik sah-sah saja selama jelas isu yang dikritik. Akan tetapi, menghina itu bukan mengkritik karena sifatnya menyakiti orang lain. Menghina dengan memakai kedok kebebasan berekspresi, menurut saya, sama dengan perundungan karena menafikan persepsi orang lain dan mengutamakan persepsi pribadi,” papar Shamsi.
Baca juga : Jalan Panjang Merawat Toleransi
Sifat Islam dari persepsi Indonesia ini juga yang mendatangkan berbagai tantangan, bahkan cibiran dari sebagian kelompok Muslim di AS. Atas dasar tentangan ini, Shamsi tidak lagi menjabat sebagai ketua Pusat Kebudayaan Islam New York. Ia beralih menjadi imam di Pusat Islam Jamaika yang skalanya jauh lebih kecil, tetapi di saat yang sama masih aktif berkegiatan dengan pemerintah kota maupun Negara Bagian New York.
Pesantren pertama di AS
Bagi Shamsi, melakukan dakwah Islam yang berpersepsi Indonesia tidak bisa hanya dengan ceramah keagamaan di masjid, tetapi dengan aksi nyata yang langsung bersentuhan dengan berbagai lapisan masyarakat. Ini sebabnya Shamsi, selain menjadi imam di Pusat Islam Jamaika, juga aktif berkegiatan di Balai Kota New York sebagai pembimbing spiritual. Di samping itu, ia juga masih aktif melakukan kegiatan lintas agama.
”Kesehatan jiwa sekarang menjadi perhatian masyarakat, apalagi pandemi Covid-19 mengakibatkan banyak orang yang kesepian karena terisolasi. Juga banyak yang tertekan akibat kehilangan pekerjaan,” ujarnya.
Menurut Shamsi, tugas menjadi pendamping spiritual di Balai Kota New York itu tidak hanya untuk warga Muslim di New York, tetapi untuk semua orang. Di dalamnya ia menyampaikan pesan-pesan positif berbasis nilai-nilai keislaman tanpa perlu melakukan ceramah keagamaan. Pesan kemanusiaan, kesetiakawanan, dan saling membantu adalah sejatinya nilai Islam yang harus dipraktikkan, bukan sekadar diucapkan.
Selain itu, sejak tahun 1998 Shamsi bersama Yayasan Nusantara yang didirikannya telah membeli tanah di kota Moodus, Negara Bagian Connecticut. Per Februari 2021, luas lahan yang dibeli adalah 10,5 hektar. Di sana ia mendirikan pesantren pertama di AS yang diberi nama Pesantren Nur Inka Nusantara Madani.
Santrinya kini ada 45 laki-laki dan perempuan dengan kisaran usia 12-18 tahun. Mereka adalah warga Muslim AS dari berbagai latar belakang etnis. Adapun guru-gurunya ada yang dari Indonesia dan AS yang juga berlatar belakang majemuk.
Baca juga : Embusan Toleransi dan Empati
Ketika baru membeli lahan tersebut, Shamsi dan Yayasan Nusantara melakukan ramah tamah dengan warga kota Moodus. Caranya ialah mengadakan acara makan-makan dengan hidangan utama sate khas Indonesia. Awalnya, ada warga yang malu-malu untuk datang karena menganggap berpakaian tidak pantas.
”Kami tidak mempermasalahkan hal tersebut. Pelan-pelan warga akan belajar mengenai busana yang pas untuk ke masjid atau pesantren. Ini kan sama dengan mengenal busana yang pas untuk ke gereja atau ke tempat ibadah apa pun,” tuturnya.
Di acara tersebut warga bertanya mengenai Islam dan arah pendidikan Pesantren Nur Inka Nusantara Madani. Dari obrolan santai itu Shamsi memperkenalkan ciri khas Islam di Indonesia yang bersifat inklusif. Silaturahmi ini tetap terjaga karena hingga kini warga banyak meminjam fasilitas olahraga ataupun aula pesantren untuk kegiatan rutin.
”Warga sering main (bola) basket di lapangan pesantren dengan para guru. Santri-santri kami juga luwes dan bergaul dengan anak-anak setempat. Ini dakwah yang lebih efektif karena menunjukkan Muslim AS memiliki prinsip keagamaan tersendiri, tetapi tetap menyatu sebagai bangsa AS, dan di dalam kemajemukan itu juga ada nilai-nilai keindonesiaan,” papar Shamsi.
Yayasan Nusantara kini telah memiliki cukup biaya untuk memberi program beasiswa kepada sejumlah ustaz muda Indonesia. Melalui penyaringan dan wawancara, terpilih lima ustaz juga pendakwah yang selama dua bulan akan keliling AS. Mereka, antara lain, akan berkunjung ke Universitas Harvard, Universitas Yale, Institut Teknologi Massachusetts (MIT), serta berbagai tempat ibadah untuk bertemu dengan akademisi dan tokoh-tokoh agama guna memperluas wawasan mengenai kerukunan antaragama dan antarmanusia.