Kisah yang Terselip di Catatan Liputan
Ada saja kisah atau peristiwa unik yang dialami wartawan saat melakukan peliputan, terutama di luar negeri. Bahasa menjadi salah satu kendala saat menjalin komunikasi dengan warga setempat.
Bagi seorang wartawan, mendapat tugas liputan ke luar negeri adalah kesempatan berharga untuk belajar banyak hal. Pertama, tentu proses peliputan itu dan berikutnya adalah pengalaman bertemu dengan sejumlah tokoh serta lingkungan baru. Akan tetapi, bagi sejumlah wartawan, tantangan terberat justru bukan pada proses peliputan itu.
Tantangan, juga kisah unik, justru hadir ketika harus berkomunikasi dengan warga setempat, salah satunya ketika hendak menggunakan kendaraan umum. Seperti dalam kesempatan melakukan liputan di Hanoi, Vietnam, pada tahun 2006.
Tak sabar hendak menikmati kota Hanoi, sesampai di hotel kami segera mendekati tukang becak yang nongkrong di seberang hotel. ”Ten dollar, very cheap,” begitu jawab si tukang becak setelah kami meminta untuk diantar keliling kota Hanoi.
Tidak ada gunanya menawar karena jawabannya akan selalu ten dollar, very cheap sambil senyum-senyum. Entah si bapak paham bahasa Inggris atau tidak, tidak ada angka lain yang keluar selain ten dollar. Karena tak tahu harus naik apa lagi, akhirnya setujulah dengan ten dollar. Pada waktu itu belum ada ojek atau taksi daring sehingga pilihannya hanya bapak tukang becak atau jalan kaki.
Sepanjang jalan, kami beberapa kali berusaha mengajak mengobrol, tetapi sepi tanpa respons. Akhirnya disimpulkan, si bapak tidak bisa berbahasa Inggris. Dan seperti becak di Yogyakarta, becak di Hanoi gemar mampir ke spot-spot toko oleh-oleh. ”Yes?” Yes?” kata si bapak sambil menunjuk toko-toko itu.
Karena memang tak sedang mencari oleh-oleh, saya segera menjawab, ”No no, thank you. Go, go,” kata kami sambil menyuruh si bapak jalan lagi. Rupanya, si bapak tak gampang menyerah dan masih mampir lagi ke tiga toko lain. Sampai-sampai kami malas menjawab dan hanya geleng-geleng kepala dan mengarahkan telunjuk ke jalan.
Pada hari kedua, kami mencari becak lagi karena harus ke lokasi liputan yang berjarak 5 kilometer dari hotel. Ada beberapa tukang becak yang menanti di seberang hotel. Ketika kami meminta diantar ke lokasi liputan itu, kami mendapatkan jawaban yang sama dengan bapak tukang becak yang kemarin, ”Ten dollar, very cheap.” Kami berusaha menawar karena jaraknya sebenarnya dekat. Tetapi si bapak tetap ngotot, ”Ten dollar, very cheap.” Tidak ada kata-kata lain selain itu. Karena jengkel, kami pun memilih berjalan kaki saja.
Baca juga : Vietnam, dari ”Negara Perang” Menjadi Penganjur Damai
Peristiwa lain yang tak kalah unik terjadi pada rekan wartawan yang mendapat tugas meliput pertemuan kedua Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un. Pertemuan tingkat tinggi membahas isu denuklirisasi di Semenanjung Korea itu digelar di Hanoi pada Kamis (28/2/2019). Petang seusai pertemuan kedua pemimpin dunia itu, lalu lintas Hanoi sangat ramai. Kendaraan lalu lalang diselingi lengking klakson yang ditekan dalam. Warga seolah tak terpengaruh dengan gagalnya pertemuan Trump dan Kim.
Bagi warga Hanoi, apa pun yang dicapai oleh Trump dan Kim dalam pertemuan kedua mereka, Vietnam telah mencatatkan sejarah penting. Dengan menjadi tuan rumah, berarti Vietnam dipercaya. Dan bagi wisatawan, Vietnam dilihat sebagai tempat yang aman dan nyaman.
Kamis petang itu, halaman di sekitar Katedral Santo Joseph, Hanoi, penuh dengan wisatawan asing yang tengah berswafoto. Kedai-kedai kopi di bilangan Jalan Au Trieu dan Na Tho penuh pelanggan. Toko-toko suvenir yang berderet di Jalan Nha Chung dan Hang Bong di pusat kota Hanoi ramai disesaki wisatawan yang ingin membeli kaus bergambar wajah Trump dan Kim.
Malam itu, saat menyusuri keramaian Nha Chung, sambil mencari taksi ke Old Quarter untuk makan malam, seorang pengendara ojek tiba-tiba datang mendekat. Awalnya mengira ia hendak menawarkan jasa mengantar, teman wartawan ini berhenti. Namun dengan suara pelan, si tukang ojek menawarkan, ”Massage, massage.”
Dengan terkejut, teman itu menggelengkan kepala. Kepadanya ia sampaikan ia hendak mencari makan. Namun, tampaknya si tukang ojek tidak menyerah dengan tawarannya, Ia pun kembali mengatakan, ”Massage, massage, beauty, happy ending.”
Baca juga : Memanfaatkan Fondasi Lama untuk Kerja Sama
Spontan si teman wartawan itu tergelak dan kembali menolak tawaran tersebut sembari masuk ke sebuah kedai kopi.
Manila
Jika di Hanoi bahasa menjadi kendala, di Manila tantangannya beda lagi. Karena sudah lama penasaran dengan angkutan umum Filipina yang terkenal, yaitu jeepney, kami memutuskan mencoba naik angkutan itu. Niatnya ingin menikmati pemandangan kota dengan harga murah meriah, tetapi bisa sampai ke mana-mana.
Rupanya, yang ada malah jadi kliyengan pusing. Jangankan bisa menikmati pemandangan kota, semuanya tampak sekelebatan kabur saking kencangnya jeepney melaju.
Belum lagi suara musik yang keras dengan suara bas yang membuat jantung berdegup kencang. Setelah pengalaman mendebarkan dengan jeepney, kami lantas memutuskan menyewa ojek saja selama empat hari.
Baca juga : Manila Tetap Macet Jelang Penguncian akibat Penyebaran Virus Korona
Pengalaman unik lain dengan jeepney juga dialami oleh seorang rekan wartawan. Dari tempatnya menginap di bilangan Green Belt, Makati, ia mencoba ”keasyikan” menumpang jeepney menuju Gereja Black Nazarene di kawasan Quiapo.
Setelah meliuk-liuk di tengah kepadatan lalu lintas Manila, jeepney itu mulai melambat saat mendekati gereja terkenal itu. Namun, angkot khas Filipina itu tak juga kunjung berhenti, bahkan melewatinya.
Seorang penumpang lalu bertanya, dan setelah tahu si teman hendak ke gereja, ia lantas memberi aba-aba, ”Jump, jump.”
T’lai Na
Lain Manila, lain pula Phnom Penh. Tawar-menawar sebelum mulai menggunakan jasa kendaraan umum adalah hal lazim di Phom Penh, Kamboja. Selain itu, penting untuk mengetahui nama pagoda atau pasar terdekat dari lokasi tujuan. Meminta mengantar dengan menyebut nama jalan hanya akan berakhir dengan kebingungan.
Semua hal itu bagian dari cara menggunakan remorque, salah satu kendaraan umum di Phnom Penh. Bentuknya seperti dokar, tetapi tidak ditarik kuda. Penariknya remorque, yang lebih dikenal sebagai tuk-tuk, yaitu sepeda motor. Pengendara tuk-tuk di Phnom Penh suka dibayar dalam dollar AS.
Di Phnom Penh, penggunaan dollar AS dalam transaksi harian memang amat luas. Semua harga di atas 10.000 riel lebih sering dibayar dengan dollar AS. Tarif lazim tuk-tuk berkisar 1 dollar AS sampai 2 dollar AS untuk jarak hingga 4 kilometer. Sementara untuk berkeliling Phnom Penh, tarifnya hingga 6 dollar AS.
Tentu, tidak semua tuk-tuk memakai tarif itu. Tuk-tuk yang menunggu penumpang di depan hotel mengenakan tarif lebih tinggi. Karena itu, lebih baik mencegat tuk-tuk yang sedang berjalan dibandingkan mendatangi yang sedang berhenti.
Sebelum naik, pastikan sudah tawar-menawar ongkos. Jika dirasa terlalu mahal, langsung katakan, ”T’lai na,” yang lebih kurang bermakna kemahalan. Namun, harus diingat untuk tidak menawar kurang dari 10.000 riel atau 1 dollar AS. Jika mendapat penawaran seperti itu, pengemudi tuk-tuk akan langsung pergi.
Dan sekali lagi, hal lain yang perlu dilakukan adalah menyebutkan pagoda atau wat terdekat dari lokasi tujuan. Banyak pengemudi kebingungan jika disebutkan tujuannya adalah nama jalan atau lokasi yang tidak dikenal.
Oleh karena itu, baik apabila sebelum melakukan perjalanan, mempelajari pula ”pernik-pernik” kecil seperti kisah di atas... agar happy ending.