PM Baru Belum Dipilih, Kebuntuan Politik Tunisia Berlanjut
Kelompok masyarakat sipil di Tunisia telah memperingatkan soal akibat dari kekosongan kekuasaan. Mereka meminta Presiden Saied untuk segera menunjuk seorang PM dan secara terbuka memaparkan rencana politiknya.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
TUNIS, SABTU — Kebuntuan politik masih mendera Tunisia meski Presiden Kais Saied telah berjanji untuk menyusun peta jalan pemerintahannya. Sebelumnya terjadi gejolak politik yang berujung dengan penggulingan Perdana Menteri Hichem Mechichi dari kursi jabatannya. Pembekuan parlemen Tunisia dinilai memperlambat pemulihan sekaligus membawa ketidakpastian politik di negara itu.
Sebagaimana diwartakan, krisis politik di Tunisia berlanjut setelah Presiden Saied memecat Menteri Pertahanan Ibrahim Bartaji dan Penjabat Menteri Kehakiman Hasna Ben Slimane pada akhir Juli lalu. Pertikaian bersenjata juga membayangi negara itu sekalipun Saied, sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata, telah mengeluarkan peringatan bagi para lawan politiknya untuk tidak mengangkat senjata.
Pemecatan para pejabat teras Tunisia oleh Saied dilakukan secara beruntun. Sehari sebelum memecat menteri dan penjabat menteri, dirinya telah menggulingkan PM Mechichi. Sang presiden juga memerintahkan pembekuan parlemen selama 30 hari. Ennahdha, partai politik terbesar, menyebut langkah Presiden Saied sebagai ”kudeta”.
Pemilihan PM baru dan penjelasan soal masa depan pemerintahan oleh Presiden Saied ditunggu publik Tunisia. Posisi publik terbelah keputusan presiden membekukan parlemen. Mereka yang mendukung merasa pilihan untuk melucuti kekebalan anggota parlemen sebagai hal yang tepat. Namun, sebagian warga lain khawatir dengan kekuatan tak terbatas pada Saied setelah pembekuan itu.
Ketidakpastian membebani ekonomi Tunisia yang sudah compang-camping setelah satu dekade kerusuhan dan aneka tekanan politik. Hal itu diperburuk oleh pandemi Covid-19 yang telah membawa sistem kesehatan negara itu ke ambang kehancuran.
Ketidakpastian membebani ekonomi Tunisia yang sudah compang-camping setelah satu dekade kerusuhan dan aneka tekanan politik. Hal itu diperburuk oleh pandemi Covid-19 yang telah membawa sistem kesehatan negara itu ke ambang kehancuran. Dampak paling kentara adalah pukulan telak bagi sektor pariwisata, salah satu sektor vital bagi kinerja ekonomi Tunisia.
”Perlu ada peta jalan, untuk situasi saat ini dan apa yang akan terjadi selanjutnya,” kata Aymen Bensallah, seorang analis di pemantau parlemen Bawsala. Ia mengingatkan masalah-masalah baru yang mungkin muncul jika posisi-posisi politik tidak segera diisi. ”Semata untuk menunjukkan bagaimana kita akan kembali ke konstitusi,” katanya menambahkan.
Banyak warga Tunisia mendukung langkah Saied untuk melucuti anggota parlemen dari kekebalan mereka. Langkah itu disebut sebagai langkah yang berani. Hal itu dilihat sebagai langkah yang sudah lama tertunda melawan kelas politik yang korup dan tidak kompeten.
Menurut sebuah lembaga swadaya pengawas peradilan, I Watch, sebanyak 14 anggota parlemen menghadapi persidangan. Mereka menghadapi sejumlah tuduhan, termasuk penipuan pajak, korupsi, konflik kepentingan, dan bahkan pelecehan seksual. ”Beberapa anggota parlemen menghadapi tuntutan dan menggunakan kekebalan parlemen mereka untuk melindungi diri mereka sendiri,” kata Bensallah.
Analis Hatem M’rad mengatakan, langkah Saied ”berisiko”. Sebelumnya para penentang Saied telah memperingatkan gejala ”pembersihan” yang dilakukan Saied. ”Presiden haus akan keadilan. Namun, pencarian mutlak akan keadilan itu berisiko,” katanya.
Banyak pengamat mengingatkan kemungkinan Tunisia akan jatuh pada kekuasaan yang absolut. Hal itu becermin dari peristiwa penangkapan Yassine Ayari. Ia adalah seorang warga sipil yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan militer pada 2018 karena mengkritik tentara.
Kelompok masyarakat sipil di Tunisia juga telah memperingatkan soal akibat dari kekosongan kekuasaan. Mereka meminta Saied untuk menunjuk seorang PM dan secara terbuka memaparkan rencananya. Partai Ennahdha, yang dilihat sebagai salah satu target utama dari langkah Saied, telah menyerukan dialog nasional, tetapi langsung dicegat Saied.
Saied telah bergerak untuk menghancurkan jaringan partai itu di dalam kementerian kehakiman dan dalam negeri. Kubu Ennahdha balik menuduh langkah itu dipilih sang presiden untuk memutarbalikkan keadilan. Langkah itu juga dinilai semata guna memperkuat impunitas untuk bisnis dan lobi politik tertentu bagi Saied. Partai Ennahdha juga dituduh menghalangi penyelidikan atas pembunuhan tokoh sayap kiri Chokri Belaid dan Mohamed Brahmi pada tahun 2013.
Pada saat yang sama banyak warga Tunisia, yang lelah dengan pertengkaran dan kelas politik mereka yang tidak efektif, mendukung langkah Saied. Konfederasi serikat buruh UGTT yang berpengaruh di Tunsia telah mendukung Saied, tetapi mendesaknya untuk segera menunjuk pemerintahan baru. ”Parlemen terdiri dari wakil-wakil rakyat yang dipilih,”kata M’rad. ”Kita tidak boleh main-main dengan lembaga ini meskipun ada pelecehan dan kekerasan. Ini sangat mengkhawatirkan.” (AFP/REUTERS)