Kartu Truf Presiden Saied dan Peta Jalan Solusi Politik di Tunisia
Elite politik yang saling kunci di Tunisia menyebabkan pemerintahan tumpul. Situasi kian pelik sebab krisis politik itu terjadi seiring dengan Covid-19 dan krisis ekonomi. Presiden Kais Saied pun keluarkan kartu truf.
Oleh
Musthafa Abd Rahman
·5 menit baca
AFP/FETHI BELAID
Massa pendukung Presiden Tunisia Kais Saied meneriakkan slogan-slogan mencela partai utama Ennahda di depan gedung parlemen yang ditutup oleh militer di Tunis, Tunisia, Senin (26/7/2021). Massa turun ke jalan mendukung langkah Presiden Saied untuk menangguhkan parlemen dan memberhentikan Perdana Menteri Hichem Mechichi.
Akhirnya, Presiden Tunisia Kais Saied menggunakan kartu truf untuk mengakhiri krisis politik akut yang telah melumpuhkan negeri berpenduduk hampir 12 juta jiwa itu selama hampir dua tahun terakhir. Kartu truf itu adalah Konstitusi Tunisia 2014 Pasal 80.
Intinya adalah bahwa dalam hal bahaya mengancam institusi negara atau keamanan atau kemerdekaan negara, dan menghambat fungsi normal negara, presiden dapat mengambil tindakan yang diperlukan.
Kondisi bahaya yang dijadikan dasar adalah situasi darurat Covid-19 dan krisis ekonomi. Sementara pemerintah yang mestinya melakukan tugas untuk mengatasinya justru tidak berjalan efektif karena para pemegang kekuasaan saling mengunci. Ini terkait dengan sistem politik campuran, presidensial dan parlementer, yang diadopsi Tunisia.
Tunisia merupakan negara Arab yang paling parah dihantam Covid-19 varian Delta pada Juli ini. Pada saat yang sama, sistem kesehatan negara di Afrika Utara itu ambruk menghadapi serangan Covid-19 varian Delta. Alhasil, tambahan kasus positif Covid-19 di Tunisia mencapai 4.000-10.000 kasus per hari sepanjang Juli.
Berpijak pada Konstitusi 2014 Pasal 80, Saied pada Minggu (25/7/2021) membekukan parlemen selama 30 hari dan bisa diperpanjang. Ia juga memecat Perdana Menteri (PM) Hichem Mechichi. Sehari kemudian, Saied memecat Menteri Pertahanan Ibrahim Bartaji dan Penjabat Menteri Kehakiman Hasna Ben Slimane. Pada Kamis (29/7/2021), Saied menunjuk Ridha Gharsallaoui sebagai Menteri Dalam Negeri sementara hingga terbentuk pemerintahan baru.
Saied yang maju dalam pemilihan umum presiden Tunisia 2019 dari jalur independen itu kemudian menabuh genderang perang melawan korupsi di negerinya. Ia menyerukan kepada sekitar 450 pengusaha dan mantan pejabat untuk mengembalikan kekayaan hasil korupsi di era sebelum revolusi Tunisia tahun 2011. Total nilai korupsinya diperkirakan lebih dari 5 miliar dollar Amerika Serikat atau sedikitnya Rp 72,17 triliun.
SLIM ABID/TUNISIAN PRESIDENCY VIA AP
Penjabat Menteri Dalam Negeri Tunisia Ridha Gharsallaoui (kiri) berbicara dengan Presiden Tunisia Kais Saied setelah upacara pengambilan sumpah di Istana Kepresidenan di Carthage, Tunisia, Kamis (29/7/2021). Presiden Saied menunjuk Ridha Gharsallaoui, mantan Penasihat Keamanan Nasional Kepresidenan, untuk menjalankan Kementerian Dalam Negeri.
Langkah Saied itu sempat menimbulkan polemik di Tunisia. Lawan-lawan politik Saied menyebutnya sebagai kudeta atas konstitusi dan revolusi Tunisia.
Namun, Saied yang berlatar belakang pakar hukum tata negara dan mantan guru besar bidang hukum konstitusi di Universitas Tunis membela diri dengan menegaskan, penggunaan Pasal 80 justru untuk menjaga demokrasi hasil revolusi Tunisia pada 2010-2011.
Sejauh ini, Saied masih berada di atas angin dan semakin memegang inisiatif politik dalam menghadapi lawan-lawan politiknya. Situasi Tunisia secara umum pun masih terkendali.
Keunggulan itu berkat adanya dukungan militer dan aparat keamanan. Organisasi Serikat Pekerja Tunisia (UGTT) yang merupakan institusi independen paling berpengaruh di Tunisia pun memberi dukungan.
Konon Saied menggelar pertemuan dengan pimpinan militer dan aparat keamanan sebelum menggunakan Pasal 80 untuk menjalankan langkahnya. Diduga kuat, keduanya memberikan lampu hijau.
Ini ditunjukkan, misalnya, dengan tindakan sigap militer dan aparat keamanan yang langsung menutup gedung parlemen dan kantor perdana menteri, serta menguasai jalanan kota Tunis, segera setelah Saied mengumumkan pembekuan parlemen dan memecat PM Machichi.
AFP/FETHI BELAID
Seorang pria berjalan melewati anggota pasukan keamanan Tunisia yang berjaga di luar gedung parlemen di Bardo, Tunis, Tunisia, Sabtu (31/7/2021).
Kini pertanyaannya, apa solusi politik untuk mengakhiri krisis politik di Tunisia setelah Saied menggunakan Pasal 80?
Presiden Saied kini diminta segera mengumumkan peta jalan solusi politik Tunisia. Partai Ennahda yang beraliran Islam dan kini menguasai parlemen menyampaikan siap melakukan dialog nasional untuk mencari solusi politik serta siap memberi konsesi dalam dialog nasional tersebut dalam upaya menyelamatkan demokrasi di Tunisia.
UGTT juga menyatakan sedang menyiapkan peta jalan solusi politik yang akan diumumkan dalam waktu dekat. Ini yang ditunggu karena UGTT dinilai netral dan paling berpengaruh di Tunisia.
UGTT ikut melahirkan Konstitusi 2014 yang menjadi kesepakatan nasional saat itu dan memperkuat sistem demokrasi Tunisia. Berkat andil ini, UGTT bersama dengan tiga organisasi lain mendapat Hadiah Nobel Perdamaian pada 2015.
Peta jalan solusi politik dari UGTT akan mudah diterima oleh kubu Saied ataupun lawan politiknya. Sebab, UGTT dianggap netral dan memiliki citra sangat baik selama ini. UGTT juga merupakan organisasi yang paling berwibawa setelah organisasi militer di Tunisia.
Sementara jika solusi politik datang dari partai-partai politik, khususnya partai Ennahda, kubu Saied akan sulit menerimanya. Pertimbangannya, partai-partai politik adalah bagian dari konflik dalam krisis politik di Tunisia saat ini.
AP PHOTO/HASSENE DRIDI
Warga Tunisia berjalan melewati kendaraan lapis baja militer di Jalan Habib Bourguiba, Tunis, Tunisia, Jumat (30/7/2021).
Tunisia tergelincir ke dalam krisis politik akut sejak disahkannya Konstitusi 2014 yang saat itu sangat dibanggakan para elite dan rakyat Tunisia.
Konstitusi 2014 mengadopsi sistem politik campuran presidensial dan parlementer. Pilihan ini bertolak dari semangat mengakhiri sistem politik presidensial yang diamanatkan Konstistusi 1959 yang terbukti hanya melahirkan rezim diktator.
Presiden pertama Tunisia Habib Bourguiba (1957-1987) dan Presiden kedua Tunisia Zine al-Abidine Ben Ali (1987-2011), menggunakan Konstitusi 1959 untuk memerintah Tunisia dengan tangan besi. Berlatar situasi itu, rakyat Tunisia menolak Konstitusi 1959 dan lantas melahirkan Konstitusi 2014. Bahkan, Konstitusi 2014 cenderung mereduksi kekuasaan dan kinerja presiden.
Namun, dalam perjalanannya, Konstitusi 2014 justru melahirkan pertarungan elite politik di Tunisia yang tidak sehat. Ini khususnya terjadi antara presiden, perdana menteri, dan ketua parlemen yang kewenangannya sering tumpang tindih ataupun tidak jelas.
AFP/FETHI BELAID
Aparat keamanan Tunisia menahan pengunjuk rasa di luar gedung parlemen di Tunis, Tunisia, Senin (26/7/2021). Unjuk rasa mendukung Presiden Kais Saied itu berlangsung menyusul langkah Saied menangguhkan parlemen dan memberhentikan Perdana Menteri Hichem Mechichi.
Gesekan antara elite politik itu sudah terjadi pada era Presiden Beji Caid Essebsi (1914-1919). Ia sering terlibat ketegangan politik dengan PM Youssef Chahed (2016-2020). Puncaknya terjadi pada masa Presiden Kais Saied. Tak lama setelah dilantik, Saied langsung terlibat konflik politik dengan Ketua Parlemen Rachid Ghannouchi dan PM Hichem Mechichi. Akibat konflik elite politik berkepanjangan itu, Tunisia pun lumpuh.
Saied yang terpilih dengan meraih 72 persen suara dalam pemilu presiden 2019 tidak dapat menjalankan agenda kerjanya akibat terlibat konflik dengan PM Mechichi yang mengontrol pemerintahan.
Mechichi juga tidak dapat menjalankan pemerintahan karena sejumlah menteri yang diangkatnya ditolak Saied dengan alasan dugaan terlibat kasus korupsi.
Ghannnouchi cenderung memihak PM Mechichi. Ia berpendapat, Presiden Tunisia tidak memiliki wewenang menolak menteri yang diangkat perdana menteri. Alasannya, sistem politik Tunisia bukan presidensial.
Saied menyebut, Konstitusi 2014 penuh ranjau yang menghambat kinerja pemerintah. Oleh sebab itu, peta jalan solusi politik yang bisa diterima semua pihak diharapkan menjadi awal penyelesaian krisis politik berkepanjangan di Tunisia.