Hanya 13 dari 654 Kota Besar di China Aman dari Banjir
Para ahli iklim memperingatkan Pemerintah China untuk belajar banyak dari bencana di Zhengzhou. Mayoritas kota besar di China dinilai tidak aman dari terjangan banjir.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
SHANGHAI, JUMAT — Banjir besar yang melanda pusat kota Zhengzhou selama sepekan terakhir menjadi peringatan keras bagi para perencana kota akan rapuhnya tata kota di China di tengah fenomena pemanasan global. Data resmi menunjukkan, hanya 13 dari 654 kota besar di China yang dinilai aman atas genangan air dan banjir.
Sebagaimana diwartakan, banjir besar melanda Zhengzhou setelah badai dan hujan deras menerpa Provinsi Henan sejak akhir pekan lalu. Bencana itu menewaskan sedikitnya 51 warga, terutama akibat terjebak di jalur kereta bawah tanah yang tergenang banjir. Sekitar 100.000 orang di kota berpenduduk 12 juta jiwa di tepi Sungai Kuning itu juga harus diungsikan ke tempat yang aman. Selain terjebak di stasiun kereta bawah tanah, banyak warga yang terjebak di gedung sekolah dan perkantoran.
Para ahli iklim, Jumat (23/7/2021), memperingatkan Pemerintah China untuk belajar banyak dari bencana di Zhengzhou itu. Curah hujan hingga 900 milimeter menerjang Provinsi Henan hingga mengubah jalanan menjadi seperti sungai berarus deras setinggi pinggang. Akibat hujan lebat, sungai-sungai juga meluap dan membanjiri puluhan kota.
”Kami tidak dapat memverifikasi apakah ini akan menjadi peristiwa ’sekali dalam seribu tahun’,” kata Zhou Jinfeng, Sekretaris Jenderal Yayasan Pembangunan Hijau dan Konservasi Keanekaragaman Hayati China (CBCGDF), kelompok swadaya masyarakat lingkungan hidup. ”Namun, karena perubahan iklim global, statistik curah hujan akan terus memecahkan rekor baru di masa depan.”
Hampir dua pertiga dari 1,4 miliar penduduk China saat ini tinggal di kota. Dibandingkan dengan kondisi dua dekade lalu, terjadi penambahan sebesar sepertiga dari seluruh penduduk. Maka dari itu, para ahli memperingatkan bahwa mengatasi bencana pada masa depan di China akan sangat bergantung pada pembangunan infrastruktur, terutama sarana pencegahan banjir dan sistem drainase.
Hampir dua pertiga dari 1,4 miliar penduduk China saat ini tinggal di kota. Dibandingkan dengan kondisi dua dekade lalu, terjadi penambahan sebesar sepertiga dari seluruh penduduk.
Andalkan tanggul
Saat ini banyak kota di China masih mengandalkan ketinggian dan kekuatan tanggul sebagai garis pertahanan pertama. ”Kita yakin peristiwa besar ini akan datang, tetapi kita tidak tahu kapan waktunya,” kata James Griffiths, ahli hidrologi di Institut Nasional Penelitian Air dan Atmosfer Selandia Baru. ”Para perencana kota perlu mempertimbangkan laskap hidrologi yang lebih besar, seperti dataran banjir dan cekungan alami ketika mereka merancang kota-kota baru, dan memastikan bahwa jaringan drainase dapat terus memanfaatkan area seperti itu ketika hujan besar tiba.”
Otoritas China pada bulan ini telah menerbitkan kebijakan terkait dengan pembangunan wilayah-wilayah. Kebijakan itu turut mencantumkan beberapa langkah untuk mengurangi aneka risiko. Lebih dari 6.700 waduk bakal diperkuat dan ada rencana untuk infrastruktur drainase di 53 lokasi rawan banjir di sepanjang Sungai Yangtze, sungai terbesar di negara itu.
Terletak tepat di sebelah selatan Sungai Kuning, Zhengzhou adalah salah satu dari ratusan kota di China yang perlu dilengkapi dengan infrastruktur tahan banjir. Di kota itu, dalam beberapa tahun terakhir Pemerintah China mengandalkan proyek bertajuk ”Proyek Pengalihan Air Selatan-Utara” raksasa untuk mencoba meredakan tekanan banjir. Kebijakan itu, antara lain, lewat penggunaan bendungan raksasa di sepanjang sungai yang rawan banjir, seperti Yangtze dan Kuning, untuk mengatur aliran air dan meminimalkan puncak banjir.
China juga telah mencari solusi yang lebih alami dan berdampak rendah untuk mengatasi kerentanan banjir yang semakin meningkat. Pemerintah antara lain meluncurkan program pada 2015 lewat penciptaan ”kota spons” yang dapat dengan aman menahan dan mengalirkan lebih banyak air hujan.
Fase pertama proyek itu mencakup 30 kota di seluruh China, termasuk Hebi, kota yang berjarak sekitar 150 kilometer dari Zhengzhou. Di antara solusi teknologi potensial yang digunakan adalah penggunaan aspal dan trotoar berbahan khusus. Kota-kota itu juga didorong untuk memperluas ruang hijau, membangun kolam, dan memulihkan lahan basah untuk menyerap kelebihan volume air.
Faith Chan, profesor di School of Geographical Sciences di University of Nottingham Ningbo, mengatakan, langkah-langkah ”kota spons” dirancang untuk mengatasi curah hujan hingga sekitar 180-200 milimeter selama 24 jam. Dengan curah hujan setinggi yang terjadi pekan lalu di Zhengzhou, maka kota itu praktis tidak mampu menahannya.
Menurut Zhou, langkah-langkah praktis, seperti sistem kereta bawah tanah yang antiair, perlu didukung oleh perubahan mendasar dalam bagaimana kota dirancang. ”Kami berharap ini akan menjadi peringatan penting dan membunyikan alarm bagi industri dan departemen pemerintah, khususnya untuk mengambil tindakan dengan cepat, untuk berubah dengan cepat, dan mencegah bencana semacam ini terjadi lagi,” katanya. (REUTERS)