Ada 13.080 bom nuklir dimiliki AS, Rusia, Perancis, Inggris, China, India, Pakistan, Israel, dan Korea Utara. Dari jumlah itu, 6.375 unit ada di Rusia dan 5.800 unit berada di AS. Mayoritas bom tidak dipasang di rudal.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
KOREAN CENTRAL NEWS AGENCY/KOREA NEWS SERVICE VIA AP
Foto yang disebarluaskan Pemerintah Korea Utara memperlihatkan rudal balistik tipe baru ”Hwasong-12” yang baru direkonstruksi. Korea Utara menyatakan uji coba peluncuran roket balistik jarak menengah-jauh yang mampu membawa hulu ledak nuklir tersebut sukses.
STOCKHOLM, JUMAT — Dari 3.852 bom nuklir siap luncur sewaktu-waktu, 2.200 unit di antaranya dimiliki Amerika Serikat dan sekutunya. Sebaliknya, Rusia punya cadangan bom nuklir paling banyak.
Hal itu diungkap Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) pada Kamis (29/7/2021) siang waktu setempat atau Jumat dini hari WIB. Laporan SIPRI menjadi salah satu acuan utama untuk memantau dinamika persenjataan global.
SIPRI mengungkap, ada 13.080 bom nuklir yang dimiliki AS, Rusia, Perancis, Inggris, China, India, Pakistan, Israel, dan Korea Utara. Walakin, data SIPRI tidak menunjukkan ada bom nuklir dipasang pada rudal milik China, India, Pakistan, Israel, dan Korut. Sementara 1.800 rudal AS, 1.625 rudal Rusia, 280 rudal Perancis, dan 120 rudal Inggris dipasangi hulu ledak nuklir.
Negara-negara pemilik bom nuklir juga menyimpan total 9.255 hulu ledak yang tidak dipasang di rudal. Sebagian dari hulu ledak itu akan kedaluwarsa. Dari 13.080 bom nuklir di sembilan negara itu, sebanyak 6.375 unit ada di Rusia dan 5.800 unit berada di AS.
SIPRI tidak memasukkan Iran dan sejumlah negara lain dalam daftar pemilik bom nuklir. Iran dan sejumlah negara memang terus berusaha meningkatkan kemampuan untuk bisa memiliki bom nuklir.
SIPRI mengakui, bisa jadi jumlah total hulu ledak yang disimpan dan siap diluncurkan lebih banyak atau lebih sedikit dari yang diumumkan. Sebab, tidak semua negara mengungkap persenjataan nuklirnya.
Sampai sekarang, tidak ada pengumuman resmi soal jumlah bom nuklir China, Israel, Korut, India, dan Pakistan. Dalam beberapa kesempatan, Perdana Menteri Pakistan Imran Khan bolak-balik mengungkap bahwa Islamabad terus berusaha menghindari penggunaan senjata strategis dalam konflik dengan India. Senjata strategis adalah sebutan untuk bom nuklir. Sementara semua senjata lain disebut konvensional.
REUTERS/THOMAS PETER
Rudal balistik antarbenua (ICBM) milik China, Dongfeng-41 (DF-41), dipamerkan dalam parade militer untuk merayakan 70 tahun berdirinya Republik Rakyat China, di Beijing, China, Selasa (1/10/2019). Pada Juli 2021, terungkap China tengah membangun hingga 250 peluncur ICBM di tiga lokasi.
Ada pun Beijing berulang kali hanya menyebut senjata nuklir mereka hanya untuk keperluan penggentar. China akan menjaga senjata nuklirnya sekadar untuk memastikan bisa membalas jika seandainya diserang negara lain.
Pelibatan
Beijing juga berulang kali menolak dilibatkan dalam perundingan pengendalian senjata strategis yang kini melibatkan AS-Rusia. Perundingan itu tengah berlangsung di Geneva, Swiss, sejak Rabu (28/7/2021). Moskwa-Washington tengah merundingkan kerangka pengganti untuk New START, kesepakatan pengendalian persenjataan nuklir AS-Rusia. Kesepakatan itu berakhir pada Februari 2021 dan kini berstatus perpanjangan sementara.
Sejak beberapa tahun lalu, Washington mendesak Beijing dilibatkan dalam kerangka sejenis. Sementara di tengah perundingan di Geneva, Moskwa mendesak London dan Paris juga dilibatkan. Duta Besar Rusia di Washington Anatoly Antonov mengatakan, sulit menghindari penambahan para pihak dalam kerangka pengendalian itu. Bagi Moskwa, London dan Paris harus diprioritaskan untuk dilibatkan. ”Pertanyaannya semakin relevan khusunya setelah London memutuskan meningkatkan jumlah hulu ledak menjadi hingga 260 unit,” ujarnya.
Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Ryabkov dan Wakil Menlu AS Wendy Sherman memimpin delegasi masing-masing di Geneva. Ryabkov menyebut, AS tetap berkeras China harus dilibatkan dalam kerangka baru.
Seorang pejabat AS, yang menolak namanya diungkap, menyebut bahwa perundingan di Geneva tidak hanya membahas nuklir. Perundingan itu juga akan membahas senjata yang dikendalikan sistem kecerdasan buatan, serangan dunia maya, dan persenjataan hipersonik.
Peneliti kajian Amerika di Moscow State Institute of International Relations, Andrey Baklitskiy, menyebut perundingan di Geneva benar-benar akan mulai dari dasar. ”Sekarang masih dalam kondisi saling sapa dan membangun saling pengertian,” ujarnya.
Dalam perundingan beberapa hari ini, para pihak masih saling mengungkap isu yang diperhatikan masing-masing. ”Bagi Rusia, ada kerisauan pada upaya AS memodifikasi bom besar dan peluncur untuk rudal balistik. Sekarang (modifikasi) sedang berlangsung,” katanya.
Sementara AS terutama risau oleh upaya Rusia mengembangkan bom nuklir skala rendah. Washington juga cemas dengan fakta Rusia telah semakin siap mengoperasikan persenjataan hipersonik. Sementara AS masih berstatus pengembangan. Sampai sekarang, tidak ada sistem pertahanan bisa menangkal persenjataan hipersonik. (AFP/REUTERS)