Filipina dan Jepang Umumkan Pengetatan Pembatasan Kegiatan Masyarakat
Melonjaknya kasus baru, Pemerintah Filipina dan Jepang memperketat pembatasan. Selain itu, program vaksinasi terus digalakkan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
KOMPAS, JUMAT — Galur Delta Covid-19 semakin merebak di Filipina dan Jepang. Kedua negara itu sama-sama mengumumkan pengetatan wilayah, terutama di wilayah ibu kota dan sekitarnya. Langkah ini dianggap sebagai pilihan yang paling masuk akal di tengah lamanya proses menyuntikkan vaksin Covid-19 ke masyarakat.
Pembatasan kegiatan masyarakat di Filipina kali ini fokus di Metro Manila, yaitu di ibu kota Manila dan 15 kota satelit, di antaranya adalah Quezon, Makati, Pasig, dan Mandaluyong. Total ada 13 juta penduduk yang terkena aturan pengetatan tidak boleh meninggalkan rumah sama sekali, kecuali untuk urusan darurat dan berbelanja kebutuhan pokok. Aturan ini berlaku mulai 6 Agustus sampai dengan 20 Agustus.
”Ini keputusan yang berat, tetapi demi mencegah bertambahnya kasus positif,” kata Juru Bicara Kepresidenan Filipina Harry Roque di Manila, Jumat (30/7/2021). Pengetatan wilayah ini mengakibatkan Pemerintah Filipina rugi sebesar 4 miliar dollar AS.
Dalam wawancara dengan harian Inquirer, Wali Kota Manila Isko Moreno mengatakan, pihaknya kewalahan menangani penularan Covid-19. Apalagi, butuh tiga pekan bagi laboratorium pengkajian genomik milik Universitas Filipina menuntaskan pemeriksaan sampel hasil tes reaksi berantai polimerase (PCR).
”Dalam tiga pekan menunggu hasil laboratorium, risiko penularan tinggi sekali kalau kita tetap tidak melakukan pembatasan kegiatan masyarakat,” papar Moreno. Tingkat keterisian rumah sakit di Metro Manila adalah 49 persen, sementara keterisian unit perawatan intensif (ICU) adalah 58 persen.
Secara nasional, angka kematian akibat Covid-19 ialah 28.000 jiwa dan akumulasi kasus positif dari tahun 2020 sudah mencapai 1,5 juta kasus. Filipina menutup pintu perbatasannya dari penerbangan asal Indonesia, Malaysia, Thailand, India, dan Uni emirat Arab.
Pemerintah Filipina juga terus mendorong proses imunisasi Covid-19. Dari 110 juta penduduk negara ini, baru 7 persen yang telah menerima imunisasi. Selain keterbatasan vaksin, juga ada kendala dari keengganan masyarakat untuk disuntik.
Ketua Majelis Wali Kota Metro Manila Benjamin Abalos mengungkapkan, kapasitas imunisasi Covid-19 harian di wilayah aglomerasi itu hanya 150.000 dosis. Para wali kota sepakat menaikkan target menjadi 250.000 dosis per hari.
Salah satu penyebab rendahnya inisiatif masyarakat mengikuti program vaksinasi Covid-19 ialah karena trauma dengan kasus vaksin demam berdarah Dengvaxia tahun 2016. Vaksin merek ini dituding sebagai penyebab kematian 100 anak.
Sebelumnya, Presiden Filipina Rodrigo Duterte melontarkan pernyataan kontroversial. Ia secara frontal mengatakan, orang-orang yang tidak mau diimunisasi sebagai penyebar virus dan melarang mereka untuk keluar rumah. Para kepala desa dan ketua rukun warga diperintahkan memastikan orang-orang yang tidak mau divaksin bergeming di tempat tinggal masing-masing. Nekat melangkah keluar, Duterte mengancam akan memolisikan mereka.
Jepang darurat
Di Jepang, pemerintah menyatakan situasi sebagai darurat nasional. Meskipun begitu, ini tidak berarti mereka menerapkan penutupan wilayah. Sejak Maret 2020, Jepang tidak pernah menerapkan karantina wilayah. Mereka memilih melakukan pembatasan jam operasional. Dalam situasi ini, bar dan kelab malam tetap buka meskipun tidak sampai dini hari dan dibatasi jumlah pengunjungnya.
Situasi darurat nasional ini diutarakan oleh Menteri Kesehatan Norihisa Tamura. Keterisian rumah sakit di Jepang kini 60 persen. Pada hari Kamis (29/7), di negara ini ada 10.000 kasus Covid-19 baru dan sepertiganya di Tokyo. Adapun pada hari Jumat terjadi penambahan 3.300 kasus. ”Jepang sedang menuju tahap pandemi yang mengerikan,” ujar Tamura.
Dilansir dari BBC, kebanyakan warga Tokyo tidak meyakini pembatasan jam operasional ini berpengaruh pada pengendalian pandemi. Pasalnya, masyarakat sudah kadung terbiasa dengan suasana pandemi dan tetap berkegiatan seperti biasa.
Sejumlah kritik di dalam dan luar negeri menyalahkan perhelatan Olimpiade 2020 di Tokyo sebagai penyebab lonjakan kasus Covid-19. Sejauh ini, tercatat ada 200 orang di Kampung Atlet Tokyo yang dinyatakan positif mengidap Covid-19.
Akan tetapi, Gubernur Tokyo Yuriko Koike menampik tuduhan itu. Menurut dia, penyelenggaraan Olimpiade justru membuat warganya tidak meninggalkan rumah.
Koike kemudian mendorong percepatan proses imunisasi, terutama di kalangan anak muda. Secara nasional, sudah 30 persen penduduk Jepang yang mendapat imunisasi Covid-19. (AP/REUTERS)