Belanda Denda Tiktok Rp 12,8 Miliar Terkait Pelanggaran Privasi Anak-anak
Otoritas Perlindungan Data Belanda menyatakan, Tiktok melanggar UU perlindungan privasi di Belanda karena formulir persetujuan ditulis dalam bahasa Inggris yang tak dipahami oleh anak-anak di Belanda. Tiktok menyangkal.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
DEN HAAG, KAMIS — Otoritas Perlindungan Data Belanda menjatuhkan denda 750.000 euro atau sekitar Rp 12,8 miliar kepada perusahaan media sosial Tiktok. Keputusan ini memunculkan kembali pertanyaan mengenai jaminan keamanan privasi anak-anak dalam menggunakan media sosial. Tidak hanya anak-anak rawan menjadi incaran predator, penambangan data pribadi anak-anak juga diperjualbelikan oleh perusahaan-perusahaan media sosial.
Otoritas Perlindungan Data Belanda (DPA) dalam pernyataan resmi yang dikeluarkan di Den Haag, Rabu (22/7/2021), menyatakan, Tiktok melanggar undang-undang perlindungan privasi di negara tersebut. Media sosial ini memiliki 3,5 juta pengguna di Belanda.
”Formulir persetujuan yang harus diklik oleh pengguna ketika baru pertama kali memakai Tiktok ditulis dengan bahasa Inggris sehingga tidak dipahami oleh anak-anak,” demikian kutipan dari pernyataan DPA. Menurut lembaga itu, undang-undang privasi serta sejumlah aturan bermedia sosial mewajibkan semua jenis situs dan aplikasi menyediakan pilihan dalam bahasa Belanda.
Tuduhan itu disangkal oleh Tiktok. Perusahaan ini mengatakan, sejak Juli 2020 telah menyediakan pilihan bahasa Belanda dalam penjelasan berbagai syarat dan ketentuan penggunaan aplikasi maupun laman.
Pada Mei lalu, Tiktok juga dipanggil oleh Uni Eropa terkait dengn laporan dari sejumlah negara anggota. Mereka menuduh Tiktok melakukan kampanye reklame yang agresif mengincar anak-anak. Tindakan ini menyalahi undang-undang perdagangan dan pemasaran di sejumlah negara. Di Inggris, Tiktok juga dituduh secara ilegal menambang data anak-anak yang menggunakannya.
Persetujuan pengguna
Aturan global yang diterapkan oleh semua perusahaan media sosial adalah batas usia pemakainya minimal 13 tahun. Meskipun begitu, para pengguna yang berusia anak remaja atau anak usia 13-17 tahun tidak boleh disamakan dengan pengguna yang telah dewasa atau berusia 18 tahun ke atas.
Pengguna media sosial usia 13-17 tahun sejatinya masih harus didampingi atau setidaknya diawasi oleh orangtua dan wali ketika mengakses semua jenis media sosial. Mereka disarankan mengunci akun mereka menjadi fitur privat, tidak menyebarluaskan data pribadi, seperti alamat rumah dan nomor telepon, serta tidak langsung menerima permintaan pertemanan dari orang yang tidak dikenal. Para pengguna media sosial berusia dewasa juga disarankan tidak mengunggah foto ataupun data anak-anak mereka.
Namun, proses penambangan data dari anak-anak ini ternyata lebih kompleks dan tersembunyi dari yang diperkirakan. Seperti dilansir harian Australia, Sydney Morning Herald, sebuah lembaga kajian informasi digital, Reset Australia, melakukan riset kepada 10 media sosial terpopuler. Beberapa di antaranya adalah YouTube, Instagram, Facebook, Tiktok, dan Telegram.
Mereka menemukan bahwa rata-rata formulir persetujuan privasi media sosial membutuhkan waktu 1 jam 46 menit untuk dibaca hingga tuntas. Bahkan, khusus Tiktok, butuh waktu lima jam untuk membacanya. Ditambahkan pula, hanya para responden berpendidikan sarjana yang memahami isi formulir tersebut.
”Ini pelanggaran terhadap perlindungan anak karena mereka belum memiliki pengetahuan mengenai izin ataupun restu. Padahal, di Australia saja anak-anak usia 2-17 tahun umumnya menghabiskan delapan jam setiap pekan untuk bermedia sosial,” kata Rys Farthing, pakar hak-hak anak.
Riset tersebut menemukan bahwa perusahaan media sosial tanpa izin anak ataupun orangtua dan wali menghimpun informasi harian anak. Mereka membuat pola kebiasaan anak sehari-hari, pola konsumsi keluarga, pola perjalanan, pola pergaulan, bahkan memiliki algoritma yang menganalisis pola berdasarkan unggahan anak, baik berupa curahan hati, foto, maupun video.
Informasi ini kemudian dijual ke perusahaan-perusahaan pengiklan yang memasang berbagai reklame khusus menargetkan anak-anak. Sejumlah informasi juga dijual kepada partai politik untuk menjaring para pemilih pemula. Hal ini belum termasuk dijual ke pihak lain di luar sektor itu.
Media Amerika Serikat, The Conversation, dalam tajuk rencana pada Juli 2021 juga membahas mengenai risiko peretasan data pribadi anak selama pandemi Covid-19 yang membuat anak-anak terpaksa belajar di rumah. Umumnya, sekolah menggunakan akun media sosial untuk memberi tugas ataupun mengumpulkan tugas siswa. Mereka berargumen agar sekolah tidak gegabah dan mengunci akun tersebut ke mode privat sehingga tidak bisa diakses pihak luar. (AFP)