Diplomasi Membumi Memberikan Manfaat Konkret bagi Rakyat
Upaya diplomasi membumi oleh Pemerintah Indonesia, yang dijalankan Kementerian Luar Negeri, memberikan manfaat langsung bagi rakyat Indonesia. Salah satu wujudnya, diplomasi vaksin untuk penyediaan vaksin Covid-19.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya-upaya diplomasi Indonesia, baik di tingkat bilateral maupun multilateral, sama pentingnya karena tetap berujung pada tercapainya kepentingan Indonesia serta memberikan manfaat secara langsung dan konkret bagi rakyat. Perubahan cara kerja diplomasi yang membumi seperti ini terbukti efektif. Salah satu wujudnya terlihat pada diplomasi vaksin yang gencar dilakukan Indonesia secara bilateral antarnegara ataupun multilateral melalui Covax, mekanisme global untuk penyediaan vaksin Covid-19.
Hal ini mengemuka dalam webinar bincang buku Diplomasi Membumi, Narasi Cita Diplomat Indonesia karya Duta Besar RI untuk Austria dan Slovenia serta Wakil Tetap RI untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi internasional lain di Vienna, Austria, Darmansjah Djumala, Selasa (3/8/2021). Buku setebal 518 halaman yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas itu merupakan kumpulan dari 112 artikel karya Djumala selama 45 tahun. Sebagian besar tulisan sudah dimuat di berbagai media massa, termasuk harian Kompas.
”Berkat diplomasi vaksin Indonesia di tingkat multilateral, seperti Covax, di mana Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menjadi salah satu ketuanya, Indonesia jadi mudah mendapatkan vaksin dan ini bermanfaat langsung bagi rakyat Indonesia. Posisi tawar Indonesia tinggi. Coba kalau kita tidak berada di sana, (Indonesia) tidak akan dianggap,” kata Djumala yang berbicara melalui video sambungan virtual dari Vienna, Austria.
Istilah ”diplomasi membumi” (down-to-earth diplomacy) menjadi salah satu kekhasan diplomasi yang dijalankan Kementerian Luar Negeri pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Menlu Retno menjelaskan, ”diplomasi membumi” merupakan pelaksanaan politik luar negeri Indonesia yang mampu memberikan manfaat secara langsung dan konkret, perlindungan, pengayoman, dan kesejahteraan bagi rakyat.
Dalam pelaksanaannya, kerja diplomasi kian dinamis dan senantiasa berubah mengikuti perkembangan zaman. Jika dulu kerja diplomasi dilakukan terbatas oleh kalangan diplomat dan dianggap mengawang-awang, kini siapa pun bisa menjadi diplomat atau duta besar bagi kepentingan Indonesia. Meski kerja diplomasi berubah sesuai kebutuhan zaman, prinsip politik bebas dan aktif Indonesia tetap tak terlepaskan.
Perubahan diplomasi pada era pascareformasi ini lebih pada cara mengomunikasikan kebijakan-kebijakan luar negeri Indonesia ke masyarakat Indonesia. ”Diplomasi bilateral dan multilateral tidak bisa dipisahkan. Harus seiring sejalan. China juga menjalankan dua-duanya dan berhasil,” kata Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional dan Ilmu Politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Arry Bainus.
Dalam bukunya, Djumala juga menjelaskan mengenai diplomasi bilateral yang berfokus pada upaya membina persahabatan, meningkatkan kerja sama politik, ekonomi, dan sosial budaya dengan negara sahabat. Adapun diplomasi multilateral berfokus pada dialog kebijakan, penentuan norma-norma, dan penyusunan aturan. Kedua jalur diplomasi itu bisa diorientasikan dan diaplikasikan pada diplomasi membumi.
Dinamika pascareformasi
Guru Besar Sejarah dan Peradaban Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra mengatakan, buku karya Djumala menunjukkan dinamika dan perubahan kebijakan luar negeri Indonesia yang menjadi lebih membumi pascareformasi. Dulu, diplomat dikesankan bagaikan hidup di atas awan yang berjarak dengan rakyat.
Pada era pascareformasi, lanjut Azyumardi, hal itu kemudian berubah dan muncul istilah soft diplomacy atau diplomasi dalam bentuk penyelesaian secara damai dalam bidang sosial, budaya, dan ekonomi. Selain soft diplomacy, digunakan juga public diplomacy atau kerja diplomasi yang dapat memengaruhi pandangan orang atau negara tertentu terhadap negara lain. Diplomasi publik ini bertujuan memberikan citra positif sebuah negara, institusi negara, dan rakyat negara itu.
”Sebenarnya sejak zaman Suharto, politik luar negeri Indonesia itu sudah difokuskan untuk kepentingan pembangunan nasional karena Indonesia tidak mau lagi terlibat dalam konfrontasi dengan siapa pun dan memilih bersikap netral,” kata Azyumardi.
Arry menambahkan, dulu kerja diplomasi dilakukan antarpemerintah. Saat ini, siapa pun bisa melakukan kerja-kerja diplomasi. Sifat diplomasi kini juga sudah informal dan inklusif melalui hubungan antarorang atau antarorganisasi nonpemerintah. Hal ini menunjukkan terjadinya perubahan atau perluasan kerja diplomasi dari segi aktor dan isu yang dibahas.
Di tengah zaman dengan perkembangan teknologi komunikasi yang pesat, apalagi di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang, diplomat juga mau tak mau harus mampu dengan cepat merespons kebutuhan masyarakat dan mengomunikasikan kebijakan-kebijakannya kepada rakyat. Hal ini, kata Arry, membuat kerja diplomasi menjadi semacam ruang kerja bersama.
Pada era informasi sekarang ini, masyarakat mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, menyebarkan pandangan mereka sendiri, dan berpartisipasi dalam percakapan virtual tanpa henti. Di sini letak pentingnya komunikasi publik yang cepat dari para diplomat. Dengan demikian, masyarakat bisa mengetahui lebih banyak kerja-kerja diplomasi yang sudah dilakukan.
”Masa depan diplomasi mungkin terlihat lebih seperti ruang kerja bersama di mana format curah pendapat kolaboratif dalam suatu wacana dan perbedaan pendapat dapat dikelola dengan baik untuk memanfaatkan pengetahuan dan ide-ide pikiran kreatif dari semua lapisan masyarakat sehingga tercipta demokrasi deliberatif di masyarakat,” kata Arry.