Perundingan Taliban-Pemerintah Afghanistan tak menghasilkan kesepakatan berarti. Soal nama negara saja, Taliban bersikeras Emirat Islam Afghanistan. Pemerintah Afghanistan bersikukuh Republik Islam Afghanistan.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
ISLAMABAD, MINGGU — Perundingan lanjutan antara perwakilan Pemerintah Afghanistan dan Taliban selama dua hari, 17-18 Juli 2021, di Doha, Qatar, tak banyak menghasilkan kesepakatan berarti. Dalam pernyataan bersamanya usai perundingan, kedua belah pihak sebatas mengagendakan perundingan lagi pekan depan.
Pembicaraan itu dimulai pada Sabtu dan berlanjut pada Minggu petang, dua hari menjelang libur hari raya Idul Adha. Ini merupakan lanjutan dari serangkaian perundingan yang bahkan telah dilakukan sejak September 2020. Beberapa kali pertemuan digelar di Teheran, Iran.
Kepala Dewan Rekonsiliasi Nasional Afghanistan Abdullah Abdullah memimpin delegasi Pemerintah Afghanistan dalam pertemuan itu. Sementara delegasi dari Taliban dipimpin Wakil Pemimpin Taliban Mullah Abdul Ghani Baradar. Sebelumnya, utusan perdamaian Washington, Zalmay Khalilzad, yang berada di Qatar, mengharapkan perundingan bisa mengurangi kekerasan dan menghasilkan gencatan senjata selama Idul Adha.
Mengutip Al Jazeera, fasilitator perundingan dari Pemerintah Qatar, mengatakan, pada akhir perundingan kedua pihak hanya sepakat untuk sama-sama bekerja guna mencegah korban sipil. Capaian ini jauh kelanjutan yang diharapkan dari gencatan senjata yang disepakati sebelumnya.
”Kedua belah pihak sepakat untuk melanjutkan negosiasi pada tingkat tinggi sampai penyelesaian tercapai. Untuk tujuan ini, mereka akan bertemu lagi minggu depan,” kata utusan kontraterorisme Qatar, Mutlaq al-Qahtani, yang mengawasi pembicaraan di Doha.
Sebelum pertemuan di hari kedua, pemimpin Taliban, Maulawi Hibatullah Akhunzada, mengatakan, kelompoknya berkomitmen untuk berdamai dan mencapai penyelesaian politik guna mengakhiri perang puluhan tahun di Afghanistan. Ia juga mengatakan bahwa terlepas dari keuntungan yang diperoleh melalui perluasan penguasaan wilayah, Taliban sangat mendukung penyelesaian politik di negara itu dan setiap peluang untuk pembentukan sistem Islam di dalamnya.
Alotnya perundingan antara Taliban dan Pemerintah Afghanistan antara lain menyangkut terminologi. Untuk nama negara, kedua belah pihak belum menemukan titik temu. Kabul ingin mempertahankan nama Republik Islam Afghanistan. Sementara Taliban bersikeras pada Emirat Islam Afghanistan, nama sebagaimana mereka gunakan saat memerintah negara itu selama lima tahun sampai akhirnya koalisi militer pimpinan AS pada tahun 2001 menggulingkan mereka.
Demikian pula dengan sistem penyelenggaran negara. Akhunzada dalam pernyataannya antara lain menuntut sistem Islam dalam penyelenggaraan pendidikan. Namun, ia tidak menjelaskan lebih rinci apa maksudnya. Dia hanya berjanji untuk mendukung pendidikan bagi warga Afghanistan. Namun, untuk pendidikan bagi anak-anak perempuan, ia memberikan catatan khusus.
”Emirat Islam akan berusaha untuk menciptakan lingkungan yang sesuai untuk pendidikan perempuan dalam kerangka hukum Islam yang luhur,” katanya.
Emirat Islam akan berusaha untuk menciptakan lingkungan yang sesuai untuk pendidikan perempuan dalam kerangka hukum Islam yang luhur.
Akhunzada tidak menjelaskan bagaimana nasib lembaga-lembaga pendidikan yang telah didirikan selama 20 tahun terakhir. Ia juga tidak menjelaskan soal bagaimana dan apakah perempuan akan diberikan kebebasan untuk bekerja di luar rumah dan berada di luar rumah tanpa ditemani kerabat laki-laki mereka.
Dia mengatakan, Taliban telah memerintahkan komandan mereka untuk memperlakukan warga sipil dengan hati-hati serta melindungi institusi dan infrastruktur. Namun, laporan yang telah muncul dari daerah-daerah yang sudah dikuasai Taliban justru menunjukkan kondisi sebaliknya.
Akses perempuan, misalnya, sudah dibatasi dan diminta berada di rumah. Sekolah-sekolah juga dibakar. Beberapa gedung pemerintah telah diledakkan. Namun, Taliban telah membantah laporan penghancuran tersebut. Kelompok itu mengatakan bahwa rekaman yang ditampilkan sudah lama dan menuduh pemerintah terlibat dalam disinformasi dan propaganda itu.
Pertempuran antara Taliban dan pasukan pemerintah terus berlanjut di puluhan provinsi di Afghanistan. Ribuan warga Afghanistan berupaya mencari visa dengan harapan dapat segera meninggalkan negara itu.
Sebagian besar dari mereka takut bahwa penarikan terakhir pasukan AS dan NATO setelah hampir 20 tahun akan menjerumuskan negara mereka yang dilanda perang ke dalam kekacauan yang lebih dalam. Dengan penarikan AS yang telah mencapai lebih dari 95 persen, masa depan Afghanistan tampaknya justru terperosok dalam ketidakpastian.
Sebagian besar dari mereka takut bahwa penarikan terakhir pasukan AS dan NATO setelah hampir 20 tahun akan menjerumuskan negara mereka yang dilanda perang ke dalam kekacauan yang lebih dalam.
Kelompok-kelompok milisi dengan sejarah brutal telah dibangkitkan untuk melawan Taliban. Namun, kesetiaan mereka adalah terhadap dan kepada komandan mereka, yang notabene banyak dari mereka adalah panglima perang sekutu AS dengan dukungan berbasis etnis.
Kelindan kondisi itu telah meningkatkan potensi perpecahan yang semakin dalam di antara banyak kelompok etnis di Afghanistan. Kebanyakan Taliban adalah etnis Pashtun dan di masa lalu telah terjadi pembunuhan brutal oleh satu kelompok etnis terhadap kelompok lainnya.
Dari Islamabad, Pakistan, dilaporkan, Pemerintah Afghanistan telah menarik duta besar dan diplomatnya menyusul penculikan putri dubes) Afghanistan untuk Pakistan. Hal itu menjadi sebuah pukulan baru bagi hubungan kedua negara di tengah waktu yang sensitif bagi proses perdamaian Afghanistan.
Kementerian Luar Negeri Afghanistan menyatakan, putri Dubes Afghanistan untuk Pakistan ditangkap pada Jumat pekan lalu. Sang putri ditahan selama beberapa jam oleh penyerang tak dikenal yang lalu meninggalkannya dengan luka dan bekas tali. Pihak berwenang Pakistan mengatakan mereka sedang menyelidikinya.
”Pemerintah Afghanistan memanggil duta besar dan diplomat senior ke Kabul sampai ancaman keamanan benar-benar hilang, termasuk penangkapan dan hukuman para pelakunya,” kata Kemenlu Afghanistan.
Kemenlu Pakistan dalam sebuah pernyataan menyebut keputusan itu ”disesalkan” dan mengatakan pihaknya berharap Pemerintah Afghanistan akan mempertimbangkan kembali. Perdana Menteri Pakistan Imran Khan telah menetapkan masalah ini sebagai prioritas utama dan mengatakan dia ingin pelakunya ditangkap dalam waktu 48 jam sejak akhir pekan lalu. (AFP/REUTERS)