Presiden Filipina Rodrigo Duterte memutuskan melanjutkan perjanjian kerja sama militer dengan Pentagon setelah menggantung setahun terakhir. Sikap Duterte diambil setelah melihat China yang semakin agresif di LCS.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
MANILA, JUMAT — Setelah berbulan-bulan menggantung status hubungan kerja sama dengan militer Amerika Serikat, Presiden Filipina Rodrigo Duterte memutuskan memulihkan kerja sama yang mengatur kehadiran pasukan negara adidaya di negara bekas koloni Spanyol tersebut. Keputusan Duterte untuk memulihkan kerja sama dengan militer AS diputuska di tengah tensi hubungan antara China dan Filipina yang semakin memanas terkait konflik teritorial di Laut China Selatan.
Keputusan Duterte diumumkan oleh Menteri Pertahanan Filipina Delfin Lorenzana seusai bertemu Menhan AS Lloyd Austin di Manila, Jumat (30/7/2021).
”Presiden memutuskan untuk menarik atau mencabut surat penghentian VFA (visiting forces agreement). Tidak ada surat penghentian dan kita kembali ke jalurnya,” kata Lorenzana kepada wartawan setelah pertemuan selama satu jam dengan Austin.
Keputusan Duterte untuk ”merapat” ke AS ini berkebalikan dengan sikap presiden yang berusia 71 tahun itu pada Februari tahun lalu. Kala itu Duterte menyatakan akan menghentikan segala bentuk kerja sama militer dengan AS setelah pemerintah Negeri Paman Sam itu menolak mengeluarkan visa bagi orang kepercayaannya yang memimpin perang terhadap geng narkoba, yang diduga melanggar hak asasi manusia dan dinilai sebagai sebuah tindakan di luar hukum.
Saat itu Duterte, melalui juru bicaranya, Salvador Panelo, berdalih keputusan itu sebagai upaya Manila lebih independen terhadap kepentingan-kepentingan negara besar yang sedang berebut pengaruh di kawasan.
Keputusan untuk mengakhiri perjanjian di antara kedua negara, yang pada akhirnya berstatus menggantung, menjadi pukulan besar bagi aliansi tertua AS di Asia karena pada saat yang sama Washington tengah bersitegang dengan Beijing dalam berbagai masalah, mulai dari perdagangan, hak asai manusia, asal usul virus SARS CoV-2 penyebab Covid-19, hingga agresivitas China di Laut China Selatan dan kawasan secara keseluruhan.
Kehadiran militer AS di kawasan dipandang sebagai penyeimbang kekuatan atas China, yang sering kali memperlihatkan kapabilitas militernya untuk menegaskan klaim atas wilayah luas Laut China Selatan yang disengketakan, termasuk pembangunan pulau-pulau buatan yang dilengkapi dengan landasan terbang dan instalasi militer. China telah mengabaikan dan terus menentang putusan arbitrase internasional 2016 yang membatalkan dasar historisnya.
Ketegangan terbaru antara China dan Filipina membuat Duterte memutuskan untuk membangun Pulau Thitu atau Pagasa menurut Manila, Zhongye Dao menurut China, atau Dao Thi Tu menurut Vietnam sebagai pusat logistik militernya. Setiap satuan Angkatan Laut Filipina yang tengah melintas di kawasan bisa memenuhi kebutuhan bahan bakar dan logistik lainnya di pulau tersebut (Kompas.id, 17 Mei 2021)
Beijing telah berulang kali mengingatkan Washington dan Pentagon untuk menjauh dari konflik wilayah, yang digambarkan sebagai konflik di antara negara-negara Asia semata telah memperingatkan Washington untuk menjauh dari apa yang digambarkannya sebagai sengketa murni Asia.
Austin dan Pemerintah AS menyambut baik keputusan Duterte karena hal itu memberikan kepastian bagi mereka, terutama dalam hal perencanaan dan strategi di kawasan. ”Ini memberikan kepastian bagi kami ke depan, kami dapat melakukan perencanaan jangka panjang dan melakukan berbagai jenis latihan,” kata Austin.
Austin dalam pernyataannya ketika berada di Singapura, selepas mengunjungi Vietnam, mengatakan, klaim Beijing atas Laut China Selatan tidak memiliki dasar dalam hukum internasional dan menginjak-injak kedaulatan wilayah negara-negara di kawasan. Dia juga menyatakan, AS mendukung sikap negara-negara pantai di kawasan untuk membela haknya berlandaskan hukum internasional dan berkomitmen pada kewajiban perjanjian pertahanannya dengan Jepang dan Filipina.
Di bawah payung perjanjian VFA, pasukan AS dan Filipina terlibat dalam sekitar 300 kegiatan setiap tahun, termasuk Balikatan, atau latihan bahu-membahu, yang melibatkan ribuan tentara untuk berlatih di darat, laut, dan udara. Dalam latihan itu, anggota militer kedua negara menggunakan peluru tajam dan bukan peluru hampa. Latihan itu sendiri sering kali memicu protes Beijing karena kapal-kapal berbendera China tidak bisa melintas dan tertahan di batas laut yang diklaim sebagai miliknya.
Seorang pejabat militer Filipina yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan, keputusan Duterte untuk merapat ke Washington tidak terlepas dari suplai informasi intelejen dan foto-foto pengintaian satelit tentang ekspansi China di LCS. Gambar-gambar AS telah membantu Filipina untuk menyadari perambahan dan berujung pada pengiriman nota diplomatik kepada Beijing.
Pengamat menilai, keputusan Duterte menguntungkan AS karena mereka bisa merotasi pasukannya di kawasan dan Filipina, khususnya, yang akan menguntungkan negara itu. Sementara bagi kawasan, kehadiran pasukan AS akan membuat China berpikir ulang jika ingin bersikap agresif.
”(Keputusan Duterte) membuka kemungkinan signifikan untuk memperkuat aliansi yang sebelumnya sempat tertutup,” kata Greg Poling dari CSIS.
Namun, menurut Aaron Connely, analis dari IISS (Institut International untuk Studi Strategis), terlalu dini untuk merayakan ”merapatnya kembali” Filipina ke AS. ”VFA akan terus berada di bawah ancaman selama Duterte berkuasa,” kata Connelly. (AP/REUTERS)