Pengadilan Tinggi Hong Kong untuk pertama kalinya memvonis aktivis prodemokrasi melakukan tindak pidana terorisme. UU Keamanan Nasional dinilai diinterpretasikan terlalu luas dan menjadi sangat karet.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
HONG KONG, SELASA — Pengadilan Tinggi Hong Kong menyatakan, Tong Ying Kit (24) bersalah karena dinilai menyebarluaskan ajakan dan menghasut pemisahan diri warga Hong Kong dari China. Dalam pembacaan putusan, Selasa (27/7/2021), majelis hakim pengadilan menjatuhkan vonis tindak pidana terorisme kepada Tong di bawah Undang-Undang Keamanan Nasional yang baru dengan ancaman hukuman maksimal penjara seumur hidup.
Tong, yang sehari-hari bekerja sebagai pelayan, mengaku tidak bersalah. Kuasa hukum Tong akan meminta agar kliennya mendapatkan hukuman yang lebih ringan dibandingkan dengan ancaman hukuman pada sidang lanjutan yang akan berlangsung pada Kamis (29/7/2021).
Putusan Pengadilan Tinggi Hong Kong itu menjadi penanda baru lanskap hukum wilayah yang pernah dikelola Inggris pasca-penerapan UU Keamanan Nasional, 1 Juli 2020. Putusan itu sekaligus menegaskan bahwa buah pikiran yang dituangkan dalam slogan-slogan tertentu yang menyinggung Beijing dilarang.
Hakim Esther Toh, yang membacakan putusan, menyatakan, tindakan Tong menabrak tiga polisi yang menghadangnya sebagai sebuah tindakan terorisme yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan kerugian besar bagi masyarakat. Tong mengendarai sepeda motor sambil membawa bendera dan spanduk bernada protes yang berbunyi ”Bebaskan Hong Kong, Revolusi Zaman Kita” pada 1 Juli 2020
Majelis hakim juga menilai, tindakan Tong adalah aksi kekerasan terhadap pemerintah pusat (Beijing) dan Hong Kong serta intimidasi publik. Sementara membawa spanduk dan bendera yang berisi slogan pembebasan Hong Kong dinilai sebagai sebuah tindakan menghasut pemisahan diri dari Pemerintah China.
Tindakan-tindakan itulah yang membuat majelis hakim yakin bahwa Tong telah terbukti melakukan tindak pidana terorisme dan juga menghasut, mengajak warga Hong Kong memisahkan diri dari Beijing. Tong tidak berbicara selama pembacaan putusan. Dia melambai kepada orangtuanya dan sejumlah kerabatnya ketika dia dikawal keluar dari ruang sidang.
Pengacara Tong menyatakan, pertimbangan majelis hakim yang menyatakan bahwa kliennya menghasut warga untuk memisahkan diri hanya dengan sebuah bendera tidak bisa dibuktikan. Dalam persidangan, para saksi yang dihadirkan untuk memberikan penafsiran tentang makna kata-kata yang tertulis di spanduk dan bendera juga beragam.
Beberapa saksi ahli berpendapat bahwa slogan itu bisa ditafsirkan bermacam-macam oleh orang yang berbeda dan spektrum pandangan yang luas, mulai dari anjuran kemerdekaan hingga keinginan untuk penerapan demokrasi yang lebih luas dan nyata serta akuntabilitas polisi.
Sebaliknya, jaksa penuntut menilai slogan tersebut berkonotasi pada tindakan separatisme. Keputusan dan tindakan Tong untuk mengendarai sepeda motornya ke arah polisi dinilai jaksa penuntut telah memenuhi definisi UU Keamanan Nasional tentang terorisme.
Perubahan sistem
Amnesty International mengecam putusan tersebut dan menyebutnya sebagai awal berakhirnya era kebebasan berekspresi di Hong Kong.
”Orang-orang harus bebas menggunakan slogan politik selama protes dan Tong Ying-kit tidak boleh dihukum karena menggunakan haknya untuk kebebasan berbicara. Sangat jelas bahwa dia seharusnya tidak pernah didakwa dengan pelanggaran ’keamanan nasional’ dengan kemungkinan hukuman seumur hidup,” kata Direktur Regional Asia-Pasifik Amnesty International Yamini Mishra dalam sebuah pernyataan melalui surat elektronik.
Putusan itu diyakini akan memiliki dampak serius di masa depan. Saat ini, lebih dari 100 aktivis prodemokrasi Hong Kong ditahan dan sebagian besar didakwa berdasarkan UU Keamanan Nasional, seperti halnya Tong. Salah satu yang didakwa adalah Jimmy Lai, pemilik surat kabar prodemokrasi, Apple Daily, yang kini sudah berhenti beroperasi.
Analis hukum mengatakan, putusan hari Selasa menunjukkan peradilan Hong Kong melakukan interpretasi yang sangat luas atas UU Keamanan Nasional, sebuah tindakan yang biasa dilakukan dalam proses peradilan di daratan China, terutama saat mengadili kasus-kasus politik.
Selain itu, proses persidangan Tong di Pengadilan Tinggi Hong Kong dilakukan tanpa juri, sebuah hal yang dibolehkan atau mendapat pengecualian dalam sistem hukum Hong Kong jika ada rahasia negara yang perlu dilindungi, adanya keterlibatan pasukan asing atau jika keselamatan juri dalam ancaman. Tiga anggota majelis hakim juga dipilih langsung oleh pemimpin Hong Kong, Carrie Lam.
”Seluruh sistem, dari administrasi hingga penegakan hukum hingga peradilan, telah mencapai keselarasan,” kata Eric Lai, pakar sistem hukum Hong Kong di Georgetown Law School.
Surya Deva, ahli di sekolah hukum City University of Hong Kong, mengatakan, ”semua lembaga dan proses hukum akan diarahkan untuk mencapai hasil yang telah ditentukan sebelumnya” dalam kasus-kasus terkait keamanan nasional.
Aktivis demokrasi dan banyak negara Barat mengatakan, penerapan UU Keamanan Nasional telah membuat Hong Kong menjadi wilayah yang sama dengan China daratan, dengan kekuasaan yang otoriter dan absolut. Adapun dalam pandangan Beijing, tindakan keras itu diperlukan untuk memulihkan stabilitas Hong Kong pascaprotes massa prodemokrasi sepanjang 2019.
Legislatif China telah mengamanatkan perubahan susunan Dewan Legislatif Hong Kong untuk memastikan mayoritas kursi diisi oleh para politisi pro-Beijing. Mereka menyatakan, hanya orang-orang yang dianggap patriot yang dapat memegang jabatan. (AP/AFP)