Donasi Ginjal untuk Hubungan Palestina-Israel yang Lebih Baik
Seorang guru taman kanak-kanak di Israel mendonorkan ginjalnya bagi bocah Palestina berusia tiga tahun. Baginya, menyelamatkan nyawa lebih penting meski harus berkonflik dengan keluarganya sendiri.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
Tahun ini, saat usianya memasuki setengah abad, Idit Harel Segal, warga Israel, tidak berpikir akan mendapatkan kado ulang tahun, seperti layaknya orang yang tengah bersukacita mensyukuri hari kelahirannya. Sebaliknya, dia memilih memberikan hadiah kepada orang lain yang membutuhkan.
Hadiahnya pun tidak main-main: mendonorkan satu ginjalnya kepada orang asing.
Segal, guru taman kanak-kanak di Israel utara, berharap keputusannya mendonorkan salah satu ginjal itu akan menjadi contoh kemurahan hati di tempat kelahirannya, sebuah kawasan konflik abadi. Keputusan Segal didorong oleh pernyataan mendiang kakeknya, seorang penyintas Holocaust, yang mendorongnya agar memiliki hidup lebih bermakna. Dalam tradisi Yahudi dinyatakan, tidak ada tugas yang lebih tinggi daripada menyelamatkan nyawa orang lain.
Menjadi donor organ tidak mudah dan tidak bisa dilakukan sendirian. Perjalanan panjang harus dilakukan Segal, mulai dari memeriksakan kesehatan diri dan organ tubuh yang akan didonorkannya. Matnat Chaim, lembaga swadaya masyarakat di Jerusalem, membantu Segal mencarikan calon penerima ginjalnya.
Dan, setelah berbulan-bulan, Segal mendapatkan kabar bahwa calon penerima ginjalnya adalah seorang anak balita laki-laki Palestina yang tinggal di Jalur Gaza. Calon penerimanya masih berusia sangat muda: tiga tahun.
Ketika mengetahui identitas bocah itu, Segal menyimpan detailnya untuk dirinya sendiri selama berbulan-bulan. ”Saya tidak memberi tahu siapa pun. Saya berkata, jika reaksi terhadap donasi ginjal ini begitu keras pada diri saya, bocah Palestina itu pasti akan mendapatkan reaksi lebih keras lagi,” ucap Segal.
Selama puluhan tahun, Palestina-Israel dilanda konflik tak berujung. Israel terus memblokade ketat Jalur Gaza sejak kelompok Hamas menguasai wilayah itu pada 2007. Israel dan Hamas telah berperang empat kali sejak saat itu. Dengan sistem layanan kesehatan di Gaza yang rusak akibat konflik dan blokade bertahun-tahun, Israel memberikan akses masuk ke negaranya kepada sedikit pasien medis yang membutuhkan perawatan serius atas dasar kemanusiaan.
Kekerasan bersenjata selama 11 hari pada Mei lalu membuat Segal marah dan frustrasi. Ia merasa seolah tidak ada cinta dan damai. Tapi, niatnya sudah bulat. ”Saya membuang kemarahan dan frustrasi, melihat hanya satu hal: harapan untuk perdamaian dan cinta. Jika ada banyak orang seperti kami, tidak ada alasan lagi untuk berperang,” kata Segal.
Ditentang keluarganya
Keputusan Segal mendonorkan ginjalnya menyebabkan keretakan dalam keluarganya. Suami dan anak tertuanya yang berusia 20 tahun menentang keinginan Segal. Ayahnya juga menolak keras rencana tersebut dan tak mau lagi berbicara dengannya.
”Keluarga saya sangat menentang (rencana donasi) ini. Semua orang menentang. Suami saya, adik saya dan suaminya. Dan orang yang paling tidak mendukung adalah ayah saya. Mereka khawatir dengan keputusan ini,” tutur Segal.
Di sisi sang bocah calon penerima ginjal, prosesnya menjadi rumit. Ayah bocah Palestina itu, yang ginjalnya tidak cocok untuk anaknya, diberi tahu oleh manajemen rumah sakit di Israel bahwa proses donasi ginjal untuk anaknya akan dipercepat dan diprioritaskan apabila sang ayah bersedia mendonorkan ginjalnya kepada calon penerima dari Israel.
Menurut Direktur Eksekutif Matnat Chaim, Sharona Sherman, bocah laki-laki itu bisa masuk daftar paling atas apabila sang ayah mau mendonasikan ginjalnya.
Di beberapa negara, proses timbal balik seperti itu tidak dibolehkan karena akan menimbulkan pertanyaan etik soal kemungkinan pemaksaan mendonasikan organ tubuh. Secara prinsip, donasi organ harus dilakukan atas dasar kehendak bebas sendiri dan tidak ada imbalan apa pun.
Meski demikian, saat anak balitanya menerima ginjal baru pada 16 Juni lalu, pada hari itu juga pria warga Palestina tersebut mendonasikan salah satu ginjalnya kepada perempuan Israel berusia 25 tahun, ibu dua anak.
Bagi Segal, meski harus berkonflik dengan keluarga, menjadi donor organ bagi seorang bocah laki-laki yang baru berusia tiga tahun adalah tindakan mulia. Ginjalnya membantu menyelamatkan nyawa bocah balita itu dan—syukur-syukur—bisa membantu terwujudnya hubungan baru Palestina-Israel. Hingga kini, Segal mempertahankan komunikasi dengan orangtua sang bocah.
Segal menyempatkan menulis sebuah surat untuk sang bocah dan keluarganya. Surat ini mungkin akan diberikan oleh sang ayah kepada anaknya ketika sang anak sudah dewasa nanti.
”Kamu tidak mengenal saya, tapi kita akan segera menjadi sangat dekat karena ginjal saya akan berada di dalam diri kamu. Saya berharap dengan sepenuh hati operasi ini akan berhasil dan kamu akan hidup panjang, sehat, dan bermakna,” tulis Segal dalam suratnya.
Kini, perlahan, orang-orang terdekatnya mulai mengerti keputusannya mendonorkan ginjalnya kepada seorang bocah Palestina. Menjelang operasi, ayah Segal, yang pernah memutuskan tak mau berbicara kepadanya, menelepon.
”Saya tidak ingat apa yang dia katakan karena dia menangis,” kata Segal. Segal memberi tahu ayahnya sekali lagi bahwa ginjalnya akan diberikan kepada bocah Palestina. Untuk sesaat, ada keheningan. Dan kemudian ayahnya berkata, ”Baiklah, bocah itu harus hidup juga,” ujar sang ayah. (AP)