Australia Menebus Dosa Masa Lalu, Perancis Setengah Hati
Australia dan Perancis mengakui dosa masa lalu mereka terhadap penduduk pribumi. Australia meminta maaf dan memberikan kompensasi. Sementara Perancis belum minta maaf kepada penduduk Polinesia Perancis.
Sejarah kelam Australia ini merupakan akibat dari kebijakan asimilasi pemerintah pusat yang berlangsung sejak awal 1900-an dan baru berakhir 1970-an. Ketika mantan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd meminta maaf secara resmi pada 2008, ia menyebut anak-anak pribumi itu sebagai ”Generasi yang Dicuri”.
Baca juga: Australia Siapkan Referendum untuk Mengakui Aborigin dalam Konstitusi
Untuk mengobati luka penduduk pribumi dan menegus dosa masa lalu itu, Pemerintah Australia menawarkan ganti rugi satu kali kepada generasi yang dicuri yang masih hidup. Nilainya 75.000 dollar Australia atau Rp 796 juta untuk luka akibat pemindahan paksa dan 7.000 dollar Australia atau Rp 74 juta untuk dukungan penyembuhan.
Anggaran pemerintah federal ini merupakan bagian dari rencana anggaran 1 miliar dollar Australia atau Rp 10,62 triliun untuk program pengurangan kesenjangan antara penduduk pribum dan non-pribumi. Beberapa negara bagian mempunyai skema kompensasi masing-masing.
PM Scott Morrison mengumumkan rencana ini di hadapan parlemen di Canberra, Kamis (5/8/2021). ”Ini masa-masa yang memalukan dalam sejarah kita. Kita sudah meminta maaf, tetapi tetap harus mempertanggungjawabkannya,” kata Morrison.
Ganti rugi diberikan kepada warga pribumi yang dulu diambil paksa dari keluarganya kala masih berusia di bawah 18 tahun. Mereka lantas tinggal di wilayah ibu kota Australia dan wilayah utara yang pada waktu itu berada di bawah kendali pemerintah persemakmuran.
Baca juga: Untuk Pertama Kali, Warga Aborigin Dapat Kompensasi Uang Ganti Rugi Lahan
Kebijakan pemerintah ini disambut baik oleh penduduk pribumi yang sampai sekarang kehidupannya masih menderita dari sisi kesehatan, penghasilan, dan pendidikan. Namun, rencana ini dianggap sangat terlambat karena penduduk pribumi Australia sudah ditindas sejak 65.000 tahun lalu.
Fiona Cornforth, Kepala Yayasan Penyembuhan, kelompok organisasi nonpemerintah yang mendampingi para penyintas Generasi yang Dicuri, menilai, kompensasi ini bentuk pengakuan terhadap kesalahan masa lalu dan pengakuan pada pengalaman traumatis serta kesedihan yang membebani generasi itu sampai hari ini.
Kebijakan ini dianggap terlambat karena baru muncul 25 tahun setelah laporan ”Membawa Mereka Pulang” dikeluarkan pada 1997. Laporan ini merupakan hasil penyelidikan nasional mengenai pemisahan paksa, pengakuan pelanggaran hak asasi manusia, dan penetapan dukungan bagi yang terdampak.
”Kami menangis dan berlindung di belakang punggung ibu. Namun, polisi menarik kami dan membawa kami pergi. Ibu-ibu kami mengejar mobil polisi dan kami hanya bisa menangis kencang,” kata salah seorang saksi dalam laporan yang menyelidiki insiden tahun 1935 di Australia Barat itu.
Dalam penyusunan kebijakan untuk memperbaiki kualitas hidup penduduk pribumi ini, pemerintah juga melibatkan penduduk pribumi. Pekerjaan rumah Australia masih panjang karena sedikitnya 700.000 warga penduduk pribumi hidup miskin. Harapan hidupnya pun delapan tahun lebih pendek ketimbang penduduk non-pribumi dan penduduk etnis lainnya karena kondisi kesehatan yang lebih buruk dan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Banyak pula warga pribumi yang mendekam di penjara. Sebanyak 27 persen dari total narapidana di penjara Australia adalah warga pribumi.
Inisiatif kebijakan itu muncul pertama kali dari pemerintahan Partai Buruh pada 2008. Namun, pemerintahan konservatif Morrison tahun lalu membatalkannya. Morrison menganggap kebijakan itu sudah gagal dan kehidupan penduduk pribumi tak kunjung membaik.
Baca juga: Perdana Menteri Morrison Usulkan Hari Aborigin
Kepala Eksekutif Organisasi Kesehatan Komunitas Aborigin Nasional di Wilayah Utara, Pat Turner, menyesalkan terlambatnya kebijakan kompensasi ini. Sebab, sudah banyak penyintas Generasi yang Dicuri yang meninggal.
Ibu Turner, Emma Turner, diambil paksa dari keluarganya pada 1920-an dan baru bisa bertemu kembali dengan keluarganya pada 1970-an. ”Masa-masa hidup dan bertumbuh bersama keluarga itu tidak akan pernah bisa tergantikan. Namun, saya berharap kompensasi ini bisa sedikit membantu,” ujarnya.
Menteri Urusan Pribumi Australia Ken Wyatt mengaku, ibunya pun dipisahkan dari ayah-ibu dan saudara-saudaranya sejak masih bayi hingga mereka berusia 20 tahun. ”Tidak ada yang bisa mengganti rugi luka emosional yang mereka alami,” kata Wyatt.
Sebelum Australia, Presiden Perancis Emmanuel Macron juga mengaku rakyat Perancis ”berutang” kepada rakyat Polinesia Perancis karena pernah melakukan uji coba nuklir di wilayah Pasifik Selatan antara tahun 1966 dan 1996. Namun, Macron tidak meminta maaf.
”Saya akan bertanggung jawab dan saya juga menginginkan kebenaran dan transparansi, sama seperti Anda. Seharusnya ada kompensasi yang lebih baik untuk para korban,” kata Macron dalam kunjungan pertamanya ke Polinesia Perancis.
Uji coba nuklir Perancis itu dianggap sebagai bukti sikap kolonial yang rasis dan mengabaikan kehidupan penduduk setempat. Situs investigasi Disclose, Maret lalu, menyebut adanya laporan dampak paparan radiasi akibat uji coba nuklir dalam salah satu dokumen rahasia militer Perancis. Namun, pemerintah menampik kabar itu.
”Militer tidak berbohong. Memang ada risiko yang waktu itu tidak diperhitungkan oleh pemerintah dan militer. Waktu itu Perancis menguji nuklir di sini karena jauh dari Perancis,” kata Macron.
Baca juga: Membawa Mata Dunia ke Pulau-pulau Kecil
Penduduk wilayah itu semula berharap Macron akan meminta maaf dan memberikan kompensasi kepada para korban radiasi nuklir. Namun, itu tidak terjadi. Sejak 1960-1996, Perancis melakukan 193 kali uji nuklir di Polinesia Perancis. Sedikitnya 100.000 orang terdampak radiasi nuklir dan menderita leukemia, limfoma, dan kanker. Hanya 63 warga Polinesia yang mendapatkan kompensasi karena terpapar radiasi.
Pada 2010, Pemerintah Perancis pernah menawarkan pemberian kompensasi jutaan euro bagi warga di 201 lokasi uji nuklir di Pasifik Selatan dan Aljazair. Namun, prosesnya berjalan sangat lambat dan banyak yang belum menerima kompensasi itu. (REUTERS/AFP/AP)