Sederet nama dalam Komite Olimpiade Tokyo 2020 mundur atau diberhentikan gara-gara persoalan etika yang bagi ukuran orang Indonesia barangkali terdengar sepele. Namun, di Jepang, etika adalah perkara serius.
Oleh
Kris Mada
·3 menit baca
Di Jepang, etika adalah perkara serius. Gara-gara persoalan etika, seseorang bisa kehilangan jabatannya. Tak perlu sampai melanggar hukum atau aturan, bermasalah dengan etika yang tampaknya sepele dan terjadi di masa lampau sekalipun, ganjarannya adalah tiket angkat koper dan pulang.
Ketua Komite Olimpiade Tokyo 2020 Seiko Hashimoto meminta maaf kepada masyarakat pada Kamis (22/7/2021). Ia menyatakan bertanggung jawab atas kegagalan komite memeriksa semua orang yang terlibat dalam penyelenggaraan Olimpiade Tokyo 2020.
Hal ini disampaikan menyusul rangkaian persoalan etika yang dilakukan sejumlah orang di kepanitiaan. Mereka yang bermasalah dengan etika tersebut berujung dengan pemecatan atau pengunduran diri.
Sehari menjelang pembukaan Olimpiade Tokyo 2020, komite memecat Direktur Upacara Pembukaan Olimpiade Kentaro Kobayashi. Hal ini gara-gara gurauan lamanya yang tidak pantas. Pada 1992, Kobayashi tampil dalam salah satu acara komedi di Jepang. Dalam pentas yang didokumentasikan dalam video itu, ia bergurau soal genosida Yahudi.
Lembaga pembela hak Yahudi di Amerika Serikat, Simon Wiesenthal Center, mempersoalkan gurauan dalam video itu. Lembaga yang berpusat di Los Angeles itu tidak terima jika genosida terhadap orang Yahudi dijadikan bahan gurauan. Pemimpin Simon Wiesenthal Center, Abraham Cooper, menyebutkan, keterlibatan Kobayashi di Olimpiade Tokyo 2020 bisa menghina ingatan terhadap 6 juta orang Yahudi yang jadi korban genosida pada Perang Dunia II. Gurauan pria itu dinilai tidak pantas.
Dua hari sebelumnya, komite menerima pengunduran diri musisi Keigo Oyamada yang menjadi komposer musik upacara pembukaan Olimpiade Tokyo 2020. Seperti Kobayashi, penyebab Oyamada kehilangan jabatan adalah persoalan etika yang terjadi bertahun-tahun silam saat masih sekolah.
Ia diketahui melecehkan anak berkebutuhan khusus. Dalam wawancara dengan sejumlah media massa pada 1994 dan 1995, ia mengaku tidak menyesal atas perbuatan masa mudanya itu.
Pekan lalu, Oyamada mengakui hasil wawancara itu. Sontak ia dan komite menerima banyak cercaan di media sosial dari warganet Jepang yang amat marah. Salah seorang pengguna media sosial Jepang menegaskan, pelaku pelecehan teman sekolah yang berkebutuhan khusus tidak bisa menjadi bagian dari Olimpiade dan Paralimpiade.
Pemimpin tim kreatif Olimpiade Tokyo 2020, Hiroshi Sasaki, juga mengundurkan diri per Maret 2021 karena menghina komedian Naomi Watanabe, salah seorang penampil dalam upacara pembukaan dan penutupan Olimpiade Tokyo 2020. Sasaki menyebut penampilan Watanabe akan membuat ”Olympic menjadi Olympig”. Gurauan itu dilontarkan karena Watanabe bertubuh gemuk.
Hal ini juga memicu kemarahan warga. Mereka menilai gurauan itu tidak pantas, tidak menghargai prestasi, dan tidak patut dilontarkan sama sekali. Akibat gurauan itu, Sasaki juga harus mundur.
Bahkan, hal sama juga terjadi pada Ketua Komite Olimpiade Tokyo 2020 Yoshiro Mori. Ia terlebih dahulu mengundurkan diri gara-gara komentarnya soal perempuan. Pada suatu kesempatan, ia menyatakan bahwa para perempuan terlalu banyak bicara. Oleh sebab itu, rapat dengan peserta perempuan bisa berlangsung lebih lama dan tidak efektif.
Komentar mantan Perdana Menteri Jepang itu memicu kemarahan dan menghasilkan desakan agar dia mundur. Selang beberapa waktu, Mori akhirnya meminta maaf kepada masyarakat sekaligus mengundurkan diri pada 12 Februari.
Mori, Sasaki, Oyamada, dan Kobayashi tidak berlindung di balik alasan ”tidak tahu” saat melontarkan komentar, khilaf, ataupun mengecilkan tindakan di masa lalunya. Mereka tidak juga berlindung di balik asas praduga tidak bersalah. Mereka mengakui melanggar etika dan oleh karena itu mundur dari jabatan. (AFP/REUTERS)