Berita Cuaca di Dunia Baru
Dunia belum selesai dengan pandemi Covid-19. Dan tiba-tiba, berita cuaca menyeruak di Eropa, Amerika, dan Asia. Semuanya tentang malapetaka. Selamat datang di dunia baru.
Pandemi Covid-19 sudah berlangsung hampir 1,5 tahun di hampir 200 negara. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), penyebaran Covid-19 per 23 Juli 2021 mencapai 192,28 juta kasus. Sebanyak 4,14 juta kasus di antaranya berakhir dengan kematian.
Seiring usaha vaksinasi, virus korona terus bermutasi. Salah satu hasilnya adalah varian Delta yang ditemukan pertama kali di India pada akhir 2020. Sejak saat itu, varian yang juga disebut B.1.617.2 ini menyebar cepat ke berbagai negara.
WHO per awal Juli lalu melaporkan bahwa varian Delta telah menyebar di 96 negara. Varian yang lebih cepat menular dan lebih mematikan ini diperkirakan akan terus meluas dan akhirnya menjadi varian Covid-19 yang paling dominan di muka bumi.
Belum kelar dengan urusan pandemi, dunia sudah diberondong dengan bencana alam bertubi-tubi dalam kurun waktu kurang dari dua bulan terakhir. Dimulai pada awal Juni lalu, gelombang panas melanda daerah British Columbia di Kanada dan wilayah bagian barat Amerika Serikat (AS).
Di Kota Lytton di British Columbia, gelombang panas mencatatkan rekor tertinggi dalam sejarah gelombang panas di Kanada, yakni 49,6 derajat Celcius. Mengutip Vancouver Sun, 719 orang di British Columbia meninggal dunia. Gelombang panas disebut sebagai salah satu faktor pemicunya.
Sementara di AS, gelombang panas mendera sekitar 31 juta jiwa penduduk di sedikitnya delapan negara bagian di kawasan barat, termasuk Arizona, California, Nevada and Utah. Mengutip The Guardian, hampir 200 orang meninggal, 116 kasus di Oregon dan 78 kasus di Washington. Sebagai pembanding, selama 2015-2020, gelombang panas di negara bagian Washington menyebabkan 39 kasus kematian. Gelombang pada per Juni lalu sekaligus mencatatkan rekor suhu tertinggi selama 127 tahun terakhir di AS.
Gelombang panas itu pada gilirannya memicu kebakaran lahan di Kanada dan AS. Berdasarkan data Pusat Kebakaran Antarbadan Nasional (National Interagency Fire Center/NIFC), kebakaran lahan di AS mencakup lebih dari 80 titik api besar di 13 negara bagian dengan total luas mencapai 526.090 hektar. Sebagai perbandingan, luas Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah 318.500 hektar. Luas areal kebakaran lahan yang terjadi di AS tahun ini hampir sama dengan areal kebakaran lahan di negara itu selama 2011-2020.
Sementara di Kanada, terdapat ratusan titik api di wilayah barat dan tengah, termasuk 86 titik api yang dikategorikan di luar kendali sehingga memaksa pemerintah negara bagian menetapkan status darurat wilayah.
Lain Amerika, lain pula di Eropa. Banjir dahsyat menyusul hujan deras menyapu sejumlah wilayah di Jerman bagian barat dan Belgia bagian timur, pertengahan Juli. Padahal daerah tersebut tidak mengalami banjir selama puluhan tahun terakhir. Lebih dari 200 orang dilaporkan tewas dan ratusan orang lainnya hilang.
Di Jerman saja, hampir 800 orang mengalami luka-luka. Sedikitnya 171 fasilitas umum luluh-lantak seperti jembatan, jalan, serta jaringan gas dan listrik. Ratusan rumah ludes dan ratusan lainnya rusak berat. Ini semua menjadikannya banjir paling mematikan sejak 1985 di Eropa sekaligus banjir paling maut di urutan ke-10 dalam banjir di Eropa selama 100 tahun terakhir. Banjir juga terjadi di Belanda, Luxemburg, dan Swiss.
Di Asia, banjir dahsyat menerjang Kota Zhengzhou, ibukota Provinsi Henan di China. Sebanyak 58 orang dilaporkan tewas, termasuk 12 orang yang terjebak di kereta bawah tanah yang terendam air.
Merujuk South China Morning Post, lebih dari 800.000 warga mengungsi mandiri dan lebih dari 1 juta warga lainnya diungsikan pemerintah setempat. Banjir melumpuhkan jalanan, jaringan transportasi umum, dan berbagai infrastruktur lainnya. Ratusan mobil terendam di berbagai jalanan di Kota Zhengzhou yang berubah seperti sungai.
Sementara di India, hujan deras memicu bencana banjir dan tanah longsor di Mumbai dan Goa. Sedikitnya, 129 orang tewas. Bencana juga memaksa 150.000 warga mengungsi.
”Saya adalah seorang hidrologis dan klimatologis. Saya membenamkan diri ke dalam sejarah cuaca ekstrem. Tapi ini benar-benar tak terduga. Ini adalah curah hujan setahun yang digelontorkan dalam sehari,” cuit Peter Gleick, salah satu pendiri Institut Pasifik dalam Twitternya, mengomentari banjir hebat di China.
Sekretaris Jenderal Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization/WMO), Petteri Taalas, dalam laman PBB, menyatakan, banjir yang terjadi antara lain di Jerman dan China terkait dengan perubahan iklim. Demikian pula dengan gelombang panas di AS dan Kanada.
Ia menekankan bahwa tidak ada satu negara pun yang kebal dari perubahan iklim. Oleh sebab itu, dia mengatakan, sangat penting untuk berinvestasi lebih banyak dalam adaptasi perubahan iklim, termasuk memperkuat sistem peringatan dini multibahaya.
Perubahan iklim terjadi akibat pemanasan global yang terutama disebabkan berbagai kegiatan manusia yang menghasilkan penumpukan polusi karbon dan gas rumah kaca selama puluhan tahun. Saat ini, suhu bumi rata-rata telah naik 1,1 derajat celsius dibandingkan periode 1850-1900 atau sebelum revolusi industri.
Rancangan laporan Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC), menyebutkan bahwa berbagai malapetaka akibat perubahan iklim datang lebih cepat dari perhitungan awal. Selain itu, frekuensinya makin sering dan skala makin ekstrem.
Laporan salah satu organ dalam PBB itu juga menyebutkan, jika pemanasan berlanjut dalam kecepatan seperti saat ini, suhu bumi akan mencapai 1,5 derajat celsius pada 2040. Ini sudah cukup untuk menyebabkan perubahan iklim yang berujung pada sejumlah malapetaka bagi spesies, ekosistem, dan manusia.
Satu dekade yang lalu, para ilmuwan percaya bahwa membatasi pemanasan global hingga dua derajat celsius di atas tingkat pertengahan abad ke-19 sudah cukup untuk melindungi masa depan bumi. Pemahaman ini dituangkan dalam Perjanjian Paris 2015 yang ditandangani oleh 196 negara. Komitmennya adalah membatasi pemanasan di bawah 2 derajat celsius. Bahkan, jika memungkinkan dibatasi sampai 1,5 derajat celsius.
Namun penelitian terakhir ternyata menunjukkan, pemanasan berkepanjangan di kisaran 1,5 derajat celsius saja sudah dapat menghasilkan konsekuensi yang makin serius selama berabad-abad. Di beberapa kasus, dampaknya permanen.
Dalam skenario paling optimistis, yakni jika suhu naik 1,5 derajat Celcius, sejumlah malapetaka akan terjadi. Di antaranya adalah matinya terumbu karang. Ini akan memukul 500 juta penduduk bumi yang sumber pangannya bergantung dari keanekaragaman hayati laut, termasuk Indonesia.
Malapetaka lainnya adalah banjir dan tanah lonsgor akibat curah hujan ekstrem, gelombang panas, kelaparan, dan kemiskinan. Beragam keanekaragaman hayati juga akan punah yang akhirnya menjadi ancaman terbesar bagi kesehatan manusia di abad ke-21. Laporan juga menyebutkan, perubahan iklim juga akan meningkatkan frekuensi penyebaran penyakit menular.
Masih merujuk rancangan laporan iklim IPCC, kerusakan sekaligus kerugian ekonomi akibat berbagai malapetaka itu amat besar. Kerusakan ekonomi global akibat banjir selama beberapa dekade terakhir saja misalnya, rata-rata 50 miliar dollar AS atau Rp 725 triliun hingga 350 miliar dollar AS atau Rp 5.075 triliun per tahun.
Dalam skenario terburuk, jika suhu bumi naik empat derajat Celcius di atas tingkat pra-industri, produk domestik bruto global bisa anjlok 10 hingga 23 persen dibandingkan dengan dunia tanpa pemanasan.
Kepada para perwakilan negara-negara, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterrrez, menjelang Konferensi Iklim tahun lalu, menyatakan, 2021 adalah tahun krusial untuk melawan perubahan iklim. Sejumlah kemajuan yang tercatat pada beberapa tahun terakhir, tidak cukup.
”Dunia masih jauh dari target untuk tetap berada dalam batas 1,5 derajat sesuai Perjanjian Paris. Inilah mengapa kita butuh tekad yang lebih kuat dalam mitigasi, adaptasi, dan pembiayaan,” kata Guterrez sembari mendorong agar G-20 memimpin gerakan dunia.
Perjanjian Paris menetapkan target sekaligus sejumlah komitmen yang mengikat seluruh negara peserta. Selain kebijakan politik, melekat pula kebutuhan anggaran. Program Lingkungan PBB memperkirakan kebutuhan dananya mencapai 300 miliar dollar AS atau Rp 4.350 triliun per tahun hingga 2030. Ini anggaran untuk negara berkembang saja.
Sementara terkait pandemi Covid-19, Panel Independen Tingkat Tinggi mengusulkan pada pertemuan menteri keuangan G-20 di Venesia, Italia, Jumat (9/7/2021), mengusulkan skema iuran dana 75 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1.086 triliun selama lima tahun mendatang guna mengantisipasi pandemi di masa depan. Skemanya, G-20 beriuran 15 miliar dollar AS per tahun selama lima tahun ke depan. Setiap negara akan mendapatkan jatah iuran sesuai kemampuan ekonomi masing-masing.
Pengalaman penanganan pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa tak satu negara pun memiliki kapasitas pengelolaan yang mumpuni. Demikian pula jika negara dihadapkan malapetaka beragam lainnya akibat perubahan iklim. Tak ada pilihan lain bagi semua negara kecuali progresif melaksanakan usaha konkret melestarikan Bumi. (FX LAKSANA AS)