Rusia Batal Keluar dari Stasiun Luar Angkasa Internasional
Rusia menilai Amerika Serikat berupaya menjegal perkembangan antariksa Rusia. Roscosmos pun menandatangani perjanjian kerja sama laboratorium Bulan dengan China.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
MOSKWA, RABU — Rusia menyatakan tidak jadi keluar dari program Stasiun Luar Angkasa Internasional atau ISS yang dikembangkan, antara lain, oleh Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan Kanada. Pada saat yang sama, Rusia juga telah menandatangani kerja sama eksplorasi antariksa bersama dengan China.
Menurut kantor berita Rusia, Interfax, pembatalan disampaikan Sergei Kirkev, Direktur Eksekutif Misi Berawak Badan Luar Angkasa Rusia, Roscosmos. Ia berbicara dalam wawancara dengan stasiun televisi Rossiya-24 pada Selasa (3/8/2021).
”Awalnya, Roscosmos memang berencana meninggalkan ISS pada tahun 2025, setelah stasiun itu selesai masa beroperasinya. Akan tetapi, kini sudah diputuskan bahwa Roscosmos akan tetap di ISS,” tutur Kirkev.
Menurut dia, Roscosmos dan para anggota ISS masih mendiskusikan program antariksa yang bisa dikembangkan lebih mendalam. Salah satunya mengenai ekspolasi lingkar orbit rendah Bumi. Sejauh ini, belum ada tanggapan dari ISS ataupun Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA).
Misi terakhir Rusia dengan ISS adalah peluncuran modul laboratorium Nauka ke ISS pekan lalu. Ketika hendak menempelkan diri ke ISS, sempat terjadi masalah karena Nauka tidak sengaja mengaktifkan daya pendorong stasiun sehingga ISS oleng. Masalah ini sudah terselesaikan.
Perkembangan ini cukup mengejutkan karena Kepala Roscosmos, Dmitry Rogozin, selama ini menunjukkan sikap tidak sabar terhadap ISS dan AS. Ia mengatakan bahwa AS berusaha menjegal pengembangan ilmu keantariksaan Rusia dengan memberlakukan berbagai sanksi ekonomi. Akibatnya, Rusia tidak bisa mengimpor cip peluncur bagi roket dan pesawat luar angkasa mereka sehingga banyak kendaraan antariksa Rusia tidak terpakai.
Salah satu bukti konflik antara Rusia dan AS ialah tidak terlibatnya Rusia dalam Proyek Artemis. Proyek ini adalah misi ke Bulan pada tahun 2024 yang diikuti oleh AS, Inggris, Kanada, Italia, Jepang, Australia, Luksemburg, dan Uni Emirat Arab untuk mencari potensi energi dari penambangan es di Bulan.
Rogozin berpendapat, Proyek Artemis dimonopoli AS, bahkan diperlakukan seperti misi politik. Oleh sebab itu, pada Maret 2021, Roscosmos menandatangani perjanjian kerja sama dengan China untuk mengembangkan sendiri proyek pembangunan laboratorium di Bulan. Ia menuturkan, isi perjanjian ini murni didasari pengembangan ilmu pengetahuan dan terbuka bagi semua negara yang berminat tanpa ada dominasi dari pihak mana pun.
Dilansir dari media RT, pada April 2021 ketika perayaan 60 tahun penerbangan antariksa oleh kosmonot Yuri Gagarin, Presiden Rusia Vladimir Putin juga menyetujui rencana pembuatan Stasiun Layanan Orbit Rusia (ROSS). Ini merupakan proyek yang akan dikembangkan setelah Rusia keluar dari ISS.
ROSS, menurut rencana, terdiri dari tiga hingga tujuh modul. Salah satu modul akan dikhususkan untuk menampung wisatawan antariksa. Rusia adalah pionir wisata antariksa. Pada tahun 2001, seorang insinyur dari AS bernama Dennis Tito terbang dengan biaya sendiri ke roket Soyuz TM-32 milik Rusia. Kedua proyek, ROSS dan laboratorium Bulan dengan China, membuat publik menyimpulkan Rusia benar-benar hendak pergi dari ISS.
Niat Rusia berkerja sama dengan China juga memunculkan kecemasan di sejumlah negara. AS memblokir China bergabung dengan ISS lantaran program luar angkasa China dinilai terlalu dekat dengan militer. Apabila Rusia dan China bergabung, mereka bisa mengancam keamanan antariksa.
Kepada harian Daily Telegraph, Kepala Staf Angkatan Udara Inggris Marsekal Michael Wigston mengungkapkan, satelit-satelit China dan Rusia selalu terbang terlalu dekat dengan satelit milik negara lain. ”Kami selalu curiga mereka berusaha meretas satelit negara lain untuk mencuri data intelijen. Apalagi, satelit China dilengkapi alat pengacak sinyal dan satelit Rusian punya senjata,” ujarnya.
Akibatnya, negara-negara Uni Eropa membangun pusat komando antariksa masing-masing. Perancis, misalnya, tengah mengembangkan satelit yang dilengkapi senjata laser setelah belajar dari pengalaman satelit mereka diretas satelit Rusia. Demikian pula Jerman yang awal bulan ini baru meresmikan pusat komando mereka. (REUTERS)