Laporan terbaru UNAMA menyebutkan, pertikaian yang tak kunjung usai mengakibatkan warga sipil terus menjadi korban dalam konflik Afghanistan. Hampir 50 persen korban adalah anak-anak dan perempuan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
KABUL, SENIN — Perserikatan Bangsa-Bangsa mengingatkan para pihak bertikai di Afghanistan bahwa kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah di negara itu. Warga sipil, khususnya anak-anak dan perempuan, akan terus menjadi korban selama para pihak bertikai terus bernafsu untuk memperoleh kemenangan mutlak atas lawannya.
Laporan terbaru UNAMA, Misi Khusus PBB untuk Afghanistan, yang dirilis Senin (26/7/2021), memperlihatkan ada peningkatan jumlah korban warga sipil yang signifikan pada periode Januari-Juni 2021 dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Data UNAMA menyebutkan, sebanyak 5.183 warga sipil menjadi korban di tengah pertikaian antara pasukan pemerintah dan kelompok penentang pemerintah, seperti kelompok Taliban, kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), serta beberapa kelompok bersenjata lainnya. Dari jumlah tersebut, 1.659 jiwa di antaranya tewas dan 3.254 terluka.
UNAMA menyebut angka itu mengalami kenaikan hingga 47 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Yang menjadi perhatian serius UNAMA adalah jumlah korban di kalangan warga sipil sepanjang Mei-Juni yang mencapai 2.392 orang, dengan 783 di antaranya tewas. Persentase warga sipil yang tewas pada periode dua bulan ini jauh lebih besar dibandingkan dengan periode Januari-April, yaitu sebanyak 876 korban tewas. UNAMA menyebut bahwa jumlah warga sipil yang tewas pada periode Mei-Juni 2021 adalah angka tertinggi sejak UNAMA memulai dokumentasi ini pada 2009.
”Saya memohon kepada para pemimpin Taliban dan Afghanistan untuk memperhatikan konflik yang suram dan mengerikan ini serta dampaknya yang menghancurkan, terutama kepada warga sipil. Laporan tersebut memberikan peringatan yang jelas bahwa jumlah korban di kalangan warga sipil belum pernah terjadi sebelumnya dan akan terus meningkat jika kekerasan tidak dibendung,” kata Deborah Lyons, Perwakilan Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Afghanistan sekaligus Koordinator UNAMA.
Yang memprihatinkan banyak pihak dari laporan itu adalah separuh dari jumlah korban, baik tewas maupun luka-luka, berasal dari kelompok perempuan dan anak-anak, laki-laki maupun perempuan. Dari total korban warga sipil, korban terbanyak adalah anak-anak, sebanyak 32 persen (468 tewas dan 1.214 terluka) dan 14 persen perempuan (219 tewas dan 508 terluka).
Laporan itu menyatakan, semakin meningkatnya anak-anak dan perempuan yang menjadi korban adalah hal yang menyakitkan dan menyedihkan. Laporan itu juga menyatakan, aksi militer hanya akan menambah penderitaan rakyat Afghanistan.
Lyons meminta para pengambil kebijakan, baik di kalangan pemerintah maupun kelompok perlawanan, untuk mengintensifkan upaya negosiasi di meja perundingan. ”Lindungi rakyat Afghanistan dan beri mereka harapan untuk masa depan yang lebih baik,” kata Lyons.
Kelompok antipemerintah, dalam laporan tersebut, dinyatakan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas jatuhnya korban di kalangan warga sipil. Sebanyak 64 persen korban sipil berjatuhan karena peran kelompok perlawanan, dengan Taliban mengambil porsi tanggung jawab yang paling besar, yaitu 39 persen, disusul NIIS Provinsi Khorasan (NIIS Khorasan atau ISIL-KP). Sisanya dilakukan oleh kelompok perlawanan lain.
Pasukan pemerintah juga bertanggung jawab atas 25 persen korban di kalangan warga sipil, termasuk di dalamnya milisi propemerintah.
PBB mengingatkan para pihak tentang kewajiban mereka di bawah hukum internasional untuk melindungi warga sipil. PBB secara khusus menyoroti komitmen mereka yang diungkapkan dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan pada 18 Juli 2021 oleh perwakilan Pemerintah Afghanistan dan Taliban di Doha, Qatar, saat mereka sepakat untuk mencegah korban kepada warga sipil.
Dukungan AS
Militer Amerika Serikat akhirnya kembali turun tangan membantu pasukan Pemerintah Afghanistan memerangi Taliban meski tidak lama lagi akan meninggalkan negara itu.
”Amerika Serikat telah meningkatkan serangan udara untuk mendukung pasukan Afghanistan selama beberapa hari terakhir dan kami siap untuk melanjutkan tingkat dukungan ini dalam beberapa minggu mendatang jika Taliban melanjutkan serangan mereka,” kata Jenderal Marinir AS Kenneth ”Frank” McKenzie dalam konferensi pers di Kabul.
McKenzie, pemimpin Komando Pusat AS, yang mengendalikan pasukan AS pada wilayah yang mencakup Afghanistan, menolak mengatakan apakah pasukan AS akan melanjutkan serangan udara setelah berakhirnya misi militer mereka pada 31 Agustus.
”Pemerintah Afghanistan menghadapi ujian berat pada hari-hari mendatang dan Taliban berusaha menciptakan perasaan tak terhindarkan tentang aksi bersenjata mereka,” katanya.
Tindakan militer pasukan AS di Afghanistan mendapatkan restu dari Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin. Austin, pada akhir pekan lalu, menyatakan, tugas pertama pasukan keamanan Afghanistan adalah memastikan mereka dapat memperlambat momentum Taliban sebelum mencoba untuk merebut kembali wilayah.
McKenzie memperkirakan intensitas pertempuran akan meningkat setelah jeda liburan minggu ini dan mengatakan Taliban kemungkinan besar akan memfokuskan diri untuk merebut kota-kota yang padat penduduknya. ”Mereka harus ’berurusan’ dengan kota-kota besar jika ingin mencoba merebut kembali kekuasaan,” kata McKenzie.
Sementara Presiden AS Joe Biden dijadwalkan akan bertemu Presiden Irak Mustafa al-Khademi, Senin (26/7) waktu setempat. Ini adalah pertemuan pertama keduanya sejak Biden dilantik sebagai presiden, Januari lalu.
Inti pembicaraan keduanya diperkirakan soal kehadiran pasukan AS di Irak sebagai bagian dari koalisi anti-NIIS. Pasukan AS di Irak saat ini berjumlah sekitar 2.500 orang dan terus menjadi sasaran tembak bagi milisi pro-Iran.
Komite Koordinasi Perlawanan Irak, sekelompok faksi milisi, pada hari Jumat mengancam akan melanjutkan serangan, kecuali Amerika Serikat menarik semua pasukannya dan mengakhiri ”pendudukan”. (AFP/Reuters)