Dulu Ikut Berburu Peluru, Kini Diplomat Mengejar Vaksin dan Obat
Saat perang kemerdekaan RI, sembari menggalang dukungan bagi kedaulatan negara, diplomat ikut mencari senjata untuk lawan penjajah. Saat perang melawan pandemi Covid-19, diplomat beradu cepat mencari senjata lawan wabah.
Untuk menghadapi penjajah, dibutuhkan aneka senapan, meriam, berikut pelurunya. Sementara senjata melawan wabah berupa vaksin, obat, dan aneka peralatan kesehatan.
Tidak kalah penting juga dari mencari alat untuk memenangi perang adalah mengumpulkan modal untuk hidup setelah pandemi. Sementara pandemi harus diakhiri, kehidupan harus dilanjutkan menuju yang lebih baik lagi.
Baca juga: Potret Timpang Dunia dalam Penguasaan Vaksin
Seperti waktu perang kemerdekaan, banyak tantangan kala mencari senjata melawan virus korona baru penyebab Covid-19. Nasionalisme vaksin, aturan hak atas kekayaan intelektual (HAKI), hingga keterbatasan bahan baku yang menghambat produksi vaksin dan obat Covid-19 menjadi tantangan yang harus ditembus korps diplomat Indonesia masa kini.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi selalu menjadikan pembahasan penanggulangan pandemi dalam agenda pembicaraan dengan para mitranya. Dalam lawatan ke Amerika Serikat, awal Agustus ini, ia membahas hal itu. Dalam aneka pertemuan 1,5 tahun terakhir, materi itu juga terus dibahas Retno dan para diplomat Indonesia.
Hasilnya, per 6 Agustus 2021, Indonesia telah menerima 180 juta dosis vaksin berbagai merek. Sepanjang Agustus ini, Indonesia juga menanti kedatangan hingga 43 juta dosis vaksin Johnson & Johnson, AstraZeneca, Pfizer, dan Sinovac. Selain dari pembelian, sebagian vaksin itu disumbangkan negara lain baik melalui mekanisme bilateral maupun multilateral.
Memang, lembaga-lembaga di Indonesia mencatat jumlah vaksin secara berbeda. Kementerian Luar Negeri mencatat sesuai jumlah yang datang. Adapun Kementerian Kesehatan dan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi mencatat angka komitmen.
Karena itu, kedua kementerian tersebut mencatat jumlah vaksin yang diamankan sudah lebih dari 450 juta dosis. Dengan target sasaran vaksinasi 208 juta orang, jumlah dosis yang sudah didapat lewat aneka komitmen itu sudah lebih dari cukup.
Baca juga: 9 Juta Dosis Vaksin Sumbangan Siap Masuk Indonesia
Indonesia memang telah mengikat kontrak ratusan juta dosis dengan berbagai produsen. Sinovac, Pfizer, AstraZeneca, dan Novavax berjanji memasok lebih dari 300 juta dosis vaksin ke Indonesia.
Selain itu, melalui fasilitas Covax dan multilateral, Indonesia dijanjikan mendapat hingga 108 juta dosis vaksin. Ada pula komitmen hibah hingga 12 juta dosis vaksin. Semua itu untuk keperluan vaksin yang ditanggung pemerintah. Adapun untuk vaksin gotong royong, ada komitmen hingga 20 juta dosis vaksin.
Ada pula pemerintah sejumlah negara memberikan donasi dengan syarat Indonesia membantu memvaksinasi warga mereka di sini. Permintaan itu diajukan di tengah pembatasan gerak lintas negara sehingga warga beberapa negara tertahan di Indonesia.
Permintaan khusus itu sulit dipenuhi. Aturan membuat hanya WNI atau WNA pekerja di perwakilan diplomatik asing dan lembaga internasional bisa divaksinasi oleh pemerintah Indonesia. Kala diupayakan terobosan, ada penolakan sejumlah pihak karena dianggap komersialisasi vaksin.
Hambatan
Seorang diplomat senior menekankan pentingnya berhati-hati dalam memandang komitmen pengadaan vaksin. Dalam norma internasional dikenal asas pacta sunt servanda. Secara ringkas, lanjut diplomat yang menolak namanya diungkap tersebut, asas itu menegaskan para pihak terikat harus mematuhi perjanjian yang telah ditandatangani.
Sejumlah perusahaan multinasional kerap menggugat pemerintah berbagai negara karena dianggap melanggar asas itu dalam aneka kontrak antara pemerintah dan perusahaan lintas negara.
Kini, dalam masalah pasokan vaksin dan obat untuk Covid-19, sebagian perusahaan tidak bisa benar-benar mematuhi kontrak yang disepakatinya. AstraZeneca, misalnya, tidak berhasil memenuhi jadwal pasokan pada Indonesia, Australia, Thailand, hingga Uni Eropa.
Baca juga: China Target Berikan 2 Miliar Dosis Vaksin Covid-19
Perwakilan AstraZeneca di Thailand, James Teague, pernah menyebut bahwa saat ini ada kesulitan bahan baku dan bahan pendukung. Hal itu membuat produsen sulit memastikan berapa banyak vaksin bisa dibuat dan kapan bisa dikirimkan ke pemesan.
Fenomena yang disebut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai nasionalisme vaksin menjadi salah satu hambatan produksi vaksin dan obat Covid-19. WHO menggunakan istilah itu merujuk pada negara yang melarang ekspor vaksin, obat, peralatan produksi, serta bahan bahan baku obat dan vaksin, hingga peralatan kesehatan.
AS, India, Inggris, dan Uni Eropa adalah sebagian pihak yang terpantau menerapkan pelarangan itu. Dampaknya, banyak negara kesulitan mendapatkan obat, vaksin, dan aneka peralatan kesehatan. Beberapa negara tersebut plus negara lain, seperti Singapura, Australia, Jepang, dan Bangladesh, belakangan memasok vaksin, obat, ventilator, oksigen, dan peralatan kesehatan ke Indonesia.
Sejak awal masa pandemi, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mencatat peningkatan hambatan dagang untuk produk kesehatan dan bahan-bahan terkait produksi obat. Hambatan diterapkan puluhan negara produsen produk kesehatan, obat, bahan baku obat kala dunia sedang sangat membutuhkan aneka kebutuhan itu. Sampai kini, sebagian hambatan itu masih berlaku.
Indonesia menggunakan semaksimal mungkin semua saluran diplomatiknya untuk mengatasi tantangan tersebut. Di aras multilateral, Indonesia terus mendorong kesetaraan akses atas vaksin dan obat Covid-19. Melalui WTO, Indonesia ikut aktif mendesak penangguhan HAKI untuk obat dan vaksin Covid-19.
Sejauh ini, Eropa masih menolak wacana itu karena menganggap masalahnya bukan HAKI. Eropa menuding gangguan pasokan bahan baku menjadi penyebab utama gangguan produksi sehingga pengiriman pesanan vaksin terhambat. Penangguhan HAKI juga diklaim menyulitkan kontrol produksi sehingga dikhawatirkan ada obat dan vaksin palsu beredar.
Terobosan
Sementara Indonesia dan banyak negara berpendapat, penangguhan HAKI memungkinkan obat dan vaksin diproduksi di mana saja. Karena itu, Indonesia tidak hanya memanfaatkan WTO. Dalam 1,5 tahun terakhir, Indonesia menelaah penggunaan prinsip “compulsory licensing government use”.
Dalam keadaan darurat, seperti bencana atau pandemi, asas itu memungkinkan pemerintah suatu negara memerintahkan industri nasionalnya membuat produk tanpa izin pemegang HAKI. Namun, royalti tetap dibayar kepada pemegang HAKI.
Baca juga: Dukungan Penghapusan Paten Vaksin Covid-19 Meluas
Seorang diplomat lain menyebut, memang ada peluang pemegang HAKI menggugat pemerintah yang menerapkan asas itu. Peluang ini telah dikaji oleh bagian hukum di lintas kementerian, dan Indonesia sudah bersiap.
Dengan memanfaatkan asas itu, Indonesia akan memproduksi sejumlah obat yang dibutuhkan dalam penanganan pasien Covid-19. “Penggunaan prinsip itu sesuai asas salus populi suprema lex esto, keselamatan warga adalah hukum tertinggi," kata diplomat yang enggan diungkap namanya itu karena tidak berwenang menjelaskan langkah Indonesia soal penyediaan vaksin dan obat tersebut.
Meski tidak menampik ada faktor lain, ia menyebut bahwa keterbatasan obat jadi salah satu penyebab 4,3 juta orang meninggal akibat Covid-19 di berbagai negara. Meski mau dan mampu, sebagian negara tidak bisa membeli obat. Sebab, negara produsennya melarang ekspor.
Tidak hanya cara itu dipakai Indonesia untuk mendapatkan obat. Upaya diplomatik dalam 1,5 tahun terakhir memungkinkan Indonesia membeli atau mendapatkan sumbangan aneka obat dan peralatan kesehatan. Nilai donasi obat dan peralatan kesehatan mencapai ratusan juta dollar AS. Ada obat yang per butirnya bisa berharga lebih dari Rp 1 juta. Sementara peralatan kesehatan dan penunjang perawatan bisa bernilai belasan juta rupiah per unit.
Vaksin, obat, dan aneka peralatan kesehatan sama pentingnya dalam perang menghadapi virus Covid-19. Virus ini telah menginfeksi 205 juta orang dan menewaskan 4,3 juta jiwa di berbagai negara. Vaksin untuk pertahanan di luar ruang perawatan, obat dan peralatan kesehatan untuk senjata di ruang perawatan.
Modal bangkit
Tentu Indonesia tidak hanya membeli dan mencari donasi. Indonesia juga berusaha mengembangkan sendiri vaksin dan obat Covid-19. Selain vaksin Merah Putih yang dikembangkan Lembaga Eijkman, Indonesia mendekati lembaga beberapa negara untuk mengembangkan vaksin dan obat Covid-19.
Selain oleh pemerintah, pendekatan-pendekatan itu juga dilakukan oleh badan usaha. Pengembangan bersama itu bagian dari upaya mendorong peningkatan industri kesehatan nasional.
Wabah ini memang tidak pandang bulu dan siap menginfeksi siapa pun jika ada peluang. Butuh kerja sama semua pihak untuk memenangi perang melawan Covid-19. Menlu Retno selalu menekankan, tidak ada yang selamat sampai semua selamat.
Baca juga: G-20 Pertimbangkan Iuran Dana Pandemi Rp 1.086 Triliun
Ia juga menekankan bahwa kehidupan selepas pandemi juga harus dipikirkan. Sembari terus mencari cara melawan, harus pula digali cara hidup setelah wabah pergi atau setidaknya terkendali. Selain kerja sama pengembangan vaksin dan obat, Indonesia menerjemahkan cara itu dengan mendorong peningkatan perdagangan lintas negara.
Perdagangan internasional adalah salah satu cara negara meningkatkan kesejahteraan nasionalnya. Perdagangan internasional memungkinkan negara mendapat dana yang, antara lain, bisa digunakan untuk menangani pandemi. Indonesia juga terus meyakinkan berbagai negara segera merealisasikan investasinya.
Realisasi investasi berarti tambahan modal untuk menggerakkan perekonomian. Jika perekonomian bergerak, lapangan pekerjaan baru dihasilkan dan ada tambahan orang mendapatkan upah atau hasil penjualan terkait aktivitas yang ditimbulkan investasi. Agar investasi bisa masuk dan perekonomian bergerak, butuh pergerakan orang.
Karena itu, Retno juga gigih mendorong pembukaan gelembung perjalanan yang memudahkan pergerakan orang lintas negara di tengah pandemi. Pembatasan gerak terbukti membuat banyak aktivitas perekonomian melambat hingga berhenti.
Tidak semua pembicaraan dan kegiatan dapat dilakukan secara virtual. Sebagian membutuhkan kehadiran fisik para pihak terkait. Teknisi tidak bisa memasang mesin dari jarak jauh. Mereka harus datang ke lokasi.
Semua dilakukan di tengah perang melawan wabah yang belum jelas kapan akan berakhir. Setiap perang butuh senjata dan diplomat, sejak masa perang kemerdekaan RI hingga kini saat negeri ini melawan pandemi. Para diplomat itu terus terlibat mencari senjata dan peluru.
Berbagai kerja diplomasi itu ditempuh sebagai bagian dari tugas dan tanggung jawab Pemerintah RI melindungi warganya. Peran ini tidak hanya dilakukan negara. Sejumlah anak bangsa di luar negeri, atau yang belakangan kerap disebut diaspora, ikut memegang andil penting.
Carina Citra Dewi Joe atau kerap dipanggil Carina Joe bahkan berada di lini ujung tombak penemuan vaksin Covid-19. Ia salah satu ilmuwan yang terlibat dalam penemuan vaksin AstraZeneca. Lulusan SMAK 1 BPK Penabur Jakarta, yang melanjutkan studi ke Australia, itu bekerja sebagai magang post-doc di Institut Jenner, University of Oxford, Inggris, saat pandemi Covid-19 melanda dunia awal 2020.
Saat mengerjakan produksi vaksin AstraZeneca, Carina—salah satu dari enam pemegang paten vaksin itu—bekerja bersama tim kecil. ”Dalam hal apa pun, motivasi saya ialah bisa berguna bagi sesama. Saya hanya berusaha sebaik mungkin sesuai kapasitas saya sehingga hasil kerja saya bisa memberikan manfaat yang baik bagi masyarakat Indonesia dan dunia,” tutur Carina kepada Kompas.
Perlindungan WNI
Di Korea Selatan, meski tak terkait langsung pandemi, Ketua Serikat Pekerja Perikanan Indonesia (SPPI) Korea Selatan Ari Purboyo ikut terlibat melindungi WNI, khususnya para pekerja bidang kelautan dan perikanan. Saat ini belasan ribu pekerja migran Indonesia dari total 42.000 WNI di Korsel bekerja di sektor perikanan.
Masalah berat yang sering harus ditangani atau dicarikan informasi penanganannya adalah kasus-kasus anak buah kapal (ABK) dari Indonesia yang mengalami perlakuan buruk dan tak manusiawi di kapal asing. Ari mencontohkan kasus 14 ABK kapal China, Long Xin 629, yang terdampar di Korsel dan tak bisa pulang karena tak ada biaya, Mei 2020. Semula ada 18 ABK, tetapi tiga di antaranya meninggal karena sakit dan jasad mereka dibuang ke laut.
Geregetan dengan perlakuan buruk yang kerap dialami pekerja migran asal Indonesia, Ari menggugat aturan terkait perlindungan pekerja migran di Korsel dalam sidang parlemen negara itu, September 2020.
Di Jerman, ilmuwan muda Hutomo Suryo Wasisto tidak terlibat langsung dalam perlindungan WNI, seperti Ari di Korsel. Namun, peran Hutomo tak kalah penting, yaitu membangun rantai kokoh antara dunia riset dan industri teknologi dengan melibatkan putra-putri Indonesia.
Hutomo, yang kini berstatus permanent residency khusus untuk individu berkualitas di Jerman, tengah membangun perusahaan rintisan bidang teknologi, PT Nanosense Instrument Indonesia, di Yogyakarta. Nanosense, yang dirintisnya di sela-sela bekerja sebagai Insinyur Senior Pengembangan Produk MEMS Sensors di Infineon Technologies AG, Muenchen, salah satu perusahaan teknologi semikonduktor terbesar di Eropa, memberikan beasiswa bagi mahasiswa dengan mengadopsi sistem di Jerman.
”Kami ingin perusahaan (Nanosense) ini berbasis riset dan pengembangan, bukan hanya jual beli barang, melainkan lebih mengembangkan teknologi tinggi,” ujar Hutomo.
Di Australia, Presiden Kusuma Indonesia Community Australia Incorporated (KICA Inc) Thia Taylor menyebut kegiatan lembaganya di wilayah Gold Coast dan Brisbane, Queensland, sebagai bagian dari soft diplomacy Indonesia. KICA Inc rutin menggelar beragam kegiatan budaya dan promosi Indonesia, antara lain, melalui pentas kesenian tari, musik, peragaan busana, pameran kuliner, dan pengenalan bahasa Indonesia.
"Memperkenalkan budaya ini bentuk soft diplomacy yang efektif karena akan bisa menarik minat pengusaha, wisatawan, dan pelajar untuk datang ke Indonesia. Jika banyak orang datang ke Indonesia, perekonomian Indonesia juga akan meningkat," kata Thia.
Tentu, berbagai ide dan rencana kreatif-inovatif itu bakal lebih mudah diwujudkan jika pandemi Covid-19 teratasi. Sementara upaya memenangi perang melawan pandemi terus dilakukan, tak kalah pentingnya juga mempersiapkan kehidupan pascapandemi menuju arah yang lebih baik lagi. (DNE)