Evolusi manusia dari manusia purba menjadi ”Homo sapiens” belum sepenuhnya terkuak karena ada periode yang masih bolong-bolong. Temuan tim peneliti di Maroko pekan ini menguak sebagian teka-teki soal periode tersebut.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
Penemuan artefak teknologi Achulean di Maroko pada Selasa (27/7/2021) semakin membuka tabir asal-usul manusia modern. Homo erectus, nenek moyang manusia zaman sekarang atau Homo sapiens ini, terbukti telah memiliki sistem kekerabatan, teknologi, dan ekonomi yang kompleks walaupun masih bermodalkan alat-alat dari batu.
Evolusi manusia dari manusia purba menjadi Homo sapiens belum sepenuhnya terkuak karena ada periode yang masih bolong-bolong. Salah satu periode tersebut adalah zaman batu tua yang ditandai dengan perkembangan teknologi Achulean, yaitu teknologi kapak batu.
Istilah ”Achulean” diambil dari Saint-Acheul, sebuah daerah di Perancis bagian selatan tempat artefak jenis ini pertama kali ditemukan pada tahun 1859. Hingga kini, persebaran temuan kapak batu Achulean mencakup Perancis, Spanyol, Portugal, Timur Tengah, India, Indonesia, dan Benua Afrika.
Kapak ini berukuran sebesar telapak tangan manusia dewasa. Bentuknya menyerupai segitiga dengan dua sisi diasah atau dipahat sehingga tajam. Kapak ini, menurut para ahli prasejarah, digunakan untuk membunuh binatang buruan, menguliti binatang, dan menggali umbi-umbian. Homo erectus, sesuai dengan namanya, merupakan jenis manusia purba yang telah berjalan dengan dua kaki dan berpostur tegap.
”Umumnya, artefak batu Achulean yang ditemukan di Afrika Utara berusia 500.000-700.000 tahun. Akan tetapi, penemuan di luar kota Kasablanka ini usianya diperkirakan mencapai 1,3 juta tahun,” kata Abderrahim Mohib, salah satu pemimpin Program Prasejarah Kasablanka.
Anggota tim peneliti di situs ini, selain dari Maroko, juga ada yang berasal dari Perancis dan Italia. Ekskavasi telah dilakukan sejak tahun 1969. Sejumlah artefak batu Achulean berusia 700.000 tahun ditemukan di lapisan dekat permukaan tanah. Kali ini, tim menggali lebih dalam dan menemukan artefak lebih tua.
Selain di Maroko, benda-benda batu Achulean juga ditemukan di Afrika Selatan dan Afrika Timur. Di kedua wilayah itu, usianya mencapai 1,5 juta tahun-1,8 juta tahun. Richard Potts, Direktur Program Kajian Asal-usul Manusia Institut Smithsonian, Amerika Serikat, merupakan salah seorang ahli yang terlibat dalam penggalian di Kenya.
Dalam media The Conversation edisi Oktober 2021, ia menulis penggalian dilakukan di Olorgesaile. Usia artefak Achulean di sana berkisar 500.000 tahun-1 juta tahun. Kapak-kapak batu itu terbuat dari batu jenis obsidian. Ditemukan pula bukti-bukti bahwa Homo erectus mencari batu obsidian hingga radius 95 kilometer dari Olorgesaile.
Potts menjelaskan, pada zaman itu Homo erectus mulai hidup berdampingan dengan Homo sapiens. Kondisi Olorgesaile saat itu sangat subur, yaitu berupa padang rumput dengan banyak mata air. Hewan-hewan, seperti zebra, babi, babon, badak, dan gajah, turut hidup di padang rumput.
Timnya memperkirakan, 400.000 lalu, kondisi di padang rumput Olorgesaile mulai berubah. Sejumlah tanaman menghilang dan berdampak pada berkurangnya beberapa spesies hewan yang meninggalkan daerah itu. Populasi Homo erectus perlahan berkurang, sementara Homo sapiens yang lebih adaptif terhadap perubahan bisa bertahan dan melahirkan Zaman Batu Pertengahan.
Pemikiran kompleks
Faktor penting lain dari penemuan artefak Achulean ialah membantu merunutkan evolusi otak manusia. Paleoantropolog Universitas Zurich, Christoph Zollikofer, memaparkan bahwa kapak batu ini tidak memiliki gagang. Pemakaiannya menggunakan satu tangan atau bisa juga dua tangan, tergantung berat kapaknya. Oleh sebab itu, kedua sisi kapak berbentuk simetris agar seimbang ketika dipegang.
”Ini adalah bukti otak yang mampu berpikir kompleks, bukan hanya membuat alat sebatas untuk membantu individu melakukan sesuatu. Ada perhitungan mengenai ukuran, bentuk, dan fungsi dari kapak. Penemuan ini menjadi jembatan evolusi otak dari manusia purba ke manusia modern,” ujar Zollikofer.
Dalam majalah Live Science edisi Maret 2012, tim peneliti dari Universitas British Columbia, Kanada, juga menemukan fakta bahwa kapak batu Achulean dipakai pula sebagai alat pertukaran. Menurut mereka, Homo erectus telah memiliki standar pembuatan kapak tersebut sehingga bisa menjadi benda yang memiliki nilai terukur untuk dibarter. (AFP/REUTERS)