Afghanistan yang Damai, yang Selalu Dirindukan dan Diperjuangkan
Afghanistan yang damai adalah sebuah mimpi sekaligus cita-cita bagi warganya. Bagi mereka yang berada di luar negeri maupun di negeri itu, kerinduan itu berbalut dengan perjuangan panjang.
Bagi Samim Zalmi, Afghanistan adalah kampung halaman yang tidak akan pernah dilupakan. Hiasan foto-foto pemandangan Afghanistan di rumahnya di Washington DC, Amerika Serikat, adalah pengingat pada tanah kelahiran tersebut. Selain itu, foto-foto itu sekaligus menjadi pemicu harapan, ia dapat melihat negeri Afghanistan aman dan damai.
Zalmi (35) mendarat di Bandara Internasional Dulles di luar Washington tiga tahun lalu. Ia tiba di Amerika Serikat bersama istrinya, Zarifa, dan putri mereka yang saat itu berusia empat tahun. Dari Pemerintah AS, keluarga kecilnya mendapatkan Visa Imigran Khusus.
Dokumen yang sama menjadi semacam tiket ke AS untuk ribuan warga Afghanistan yang selama ini bekerja bersama dengan pasukan AS. Washington membuka kelonggaran itu ketika mereka memutuskan menarik pasukannya dari perang di Afghanistan yang telah berlangsung selama 20 tahun.
Baca juga: Taliban Tembak Mati Pejabat Pemerintah Afghanistan
”Generasi muda perlu membangun kembali Afghanistan. Negara kami membutuhkan kami-kami ini. Sayangnya, situasi keamanan mengharuskan kami meninggalkan negara asal kami,” kata Zalmi kepada AFP saat ditemui di apartemennya. Apartemen itu terlihat rapi. ”Rumah akan selalu menjadi rumah yang menyenangkan, tapi kita tidak punya pilihan,” kenangnya tentang Afghanistan.
Pekan lalu, ada lebih dari 200 warga Afghanistan yang bekerja untuk AS bersama keluarga mereka tiba di Dulles, Washington DC. Mereka adalah garda depan bagi langkah AS untuk mengevakuasi ribuan orang Afghanistan dari negara itu.
Banyak dari mereka terpaksa pergi dari Afghanistan karena takut pada pembalasan oleh Taliban. Sejak pasukan koalisi yang dipimpin AS menarik diri, dalam beberapa bulan terakhir Taliban telah merebut kendali atas sebagian besar wilayah Afghanistan.
Terakhir, pada hari Sabtu (8/8/2021), Taliban dikabarkan berhasil merebut Sheberghan, ibu kota Provinsi Jawzjan. Kota itu merupakan benteng salah satu panglima perang Afghanistan yang terkenal, Abdul Rashid Dostum. Saat serangan terjadi, Dostum tengah berada di Kabul seusai menjalani perawatan di Turki.
Qader Malia, Wakil Gubernur Provinsi Jawzjan, mengatakan kepada AFP bahwa Sheberghan telah jatuh. Namun, juru bicara Kementerian Dalam Negeri Marwais Stanikzai bersikeras Taliban hanya menguasai sebagian kota. Marwais mengatakan, pasukan pemerintah didukung oleh milisi akan kembali merebut wilayah itu.
Kepada Kantor Berita AFP, seorang penduduk Sheberghan mengatakan, warga memilih bersembunyi di rumah mereka. Mereka takut pada masa depan mereka. ”Taliban ada di mana-mana, dengan bendera mereka, tetapi dari apa yang saya lihat melalui jendela, jalanan sepi,” katanya. ”Pertempuran di dalam kota telah mereda, tetapi kami mendengar bahwa Taliban bergerak menuju bandara.”
Sebelum Sheberghan jatuh ke tangan Taliban, sehari sebelumnya, kota Zaranj di Nimroz juga takluk tanpa perlawanan. Kota itu merupakan ibu kota provinsi pertama yang jatuh ke tangan Taliban.
Memburuknya situasi di Afghanistan itulah yang membuat banyak warga cemas. Keresahan demi keresahan seperti itu juga pernah dialami Zalmi. Di Afghanistan dia adalah juru kamera untuk NATO dan lembaga donor AS, USAID, selama sekitar satu dekade. Zalmi memutuskan untuk mengajukan diri pindah ke negara kedua yang aman di luar Afghanistan di tengah meningkatnya ancaman dari Taliban terhadap dirinya dan keluarganya.
Zalmi berhasil melewatinya dengan bantuan dari bantuan pemerintah, sesama warga Afghanistan dan warga asing yang berubah menjadi teman seperjuangan. Sebagai pendatang di AS, dia mencoba untuk bertahan dengan optimistis.
Zalmi mengaku cinta dengan pekerjaannya terdahulu. Profesi itu bahkan membuatnya menjadi salah satu penerima penghargaan medali dari Pemerintah Afghanistan. Namun ia tidak punya pilihan, ia ingin tetap selamat bersama keluarganya. Ia memperdalam kemampuan berbahasa Inggris agar mampu bertahan di perantauan.
Zalmi berhasil melewatinya dengan bantuan dari pemerintah, sesama warga Afghanistan dan warga asing yang menjadi teman seperjuangan. Sebagai pendatang di AS, dia mencoba untuk bertahan dengan optimistis. ”Pada awalnya, sangat sulit untuk percaya ini adalah negara kedua saya,” katanya tentang hidup di AS.
Tidak langsung mudah untuk beradaptasi di lingkungan baru, negara baru, tempat yang jauh dari kampung halaman. Ia dan istrinya sempat ingin kembali ke Afghanistan. Mereka rindu dengan ibunda Zalmi yang kini menjadi janda setelah ayah Zalmi meninggal dunia akibat Covid-19. Zalmi juga merindukan saudara-saudaranya di kampung halaman. ”Jika saya mati di sana, orang-orang mengenal saya. Tetapi jika saya mati di sini, tidak ada yang mengenal saya. Itu sangat sulit diterima.”
Masalah kemampuan berbahasa menjadi hambatan di awal. Namun, lambat laun ia mampu beradaptasi dengan usaha keras. ”Bahasa Inggris saya tidak terlalu bagus. Tidak ada yang mengerti saya ketika saya berbicara. Istri saya tidak bisa berbahasa Inggris, putri saya tidak bisa berbicara bahasa Inggris,” katanya.
Baca juga: HRW: Taliban Eksekusi Aparat dan Warga Sipil di Afghanistan Selatan
Putrinya kini berusia tujuh tahun dan telah fasih berbicara dalam bahasa Inggris, bahkan dengan aksen Amerika. Saat AFP mengunjungi Zalmi, putrinya tampak bermain dengan adik laki-lakinya di karpet khas Afghanistan yang menyelimuti ruang tamu apartemen mereka.
Teman-teman Afganistanlah yang meyakinkan mereka untuk tetap tinggal dan membantu Zalmi memulai pekerjaan sebagai pengemudi untuk aplikasi seperti Uber dan Lyft. Mereka mengajarinya cara menavigasi jalan-jalan AS. ”Mereka mengajari saya bagaimana menangani hidup di AS. Mereka juga mengajari saya, ’jangan kembali’ ke Afghanistan.”
Perempuan pemimpin
Pilihan berbeda diambil oleh Salima Mazari. Ia tetap memilih tinggal di Afghanistan. Ia bertahan sekaligus mencoba mewujudkan perdamaian yang sejati terus diharapkan. Bersama dengan rekan-rekannya, Mazari memilih berhadapan dengan risiko kematian.
Mazari adalah seorang perempuan yang memimpin Distrik Charkint di Provinsi Balkh, Afghanistan. Saat ditemui, Mazari dengan santai di kursi depan sebuah pikap saat melaju melalui sebuah desa di Afghanistan utara. Ia tengah berkeliling untuk merekrut pria-pria yang bersedia mengangkat senjata melawan Taliban.
”Tanah air, aku mengorbankan hidupku untukmu,” demikian isi lirik dari lagu yang diputarnya saat berkeliling.
Sejak awal Mei lalu, Taliban telah menyapu sebagian besar perdesaan Afghanistan, seiring dengan masifnya penarikan pasukan AS pasca-Presiden Joe Biden memerintahkan penarikan seluruh pasukan AS dari Afghanistan.
Di Charkint, sebuah distrik di wilayah pegunungan terpencil warga dicekam kekhawatiran. Taruhan mereka lebih tinggi. ”Taliban menginjak-injak hak asasi manusia,” kata Mazari tanpa rasa takut.
Di bawah pemerintahan Taliban, perempuan dan anak perempuan tidak mendapat pendidikan dan pekerjaan, bahkan setelah kejatuhan militan pada tahun 2001. Hazara, komunitas dari mana Mazari berasal, merupakan salah satu komunitas yang paling dimusuhi oleh Taliban.
Kebanyakan dari mereka adalah Muslim Syiah, yang oleh Taliban dianggap sebagai sekte sesat. Mereka kerap menjadi sasaran Taliban dan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Setengah dari distrik yang dipimpin oleh Mazari sudah berada di bawah kendali Taliban. Menyikapi itu, Mazari memilih menghabiskan banyak waktu merekrut pejuang untuk mempertahankan sisanya. Ratusan warga setempat—termasuk petani, penggembala, dan buruh—telah bergabung dengannya.
”Orang-orang kami tidak memiliki senjata, tetapi mereka pergi dan menjual sapi, domba, dan bahkan tanah mereka, untuk membeli senjata,” kata Mazari. ”Mereka berada di garis depan setiap hari dan malam tanpa mendapatkan upah atau gaji apa pun."
Menurut Mazari, secara sosial, orang-orang itu belum siap menerima pemimpin perempuan. Namun, perjuangan menghapus seluruh sekat itu.... (AFP/REUTERS)