Indonesia dan Vietnam sudah memiliki modal kuat sejak era kemerdekaan untuk bekerja sama. Sektor yang dijajaki untuk kerja sama antara lain pangan, kesehatan, dan industri manufaktur.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
Hubungan Indonesia-Vietnam sudah terjalin puluhan tahun. Hanoi mencatat berbagai bentuk persahabatan Jakarta dalam masa susah dan senang. Semua itu bisa menjadi modal untuk maju dan bangkit bersama di masa mendatang.
Kala masih sama-sama merintis kemerdekaan, Ho Chi Minh dan Soekarno rutin berkomunikasi. Keinginan memerdekakan negara masing-masing membuat mereka begitu dekat satu sama lain. ”Semangat anti-kolonialisme dan keinginan merdeka membuat mereka bersahabat,” kata Duta Besar RI untuk Vietnam Denny Abdi, Jumat (16/7/2021).
Hanoi kembali mencatat bukti persahabatan Jakarta kala Vietnam dilanda perang. Indonesia menyediakan Pulau Galang, kini bagian dari Kepulauan Riau, untuk menampung para pengungsi Vietnam. ”Mereka tidak akan pernah melupakan itu,” kata Denny.
Kedekatan politik dan sejarah itu membuat para diplomat Indonesia praktis tidak terhambat untuk berkomunikasi dengan para pejabat tinggi Vietnam. Penghargaan Hanoi terhadap peran Jakarta amat tinggi karena Indonesia terus berperan dalam berbagai tahapan perkembangan Vietnam.
Kala Vietnam mulai membangun selepas perang, Indonesia menjadi salah satu investor awal. Indonesia juga mengajak dan mendorong Vietnam bergabung dengan ASEAN. Bergabung dengan ASEAN membuat Vietnam bisa melihat praktik-praktik terbaik di kawasan dan global untuk mengembangkan negaranya.
Hasil adopsi praktik itu membuat Vietnam kini menjadi salah satu pusat manufaktur kawasan. Meski menganut sistem politik satu partai, sistem ekonominya sangat mengikuti pasar. Hanoi sangat berorientasi ekspor dan menjadi tujuan investasi prioritas di kawasan.
Kerja sama
Hubungan Indonesia-Vietnam memang tidak selalu mulus. Salah satu kerikilnya adalah soal perikanan. Berkali-kali Indonesia menangkap kapal-kapal nelayan Vietnam di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. Kala Perdana Menteri Vietnam Pham Minh Chinh melawat ke Jakarta, Indonesia mengajak Vietnam menyelesaikan akar masalah ini, yakni perbatasan ZEE Indonesia-Vietnam.
Presiden Joko Widodo mendorong agar perundingan soal perbatasan ZEE segera dirampungkan. Perundingan itu sudah berlangsung 10 tahun. Jakarta menekankan pentingnya menetapkan batas ZEE mengikuti norma dan hukum internasional seperti Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.
KBRI Hanoi menjajaki agar investor produk pengolahan perikanan Vietnam menanamkan modal di Indonesia. Dengan cara itu, investor Vietnam tetap bisa mengembangkan modalnya dan bisa berkelanjutan tanpa kerepotan keterbatasan bahan baku. Sementara Indonesia bisa memanfaatkan sumber daya alamnya dengan aman. ”Hasil pengolahannya dijual ke negara ketiga,” kata Denny.
Kerja sama pengembangan pangan bisa menjadi salah satu sektor yang dapat dikembangkan Indonesia-Vietnam di tengah peningkatan kebutuhan pangan global. Dalam beberapa puluh tahun mendatang, penduduk Bumi akan bertambah miliaran jiwa. Semua membutuhkan makan. Sayangnya, peningkatan kebutuhan pangan tidak diiringi peningkatan kebutuhan lahan. Karena itu, cara meningkatkan produksi pangan adalah dengan intervensi teknologi.
Vietnam sudah terbukti sebagai negara yang bisa memacu produktivitas pangan. Hanoi bisa mengekspor aneka produk pangan, termasuk beras ke Indonesia, karena surplus. Keunggulan Indonesia-Vietnam di sektor pangan bisa dikolaborasikan untuk membuat kedua negara menjadi salah satu pusat produksi pangan bagi kawasan atau global.
Kesehatan
Selain sektor pangan, Jokowi-Pham juga sepakat pentingnya kerja sama Indonesia-Vietnam pada sektor kesehatan. Di tengah pandemi Covid-19, kerja sama sektor itu dibutuhkan untuk meningkatkan daya tahan dan daya bangkit kedua negara. Kerja sama Hanoi-Jakarta, antara lain, berupa upaya bersama mendorong kesetaraan vaksin yang dibutuhkan dalam penanggulangan pandemi.
Indonesia-Vietnam memang sama-sama sedang berusaha mengembangkan vaksin domestik. Sementara menunggu vaksin itu bisa dipakai, Jakarta-Hanoi sama-sama mengimpor dari sejumlah negara.
Keharusan mengimpor dari negara lain membuat kesetaraan akses atas vaksin menjadi vital bagi negara-negara seperti Indonesia dan Vietnam. Apalagi, Vietnam kini masih harus berusaha lebih keras dibandingkan Indonesia untuk mengamankan kontrak pengadaan vaksin. Proporsi jumlah vaksin yang sudah dikontrak Vietnam jauh di bawah proporsi Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah Indonesia termasuk salah satu negara yang paling dulu menjajaki kontrak pengadaan vaksin.
Sektor lain yang dapat diakselerasi antara Indonesia dan Vietnam adalah industri manufaktur. Selama bertahun-tahun, Indonesia-Vietnam sudah terhubung di rantai pasok aneka produksi manufaktur. Kerja sama perdagangan pada sektor ini membuat volume perdagangan Jakarta-Hanoi mencapai 8,2 miliar dollar AS pada 2020. Indonesia-Vietnam ingin nilai perdagangan kedua negara bertambah 1,8 miliar dollar AS per tahun dalam beberapa waktu mendatang.
Untuk mencapai target itu, Jakarta-Hanoi tentu tidak bisa hanya mengandalkan cara berdagang yang biasa seperti sebelum pandemi melanda. Perlu terobosan-terobosan, apalagi kini ada perubahan sektor manufaktur, baik rantai pasok maupun arahnya, di ranah global dan kawasan. Di tengah perubahan itu, Indonesia-Vietnam perlu mempertimbangkan kerja sama lebih erat dan saling menguntungkan untuk menghadapi kondisi itu.
Di jalan masing-masing, Indonesia-Vietnam berusaha beradaptasi dengan perubahan-perubahan. Istilah industri 4.0 begitu menggema di Indonesia sebagai tanda keinginan beradaptasi di dunia yang berubah. Sementara di Vietnam, tanda adaptasi antara lain berusaha mengalihkan industri otomotif berbasis bahan bakar menjadi berbasis listrik. Peralihan itu wujud keinginan Vietnam untuk tidak mendapat kesempatan melompat di dunia yang terus berubah.
Meski Indonesia-Vietnam bisa saja berkompetisi, bukan berarti tidak ada peluang untuk kemajuan bersama. Modalnya sudah ada dan tersedia sejak lama.