Virus terus bermutasi dan menghadirkan galur baru selama langkah pengendalian tidak diterapkan secara konsisten. Pelonggaran pembatasan gerak dan ketidakadilan vaksinasi juga memperburuk keadaan.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
GENEVA, SABTU — Galur delta dan galur-galur lain yang mungkin hadir dari mutasi virus SARS-nCoV-2 mengancam penanggulangan pandemi Covid-19 selama 1,5 tahun terakhir. Bahaya galur Delta terhadap orang yang belum divaksin meningkat 10 kali lipat dibandingkan terhadap yang sudah vaksin.
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, kemenangan terhadap pandemi sedang terancam. Sistem kesehatan di banyak negara sedang kewalahan.
”Di Afrika, jumlah kenaikan naik 80 persen. Kebanyakan karena galur Delta, yang kini terdata di sekurangnya 132 negara,” ujarnya, Jumat (30/7/2021) siang waktu Geneva atau Sabtu dini hari WIB.
Sejauh ini, WHO mendata 4 galur baru sejak SARS-nCoV-2 dilaporkan pertama kali dan galur Delta terpantau paling berbahaya. Sebab, penyebaran galur itu 50 persen lebih cepat dibanding galur asal.
Tedros khawatir, virus terus bermutasi dan menghadirkan galur baru selama langkah pengendalian tidak diterapkan secara konsisten. Di sisi lain, pembatasan gerak semakin longgar dan ada ketidakadilan terkait vaksinasi.
Galur Delta, yang pertama kali terlacak di India, sama menularnya dengan cacar air dan lebih cepat menular dibandingkan influenza. Pusat Pengendalian Penyakit Menular (CDC) Amerika Serikat merokomendasikan bahaya galur Delta dikomunikasikan lebih mangkus dan meluas.
Salah satu yang perlu disampaikan adalah bahaya galur Delta terhadap orang yang belum divaksin meningkat 10 kali lipat dibandingkan terhadap yang sudah vaksin. Pesan itu perlu disampaikan kala 90 juta warga AS yang layak divaksinasi belum mendapat satu dosis pun karena berbagai alasan. Pemerintah AS sampai mendorong pemberian uang atau kupon bernilai 100 dollar AS kepada yang mau divaksinasi.
”Semua vaksin yang disetujui WHO menekan tingkat keparahan dan (peluang) masuk rumah sakit (yang ditimbulkan) semua galur, termasuk Delta. Kita melawan virus yang semakin cepat beradaptasi dan menular di antara manusia,” kata Kepala Kebijakan Layanan Darurat WHO Mike Ryan.
Vaksinasi
Tedros mengatakan, WHO belum mengubah target vaksinasi. Pada September 2021 diharapkan paling sedikit 10 persen penduduk setiap negara sudah divaksinasi. Tingkat vaksinasi diharapkan menjadi 40 persen pada akhir 2021 dan 70 persen pada Juni 2021. ”Sejauh ini, hanya sedikit negara sudah mencapai target 10 persen vaksinasi lengkap, tidak sampai seperempat divaksinasi 40 persen dan hanya 3 negara sudah memvaksinasi 70 persen (warga yang menjadi target vaksinasi),” ujarnya.
Dengan tren sekarang, 70 persen negara Afrika akan gagal mencapai target vaksinasi 10 persen pada akhir September 2021. Kini, hingga 4 juta dosis diberikan per pekan di Afrika. Untuk mencapai target September, jumlah dosis harus dinaikkan menjadi setidaknya 21 juta.
Kendala Afrika terutama kesulitan mendapat vaksin. Dari 4,06 miliar dosis secara global, tidak sampai 80 juta yang disuntikkan di Afrika. WHO mendata, hanya 18 juta dari 1,2 miliar penduduk Afrika yang sudah mendapat vaksinasi lengkap.
Menciptakan kesenjangan
Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia Ngozi Okonjo-Iweala mengatakan, kesenjangan vaksinasi berkontribusi pada kesenjangan perdagangan global.
”Kinerja perdagangan amat berbeda antarkawasan, ketidakmerataan akses terhadap vaksin Covid-19 menjadi penyebab utama. Hal ini terutama pada negara berpenghasilan rendah yang rata-rata kurang dari 1 persen penduduknya sudah divaksin. Kegagalan memastikan akses terhadap vaksin mengancam ekonomi global dan kesehatan masyarakat,” katanya.
Laporan Dana Moneter Internasional (IMF) punya kesimpulan senada. Akses terhadap vaksin kini membagi dunia menjadi kelompok tervaksinasi dan belum tervaksinasi. Padahal, pemulihan ekonomi global membutuhkan semua negara bisa menanggulangi pandemi. Salah satu kebutuhan penanggulangan itu adalah akses terhadap vaksin.
Seperti disampaikan Tedros, IMF juga berpendapat bahwa kegagalan perluasan vaksinasi secara global akan meningkatkan peluang penyebaran galur Delta dan galur lain hasil mutasi SARS-nCoV-2. Hal itu bisa mengganggu upaya pemulihan. Dengan skenario sekarang saja, kehilangan nilai produk domestik bruto (PDB) secara global bisa mencapai 4,5 triliun dollar AS pada 2025. Negara-negara kaya akan menanggung dampak terberat.
Kesimpulan laporan IMF menjadi tambahan alasan agar negara-negara kaya tidak meneruskan pembatasan akses terhadap vaksin. Sejak 2020, WHO sudah mengingatkan bahaya fenomena yang disebut nasionalisme vaksin itu. Sejumlah negara melarang pengiriman vaksin ke negara lain demi memenuhi kebutuhan domestik. ”Sampai sekarang, distribusi vaksin tetap tidak adil,” kata Tedros.
Ia merujuk fakta sejumlah negara sudah memvaksinasi lengkap lebih dari 50 persen populasinya. Sementara di negara lain, 90 persen penduduknya sama sekali belum menerima vaksinasi.
Kini, beberapa negara kaya memang mulai mengirimkan vaksin ke negara lain. Anggota G-7, kelompok negara-negara terkaya di dunia, menjanjikan sumbangan hingga 50 juta dosis vaksin sampai 2022. Beberapa pihak mendorong G-7 menambah jumlah sumbangan itu. (AFP/REUTERS)