Tekad Presiden Iran Ebrahim Raisi untuk melanjutkan negosiasi nuklir menjadi kabar positif dari Teheran. Namun, riak-riak di kawasan Teluk menjadi tantangan.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Setiap kali kubu konservatif memenangi pemilu dan menduduki kekuasaan di Iran, kerap muncul kecemasan, terutama di Barat, bahwa negara itu akan memilih cara dan pendekatan konfrontatif terhadap negara rivalnya. Jika hal ini yang terjadi, dikhawatirkan ketegangan di kawasan itu bisa meningkat meskipun isu terkait Iran bukan satu-satunya faktor penyebab. Kecemasan itu sempat mencuat ketika Ebrahim Raisi, tokoh ultrakonservatif, memenangi pemilu presiden Iran pada pertengahan Juni lalu.
Hari Selasa (3/8/2021), Raisi resmi dilantik menjadi Presiden Iran, menggantikan Hassan Rouhani yang berhaluan moderat. Dijadwalkan, Kamis ini, Raisi (60) akan diambil sumpah di sidang parlemen, sekaligus menyerahkan susunan kabinet pemerintahannya.
Hal menarik untuk dicermati dan menjadi kabar positif di hari pelantikan Raisi adalah tekad yang disampaikan dalam pidatonya bahwa pemerintahannya akan berusaha mencabut sanksi Amerika Serikat. Sanksi Negeri Paman Sam kembali dijatuhkan Presiden Donald Trump pada 2018 saat ia menarik AS keluar dari kesepakatan nuklir Iran.
Di bawah kepemimpinan Rouhani, Iran menjalin kesepakatan dengan enam negara, termasuk AS, tahun 2015. Dalam kesepakatan itu, Iran harus membatasi pengayaan uranium dalam program nuklirnya, dengan imbalan pelepasan sanksi dari Barat.
Sanksi AS benar-benar mencekik ekonomi Iran. Pada 2018 dan 2019 perekonomian Negeri Mullah mengalami kontraksi lebih dari 6 persen. Angka inflasi lebih dari 40 persen. Data Kementerian Tenaga Kerja Iran yang dikutip laman Al Jazeera memperlihatkan lonjakan berlipat harga barang kebutuhan pokok, seperti roti dan daging ayam, secara berurutan hingga 121 persen dan 89 persen setahun terakhir ini. Pandemi Covid-19 sejak 2020 menambah berat pukulan ekonomi bagi rakyat Iran. Saat ini tercatat 4 juta lebih kasus Covid-19 di Iran dan lebih dari 92.000 kasus kematian.
Tekad Raisi untuk mencabut sanksi AS meniscayakan jalan diplomasi yang harus ia tempuh, khususnya dalam kesepakatan nuklir. Raisi memberi sinyal untuk melanjutkan negosiasi kesepakatan nuklir dengan kelompok P5+1—kumpulan negara pemegang hak veto di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) plus Jerman—termasuk AS. Negosiasi itu telah berlangsung enam putaran.
Sinyal dari Teheran ini adalah kabar positif. Namun, riak-riak di kawasan muncul berupa laporan insiden serangan dan pembajakan atas dua kapal di kawasan Teluk. Israel, AS, Inggris, dan beberapa negara menuding Iran berada di balik insiden itu. Teheran membantahnya.
Melihat timing kemunculan laporan insiden itu dan pelantikan Raisi, wajar Iran menyebut tudingan tersebut diarahkan untuk menyabotase langkahnya mencapai kesepakatan nuklir agar segera bebas dari sanksi AS. Mampukah Raisi merespons tantangan ini?