Bendungan Raksasa di Etiopia dan Kemelut di Sungai Nil
Isu perselisihan Mesir-Sudan dan Etiopia terkait pembangunan dam Sungai Nil kini buntu total. Jika jalan terus buntu dan Mesir-Sudan merasa semakin kepepet, tidak tertutup kemungkinan Mesir-Sudan menempuh opsi militer.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·4 menit baca
Masa depan Sungai Nil semakin tidak menentu pascagagalnya semua skema jalur upaya solusi kompromi terkait pembangunan bendungan raksasa di Etiopia, yang disebut Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD). Seperti dimaklumi, Sungai Nil yang juga mengalir ke Sudan dan Mesir berasal dari pegunungan di Etiopia dan Danau Victoria.
Sungai Nil yang mengalir dari pegunungan di Etiopia disebut Nil Biru. Adapun Sungai Nil yang mengalir dari Danau Victoria disebut Nil Putih. Nil Biru dan Nil Putih bertemu di kota Khartoum, ibu kota Sudan, dan kemudian menyatu mengalir ke Mesir.
Sejak Etiopia mengumumkan pembangunan GERD pada tahun 2011 dengan dalih untuk pembangkit tenaga listrik, isu GERD dan Sungai Nil serta-merta menjadi isu panas sampai saat ini. Mesir dan Sudan sejak tahun itu pula membuka perundingan langsung dengan Etiopia soal isu GERD. Kedua negara itu sangat khawatir, GERD akan mengurangi aliran air Sungai Nil ke Sudan dan Mesir.
Jalur terakhir yang ditempuh dalam upaya mencari solusi kompromi dan adil soal isu GERD dan Sungai Nil adalah forum Dewan Keamanan (DK) PBB. DK PBB atas permintaan Mesir dan Sudan telah menggelar sidang khusus pada 8 Juli lalu, membahas agenda solusi kompromi dalam sengketa Mesir-Sudan dan Etiopia terkait Sungai Nil pascapembangunan GERD.
Mesir dan Sudan bersikeras meminta DK PBB berandil membantu mencari solusi yang adil atas isu Sungai Nil. Hal ini setelah Etiopia ngotot melaksanakan pengisian air GERD tahap kedua mulai bulan Juli lalu tanpa harus ada kesepakatan dengan Mesir-Sudan. Etiopia butuh 13,5 miliar kubik air Sungai Nil untuk mengisi GERD tahap kedua ini. Tahun lalu, Etiopia telah menggunakan 4,9 miliar kubik air Sungai Nil untuk mengisi GERD tahap pertama.
Mesir dan Sudan pun sangat cemas dengan tindakan Ethiopia menggunakan air Sungai Nil sebanyak 13,5 miliar kubik untuk mengisi GERD tahap kedua itu. Hal ini dikhawatirkan akan sangat berdampak pada jatah air Sungai Nil yang mengalir ke Mesir dan Sudan. Sesuai kesepakatan tahun 1959, Mesir mendapat jatah air Sungai Nil sebanyak 55,5 miliar kubik air dan Sudan 18,5 miliar kubik.
Mesir dan Sudan bersikeras menolak jika jatah air Sungai Nil sesuai kesepakatan 1959 itu berkurang. Sebab, ini akan berpengaruh pada pasokan air kedua negara tersebut. Sekitar 94 persen kebutuhan air di Mesir disuplai dari Sungai Nil.
Karena itu, Mesir dan Sudan sangat berharap DK PBB bisa membantu mencari solusi yang adil atas isu Sungai Nil pascapembangunan GERD. Perlu diingat, kedua negara tersebut gagal berunding dengan Etiopia selama 10 tahun, dari tahun 2011 hingga 2021, baik melalui perundingan langsung maupun lewat perantara seperti Uni Afrika dan AS.
Akan tetapi, DK PBB gagal pula membantu mencari solusi yang adil atas isu Sungai Nil tersebut. Sikap anggota DK PBB terpecah antara cenderung memihak Etiopia dan memihak Mesir-Sudan. Rusia dan China cenderung memihak Etiopia. Dua negara itu memandang, Etiopia memiliki hak membangun negerinya melalui GERD dan pembangunan GERD tidak mengancam keamanan regional atau dunia.
Rusia dan China juga memandang perbedaan pendapat antara Etiopia dan Mesir-Sudan soal Sungai Nil hanya terkait teknis yang seharusnya bisa diselesaikan melalui perundingan langsung maupun lewat mediator. Moskwa dan Beijing pun menolak DK PBB terlibat dalam konflik Mesir-Sudan versus Etiopia soal isu Sungai Nil. Rusia dan China meminta agar Uni Afrika tetap berperan sebagai mediator dalam perundingan soal isu GERD dan Sungai Nil.
Adapun Mesir dan Sudan menginginkan isu GERD dan Sungai Nil tidak hanya soal teknis, tetapi sudah mengancam keamanan regional dan bahkan internasional. Kedua negara itu melihat isu GERD dan Sungai Nil sudah mengancam kehidupan sekitar 150 juta jiwa penduduk Mesir dan Sudan. Mesir dan Sudan pun menganggap DK PBB, sesuai dengan Piagam PBB, sudah selayaknya turun tangan langsung menangani isu GERD dan Sungai Nil karena isu tersebut dinilai sudah mengancam keamanan internasional.
Namun, sidang DK PBB pada 8 Juli lalu menolak aspirasi Mesir dan Sudan itu. Maka, isu GERD dan Sungai Nil kini buntu total. Harapan terakhir terletak pada inisiatif baru dari negara besar, seperti AS, Uni Eropa, bekerja sama dengan Uni Afrika, untuk mencari terobosoan baru dalam isu ini. Jika jalan terus buntu dan Mesir-Sudan merasa semakin kepepet, tidak tertutup kemungkinan Mesir-Sudan menempuh opsi militer. Ini yang semestinya harus dicegah.