Dari Jerman, Berikhtiar Mengibarkan Indonesia melalui Riset dan Produk Nyata
Dari pengalaman riset dan inovasi di Jerman, Hutomo Suryo Wasisto mengembangkan perusahaan teknologi, melibatkan warga Indonesia. Diharapkan, hasilnya berupa produk inovasi ”made in Indonesia” dan ”made by Indonesians”.
Oleh
LUKI AULIA
·5 menit baca
Ilmuwan muda Hutomo Suryo Wasisto kini tengah membangun perusahaan rintisan bidang teknologi, PT Nanosense Instrument Indonesia, di Yogyakarta. Pengalaman riset dan inovasi selama berada di Jerman ingin diwujudkan dalam bentuk produk jadi dengan melibatkan orang-orang Indonesia, terutama anak muda Indonesia, baik lulusan S-1, S-2, ataupun S-3. Ia ingin mewujudkan produk inovasi dari Nanosense yang made in Indonesia dan made by Indonesian.
”Kami ingin perusahaan ini berbasis riset dan pengembangan, bukan hanya jual beli barang, melainkan lebih mengembangkan teknologi tinggi. Ini salah satu mimpiku untuk berkontribusi sebagai ilmuwan yang bisa menghasilkan produk. Tidak hanya memberikan tambahan untuk ilmu pengetahuan melalui paper ilmiah,” kata Hutomo kepada Kompas, pekan lalu.
Hutomo saat ini memegang status permanent residency khusus untuk individu berkualitas di Jerman. Ia mengembangkan PT Nanosense di sela-sela waktunya bekerja sebagai insinyur senior pengembangan produk MEMS Sensors di Infineon Technologies AG, Muenchen, Jerman. Di salah satu perusahaan teknologi semikonduktor terbesar di Eropa itu, Hutomo bekerja di bagian riset dan pengembangan untuk produk sistem mikroelektromekanis dan sensor untuk belajar mengembangkan produk berbasis teknologi tinggi.
Nanosense juga memberikan beasiswa untuk mahasiswa dengan mengadopsi sistem yang ada di Jerman. Di Jerman, orang bisa melakukan program doktor di industri dengan topik riset yang ada di perusahaan. Namun, nantinya kandidat doktor itu akan meraih gelar doktor dari rekan riset di universitas. Ini yang juga dilakukan Nanosense. Dan, mereka pun akan diberikan gaji setara dengan insinyur di Indonesia.
”Saat ini Nanosense bekerja sama dengan program studi Fisika Universitas Gadjah Mada. Jadi, di perusahaan saat ini ada beberapa kandidat doktor dan juga ada yang sedang mengerjakan tesis master dengan tema riset di perusahaan. Ini supaya mahasiswa bisa terbiasa dengan lingkungan dan tantangan di industri, dan keterampilannya akan terasah ketika mereka belajar. Jadi, ketika sudah lulus nanti bisa langsung kerja dan tidak bingung harus apa dan ke mana,” kata Hutomo.
”Saya ingin hasil dari riset itu tidak hanya artikel ilmiah di jurnal internasional bereputasi, tetapi juga produk yang bisa dinikmati masyarakat. Saya masuk ke industri dulu supaya nanti ilmunya bisa saya terapkan untuk perusahaan-perusahaanku di Indonesia. Nanosense salah satunya,” kata Hutomo.
Ia pun saat ini masih memimpin proyek riset internasional tentang baterai nano, bekerja sama dengan Indonesia dan Thailand. Perusahaan Nanosense juga sudah terlibat dalam pengembangan GeNose C19 dan dalam waktu dekat akan ada produk-produk teknologi tinggi lainnya. ”Saya ingin seperti perusahaan di Jerman yang bisa maju di bidang produk teknologi, dan komunitas ilmiahnya juga berkembang,” kata Hutomo.
Selama ini, Hutomo tak mau hanya bekerja sama dengan perguruan tinggi di Indonesia atau mengajar saja. Ia memilih terjun ke industri teknologi agar lebih memahami proses lanjutan dari sekadar karya ilmiah. Ia tak mau menjadi akademis yang sekadar mengajari ilmu wirausaha, tetapi sekaligus mengajari praktiknya. Berhubung sudah memahami dunia akademisi dan industri, ia menyimpulkan pentingnya sinergi di antara dua dunia itu.
Selama menjadi dosen tamu di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia, Hutomo menyadari banyaknya mahasiswa lulusan ilmu dasar, seperti fisika, kimia, biologi, dan matematika, yang kesulitan memasuki dunia industri. Padahal di Jerman hal itu tidak terjadi.
Masalahnya, lulusan ilmu-ilmu dasar itu kerap dipandang sebelah mata. ”Saya ingin anak muda Indonesia semangat menjadi ilmuwan dan ilmuwan itu tidak harus jadi dosen. Mau jadi seperti Elon Musk juga bisa. Yang penting lakukan saja, jangan banyak bicara,” ujar Hutomo.
”Saya bersyukur bisa punya perusahaan dan menyediakan beasiswa dan lapangan pekerjaan. Di Jerman ini saya tidak mau jadi karyawan biasa saja tapi harus menonjol dan berprestasi supaya Indonesia-nya juga muncul," kata Hutomo menambahkan.
Kebebasan riset
Sebagai peneliti Indonesia, Hutomo berpendapat, arti kemerdekaan adalah memiliki kebebasan untuk menentukan arah riset dan pengembangan sendiri serta kemampuan menghasilkan teknologi dan produk berbasis sains yang bisa bersaing dengan produk negara-negara maju, seperti Jerman. Bangsa Indonesia mempunyai kemampuan melakukan riset dan memproduksi teknologi tinggi sendiri.
”Bersama tim Nanosense, saya berharap bisa mengajak anak muda Indonesia bergabung mengembangkan produk teknologi berbasis sains sehingga negara luar bisa melihat karya berkualitas dari peneliti dan insinyur Indonesia, baik berupa artikel ilmiah di jurnal bereputasi maupun produk komersial yang bermanfaat bagi masyarakat,” kata Hutomo.
Selalu konsisten bekerja keras, menghasilkan produk, dan berkolaborasi dengan peneliti-peneliti di Indonesia menjadi salah satu cara Hutomo menunjukkan kecintaannya pada Indonesia. Ketika konsisten dan terus produktif dalam bekerja, secara tidak langsung orang Jerman dan negara-negara lain akan mengenal dan mengetahui kualitas kemampuan warga Indonesia. Ini memberi dampak positif seperti keinginan menjalin kerja sama dengan Indonesia dalam lingkup lebih besar.
”Untuk kolaborasi riset dan publikasi ilmiah, saya selalu berusaha melibatkan peneliti dari Indonesia sehingga saya paling senang ketika melihat banyak nama peneliti Indonesia di daftar penulis dalam artikel ilmiah di jurnal bereputasi,” kata Hutomo.
Berbagai upaya kerja sama antara perusahaan di Jerman dan kampus-kampus di Indonesia dilakukan Hutomo. Ia merindukan Indonesia yang memiliki teknologi atau produk berbasis sains yang diakui dunia.
Hutomo optimistis Indonesia bisa maju dalam hal riset dan pengembangan karena semakin banyak peneliti-peneliti muda Indonesia berkualitas tinggi. Hal ini dilihat dari catatan publikasi ilmiah dan berbagai upaya mengembangkan teknologi canggih, seperti teknologi nano dan kuantum.
Namun, lanjut Hutomo, harus dihilangkan dulu ego besar para peneliti. Indonesia akan semakin kuat dan cepat maju jika para peneliti mau bekerja sama dan mendukung satu sama lain, baik untuk keahlian maupun fasilitas riset. Sesama peneliti Indonesia di dalam maupun luar negeri harusnya berkolaborasi mengembangkan teknologi.
”Bukan malah saling mencibir dan menjatuhkan. Kalau berbagai keahlian dan talenta sains digabungkan, suatu saat nanti Indonesia akan selalu dipertimbangkan dalam perkembangan teknologi dan sains dunia,” kata Hutomo.