Dinilai gagal menangani Covid-19, Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha menuai protes dari warganya. Unjuk rasa pada Minggu lalu berakhir dengan kerusuhan. Prayuth adalah pemimpin kudeta militer per 2014.
Oleh
Benny D Koestanto
·4 menit baca
BANGKOK, SENIN — Sedikitnya 1.000 warga berunjuk rasa menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha di Bangkok, Thailand, Minggu (19/7/2021). Mereka menilai, kebijakan pemerintah dalam menangani Covid-19 tidak memuaskan.
Aksi tersebut digelar saat pembatasan sosial diterapkan Pemerintah Thailand di sejumlah daerah, termasuk Bangkok, sejak Senin (12/7/2021). Awalnya, pembatasan sosial ditetapkan pada 12-25 Juli. Namun, menyusul lonjakan kasus harian yang mencapai rekor tertinggi per Minggu kemarin, yakni 11.400 kasus, pemerintah memperpanjang pembatasan sosial hingga 2 Agustus.
Aturan pembatasan, antara lain, melarang pertemuan lebih dari lima orang. Atas dasar ini, polisi Thailand membubarkan unjuk rasa di Bangkok menggunakan gas air mata, peluru karet, dan meriam air. Unjuk rasa berakhir dengan bentrok antara polisi dan massa.
Unjuk rasa dipimpin Free Youth, sebuah kelompok protes mahasiswa yang menarik puluhan ribu warga untuk bergabung dalam unjuk rasa tahun lalu. Mereka memiliki tiga tuntutan utama, yakni menuntut Perdana Menteri (PM) Prayuth mundur, mendesak perubahan konstitusi agar negara itu lebih demokratis, dan meminta sistem monarki di bangsa itu menjadi lebih akuntabel.
Termasuk pula dalam tuntutan demonstran adalah dipotongnya anggaran monarki dan militer selama pandemi. Mereka juga menyerukan impor vaksin Covid-19 dalam skala besar ke Thailand untuk melawan gelombang mewabahnya virus yang terus meningkat.
Sebelum menjadi perdana menteri Thailand, Prayuth Chan-ocha adalah Komandan Tentara Kerajaan Thailand. Ia memimpin kudeta militer per 22 Mei 2014 menggulingkan pemerintah sementara Thailand setelah krisis politik beberapa bulan. Itu merupakan kudeta ke-12 sejak kudeta pertama di negara itu pada 1932. Militer kemudian membentuk junta yang disebut Dewan Nasional untuk Perdamaian dan Ketertiban untuk mengatur negara. Akhirnya, Raja Thailand Bhumibol Adulyadej merekomendasikan Prayuth sebagai kandidat tunggal untuk menjadi perdana menteri Thailand per 25 Agustus.
Jutatip Sirikhan, salah satu aktivis utama Free Youth, mengatakan, banyak warga Thailand telah meninggal karena Covid-19 karena kurangnya transparansi dan salah urus Prayuth dan kabinetnya. Thailand telah mencatat total 403.386 kasus terkonfirmasi Covid-19 dan 3.341 kematian akibat terkait penyakit itu sejak pandemi dimulai. Lebih dari 90 persen kasus dan kematian terjadi sejak April tahun ini.
Akhir pekan lalu, tingkat kematian harian akibat penyakit itu naik di atas 100 kematian untuk pertama kalinya. ”Jika kita tidak keluar sekarang, kita tidak tahu berapa lama kita akan bertahan dan apakah kita akan memiliki kesempatan untuk melakukannya lagi,” katanya tentang pandemi dan aksi protes itu.
Para pengunjuk rasa mulai berkumpul di Monumen Demokrasi di Bangkok pada lepas tengah hari. Pertama-tama, sejumlah koordinator aksi membagikan masker N95, sarung tangan medis, semprotan pembersih, dan jas hujan kepada peserta aksi. Massa kemudian bergerak menuju Gedung Pemerintah yang menjadi kantor PM Prayuth.
Penyelenggara juga membawa mayat tiruan dalam kain kafan putih yang mewakili korban Covid-19. Mayat tiruan itu kemudian ditempatkan di tanah di atas gambar Prayuth di persimpangan dekat Gedung Pemerintah lantas dibakar. Dimunculkan pula gambar-gambar mayat beberapa aktivis Thailand yang diculik pada 2019 dari tempat mereka tinggal di pengasingan di Laos.
Guna menghindari penyebaran infeksi, banyak pengunjuk rasa mengendarai mobil atau mengendarai sepeda motor, alih-alih berbaris seperti pada protes sebelumnya. Sekitar 1.500 polisi antihuru-hara dikerahkan bersama dengan truk meriam air.
Wakil Juru Bicara Polisi Nasional Kissana Pattanacharoen mengakui bahwa pihak berwenang menggunakan meriam air, gas air mata, dan peluru karet untuk membubarkan para pengunjuk rasa setelah beberapa peringatan diberikan.
Media Bangkok Post pada Senin melaporkan aksi demonstrasi berakhir pada Minggu menjelang malam. Berdasarkan layanan darurat Erawan Medical Center di Bangkok, dua peserta aksi itu dilarikan ke rumah sakit akibat cedera.
Sementara itu, Thailand juga mengumumkan pembatasan baru atas sebagian besar penerbangan domestik. Banyak bagian negara itu, termasuk Bangkok, sudah berada dalam status penguncian pada beberapa variasinya. Ini, antara lain, mencakup pembatasan pertemuan dan operasi bisnis serta jam malam.
Di tengah kelindan kondisi lonjakan infeksi, meningkatnya angka kematian akibat Covid-19, dan semakin banyaknya orang yang mengalami tekanan ekonomi, protes terhadap penanganan pandemi oleh Pemerintah Thailand semakin meningkat. Kritiknya, antara lain, pemerintah gagal mengamankan pasokan vaksin Covid-19 secara dini. Serangan virus korona varian Delta yang mengganas belakangan meningkatkan kekhawatiran di negara itu.
Thailand sebagian besar bergantung pada dua vaksin. Vaksin utama adalah AstraZeneca yang diproduksi perusahaan Thailand milik raja negara itu. Namun, sejauh ini jumlah vaksin yang tersedia lebih kecil dari yang diharapkan. Vaksin kedua yang disediakan adalah vaksin Sinovac. (AP/AFP/BEN)