Indonesia, Anak Panah Persaingan Diplomasi Vaksin
Indonesia bersama negara-negara miskin dan berkembang lainnya tampaknya menjadi anak panah bagi media Barat untuk menyerang China.
Membaca berbagai berita mengenai perkembangan Covid-19 di Indonesia selama dua pekan terakhir melalui kacamata kantor-kantor berita asing memunculkan pertanyaan pada diri seorang wartawan. Ke mana perginya prinsip keterbukaan dan mendudukkan perkara yang selama ini diagungkan oleh media-media yang dianggap serius dan menjadi acuan pemberitaan global?
Dalam perjuangan melawan pandemi Covid-19, yang dibutuhkan adalah kerja sama global, bukan saling menjelekkan. Akan tetapi, tampaknya Indonesia bersama negara-negara miskin dan berkembang lainnya menjadi anak panah bagi media Barat untuk menyerang China.
Baca juga: Kematian Tenaga Kesehatan Meningkat Signifikan
Persaingan antara Barat, terutama Amerika Serikat, dan China memburuk sejak beberapa tahun belakangan. Penyebabnya, antara lain, kasus tuduhan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Pemerintah China di Xinjiang, penangkapan sejumlah pegiat prodemokrasi di Hong Kong, sengketa Laut China Selatan, dan perang dagang dengan AS.
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi G-7 atau kelompok tujuh negara berekonomi termaju di dunia bulan Juni, mereka mengeluarkan komunike yang mengultimatum China untuk membuka semua data mengenai asal-usul Covid-19 dan menghentikan berbagai kasus pelanggaran HAM atau sanksi ekonomi oleh negara-negara Barat tidak terelakkan. China membalas dengan mencerca bahwa negara-negara Barat munafik atas isu HAM yang terjadi di dalam negeri masing-masing dan menuduh G-7 ikut campur urusan internal Pemerintah China.
Lalu, di mana Indonesia berperan di dalam kasus ini? Jawabannya adalah pada diplomasi vaksin. Setelah keluarnya komunike G-7 yang ”menghajar” China. Indonesia menjadi salah satu anak panah atau peluru yang ditembakkan oleh Barat untuk menyerang China dengan memakai isu diplomasi vaksin.
Baca juga: Tenaga Kesehatan di Daerah Kelelahan dan Kewalahan
Berita-berita Reuters, Associated Press (AP), dan Agence France-Presse (AFP) periode akhir Juni dan awal Juli menyerang habis-habisan keefektifan vaksin buatan China, yaitu Sinovac dan Sinopharm. Kedua vaksin yang dibuat dari virus SARS-CoV-2 yang dilemahkan itu secara ilmiah memiliki efikasi di bawah vaksin Covid-19 berbasis mRNA, seperti Pfizer-BioNTech dan Moderna yang dibuat Barat.
Berita mengenai Indonesia umumnya membahas betapa tidak efektifnya vaksin Covid-19 buatan China melindungi orang-orang yang telah divaksin dari penularan galur Delta. Kasus di Kudus yang memakan setidaknya 350 tenaga kesehatan yang telah divaksin santer diberitakan di internet. Tulisan kantor-kantor berita ini kemudian menjadi landasan tulisan sejumlah media arus utama Barat, seperti BBC, CNN, Insider, dan Wall Street Journal.
Tidak ada kantor berita ataupun media Barat yang mengulas latar belakang Indonesia memakai vaksin buatan China.
Namun, ada hal yang sama dari seluruh pemberitaan tersebut, yaitu nyaris tidak adanya konteks. Tidak ada kantor berita ataupun media Barat yang mengulas latar belakang Indonesia memakai vaksin buatan China. Jika kita memberanikan diri menduga lebih lanjut, mungkin jika latar belakangnya dibahas, hal itu akan mengungkap fakta penimbunan vaksin Covid-19 oleh negara-negara maju.
Baca juga: PPKM Darurat belum Berdampak
Pertama, Pemerintah Indonesia telah mengupayakan pembelian vaksin Covid-19 setidaknya sejak Oktober 2020. Sumber pertama yang didekati adalah Covax, program penyaluran vaksin untuk negara-negara miskin dan berkembang yang dikelola Perserikatan Bangsa-Bangsa. Permasalahannya, vaksin-vaksin produksi Barat tidak memiliki stok yang cukup sehingga membuat Indonesia harus mengantre cukup lama.
Demikian juga dengan fakta bahwa negara-negara Barat memprioritaskan diri sendiri dan saat itu tidak menyumbang vaksin ataupun dana ke Covax. Hal ini telah dikritik Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, spesifik kepada para anggota G-7 untuk mau membagi-bagi stok mereka kepada negara-negara yang membutuhkan. Meskipun, jika dilihat dari perspektif awam tidak salah juga negara-negara maju melakukannya karena pemerintah sepatutnya mendahulukan rakyat mereka.
Baca juga: Serukan Pemerataan Vaksin Global, WHO Sebut Pembagian Dosis Ketiga sebagai "Keserakahan"
Kedua adalah persoalan infrastruktur dan kondisi geografis Indonesia. Vaksin Covid-19 mRNA harus disimpan di suhu minus untuk menjaga kondisinya. Tidak semua rumah sakit, apalagi fasilitas kesehatan, seperti puskesmas, memiliki peralatan mumpuni untuk penyimpanan vaksin ini. Adapun vaksin berbasis virus yang dilemahkan memerlukan penyimpanan di kulkas yang relatif bisa dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat kelurahan ataupun dalam proses transportasi.
Ketiga adalah faktor penegakan protokol kesehatan. Sejak awal, pemerintah mengumumkan bahwa apabila sudah divaksin bukan berarti seseorang akan kebal sepenuhnya terhadap Covid-19. Oleh sebab itu, mengenakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir tetap harus menjadi norma pribadi maupun sosial.
Baca juga: Vaksin Covid-19 Tak Membuat Kita Seperti Superman
Keempat ialah fakta selain lemahnya protokol kesehatan di masyarakat juga terjadinya pergerakan manusia secara besar-besaran. Tercatat pada libur Idul Fitri lalu setidaknya 1,5 juta warga Indonesia bergerak, dan kasus positif pun meningkat sesudahnya.
Perlu diingat bahwa hingga saat ini baru 13 persen penduduk Indonesia yang telah divaksinasi Covid-19, mayoritas merupakan tenaga kesehatan. Di sejumlah kabupaten/kota, dapat dibilang tenaga kesehatan adalah segelintir orang yang dikelilingi massa yang tidak divaksin dan tidak pula menegakkan protokol kesehatan. Lonjakan kasus yang drastis membuat tenaga kesehatan kita bekerja hingga ambruk dan sayangnya menelan nyawa mereka yang berjuang di garis depan.
Menarik diperhatikan bahwa keempat faktor ini tidak diungkit media Barat. Memang faktanya dari segi biaya, sarana, dan prasarana Indonesia baru mampu memakai vaksin buatan China yang pengadaannya tidak melalui Covax, tetapi sumbangan langsung. Keefektifannya tetap harus dipantau dalam sudut pandang ilmiah.
Ada suara cukup bijak dalam memandang permasalahan di Indonesia, yakni pandangan dari Jepang. Dalam wawancara eksklusif, Guru Besar Geopolitik Universitas Tokyo, Akio Takahara, mengatakan bahwa politik juga harus peka terhadap situasi di berbagai negara. ”Lebih baik memakai vaksin merek apa pun yang tersedia daripada tidak ada vaksin sama sekali dan harus menunggu lama sampai vaksin yang ideal datang,” katanya.
”Sesuai dengan perkembangan pandemi, pemerintah setiap negara tentunya akan menyesuaikan strategi kesehatan apabila perlu ada tambahan dosis atau apapun sesuai kajian ilmiah terkait,” lanjut Takahara.
Sebelum pertemuan antara Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dan para menlu ASEAN, Koordinator Gedung Putih untuk Indo-Pasifik Kurt Campbell menekankan pentingnya AS melakukan diplomasi vaksin ke ASEAN agar tidak kalah dari China. Baru kini AS akhirnya mengirim bantuan vaksin ke Indonesia berupa merek Pfizer-BioNTech dan Moderna.
Baca juga: ASEAN Rapat Virtual dengan Menlu AS
Tentunya Indonesia juga berterima kasih, meskipun tetap ditekankan bahwa setelah disuntik dengan vaksin Covid-19 berbasis mRNA pun protokol kesehatan tetap tidak boleh lengah. Lihat saja Israel yang mayoritas penduduknya disuntik dengan Pfizer-BioNTech, tetap mengalami lonjakan kasus. Demikian juga negara-negara di Eropa pascapergelaran Piala Eropa.