Macron Pun Bergaya di Medsos, Menjawab Keraguan soal Vaksin Covid-19
Untuk mengajak rakyatnya agar tak percaya pada rumor dan berita palsu tentang vaksin, Presiden Perancis Emmanuel Macron memanfaatkan media sosial Tiktok dan Instagram.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
Di luar kebiasaan, rekaman video selfie Presiden Perancis Emmanuel Macron bergaya santai tanpa jas dan dasi seperti biasanya tiba-tiba muncul di media sosial Tiktok dan Instagram dengan durasi satu menit. ”Saya akan menjawab semua pertanyaan secara langsung. Silakan, tanya saja pada saya dan saya akan mencoba menjawab dengan gamblang dan jelas,” kata Macron.
Dalam video itu, ia memakai kaus hitam dan sedang berlibur di tempat peristirahatan presiden di Fort de Brégançon, Côte d’Azur, Perancis selatan, Senin (2/8/2021).
Rupanya, video Macron itu merupakan upayanya memerangi informasi yang keliru mengenai vaksin Covid-19 yang beredar di masyarakat. Akibat rumor dan informasi keliru serta isu izin kesehatan Covid-19 yang kontroversial, unjuk rasa besar-besaran yang diikuti oleh sedikitnya 200.000 orang berlangsung di sejumlah daerah di Perancis selama tiga pekan terakhir.
”Saya tahu, banyak yang masih belum paham, merasa takut, dan sering mendengar rumor dan informasi keliru soal vaksin,” kata Macron.
Stasiun Radio France Internationale (RFI) menyebutkan, video Macron tersebut mendapat banyak respons dan aneka pertanyaan dari warganet. Ada warganet yang menanyakan kapan bisa mendapatkan vaksin dosis ketiga setelah enam bulan menerima vaksin dosis pertama dan kedua. Banyak yang mendukung, tetapi banyak pula yang skeptis dan menolak.
”Apa gunanya vaksin jika ada beberapa daerah yang sudah mewajibkan pakai masker lagi saat keluar rumah?”, ”Bagaimana caranya membuktikan vaksin itu efektif meminimalkan sakit yang parah?”, ”Bahan apa saja yang terkandung di dalam vaksin ini?”, ”Apakah benar vaksin ini tidak memperpendek usia kita?”, ”Anda sendiri sudah vaksin, belum?”. Begitu sebagian pertanyaan dari warganet yang masuk ke akun medsos Macron.
Macron berulang kali menyatakan, vaksin ini satu-satunya senjata yang bisa mengalahkan gelombang keempat Covid-19. Sampai sejauh ini sebanyak 42,6 juta warga di Perancis (63,2 persen dari jumlah total penduduk Perancis) sudah divaksin setidaknya satu dosis. Dari 42,6 juta orang itu, sebanyak 35,7 juta orang sudah divaksin penuh.
Kasus Covid-19 di Perancis mencapai 19.600 kasus pada Minggu (1/8/2021) lalu akibat Covid-19 varian Delta dan 112.000 orang di antaranya meninggal. Jumlah ini naik dari 5.000 kasus pada pertengahan Juni.
Presiden Komite Penasihat Covid-19 Perancis Alain Fischer menjelaskan bahwa jika ingin mencapai kekebalan kelompok pada awal musim gugur, dibutuhkan cakupan vaksin hingga 90 persen pada warga berusia 12 tahun ke atas.
Kartu vaksin
Gelombang unjuk rasa besar-besaran terjadi karena pada bulan lalu Macron mengumumkan bahwa warga harus menunjukkan bukti vaksin berupa kartu vaksin, hasil tes Covid-19 negatif, atau bukti sudah sembuh dari Covid-19 terlebih dahulu jika mereka mau masuk ke museum, bioskop, atau tempat olahraga. Aturan ini juga akan menjadi syarat masuk ke bar, restoran, menonton pertandingan di stadion, moda transportasi kereta jarak jauh, dan pusat pertokoan mulai tanggal 9 Agustus 2021.
Dalam pandangan kelompok oposisi, Macron dianggap menjalankan pemerintahan diktator kesehatan karena aturan itu membelenggu kebebasan rakyat untuk memilih. Sebagian gelombang unjuk rasa yang terjadi di Perancis berakhir dengan kerusuhan. Hal ini mengingatkan warga pada gerakan protes anti-pemerintah ”rompi kuning” pada 2018-2019.
Seperti yang terjadi pada Sabtu malam lalu, sebuah pusat vaksin di pulau Karibia Perancis, Martinique, dibakar massa. Di kota Montpellier, para demonstran mengepung seorang apoteker yang sedang melakukan tes Covid-19. Apoteker itu dituduh ”pembunuh” dan ”pengkhianat”.
Penolakan yang sama oleh sejumlah warga juga terjadi di Italia. Jika di Perancis kartu vaksin disebut dengan ”izin kesehatan”, di Italia kartu vaksin itu disebut ”kartu hijau”. Sebagian warga Italia menolak kartu hijau tersebut karena mempertanyakan faktor keamanan vaksin.
Meski demikian, di sisi lain, permintaan akan vaksin Covid-19 meningkat. Secara umum, permintaan vaksin di negara-negara Eropa meningkat selama beberapa bulan terakhir meski vaksinasi bukan kewajiban.
Menurut para penolak program vaksinasi, keharusan memiliki kartu vaksin dianggap menjadi sumber diskriminasi atau ketidakadilan dan justru akan memperlebar kesenjangan masyarakat. ”Kita sudah menciptakan kesenjangan antarwarga. Nanti akan ada warga kelas pertama yang bisa mengakses layanan publik, bioskop, kehidupan sosial, sementara kelas kedua tidak bisa dapat itu semua. Ini, kan, yang dulu juga memicu apartheid dan holocaust,” kata Simone, salah seorang pengunjuk rasa di Italia.
Alasan yang paling banyak dikemukakan para penolak vaksin adalah khawatir pada efek samping karena vaksin belum teruji efektif sepenuhnya melindungi warga dari Covid-19. Selain itu, banyak juga yang mengaku tidak percaya pada dokter, tidak takut pada Covid-19, dan tidak percaya dengan keberadaan Covid-19.
Sedikit berbeda dari Perancis, kartu hijau Italia bisa dimiliki oleh warga yang sudah divaksin satu dosis. Kartu itu bisa digunakan untuk mengakses restoran, bioskop, stadion, museum, dan tempat-tempat publik lain mulai 6 Agustus mendatang. Selain bukti sudah vaksin, warga juga harus menunjukkan hasil tes negatif dalam kurun waktu 48 jam atau bukti sudah sembuh dari Covid-19 minimal enam bulan. Setelah pemerintah mengumumkan syarat kartu hijau ini, permintaan akan vaksin di Italia melonjak hingga 200 persen.
Untuk menggenjot program vaksinasi, Pemerintah Kota Milan mengerahkan mobil-mobil vaksin yang setiap hari bergerak ke sejumlah daerah. Sebanyak 100-150 orang divaksin setiap hari dengan vaksin satu dosis Johnson & Johnson.
Rosi De Filippis (68) mengaku mengikuti vaksin karena dipaksa anaknya. ”Awalnya saya tidak tahu apa itu vaksin dan manfaatnya. Jadi, saya pasrah saja sama anak saya. Tetapi, sekarang seperti jadi keharusan,” ujarnya. (AFP/AP)