Tawarkan Gencatan Senjata, Taliban Juga Tuntut Pembebasan 7.000 Anggotanya
Taliban menawarkan gencatan senjata tiga bulan dengan imbalan pembebasan 7.000 anggotanya. Ini merupakan upaya untuk mendapatkan waktu guna mengonsolidasikan daerah-daerah pendudukan sekaligus menambah pasukan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
KABUL, KAMIS – Kelompok Taliban, yang kini sedang berada di atas angin, menawarkan gencatan senjata kepada pemerintah Afghanistan selama tiga bulan ke depan. Sebagai imbalannya, mereka menuntut pembebasan 7.000 anggotanya yang ditahan pemerintah. Taliban juga, sekali lagi, menuntut agar para pemimpin mereka dihapus dari daftar hitam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
"Ini adalah permintaan besar," kata Nader Nadery, anggota kunci dari tim pemerintah Afghanistan yang terlibat dalam pembicaraan damai dengan Taliban, Kamis (15/7).
Belum ada penjelasan resmi dari dua juru bicara Kelompok Taliban, Zabihullah Mujahid dan Mohammad Naeem. Sejauh ini, tak satu pun cuitan dari keduanya di Twitter yang menjelaskan soal tawaran gencatan senjata dan imbalan pembebasan 7.000 anggota mereka tersebut.
Respon pemerintah pun juga masih nihil. Kantor berita resmi Pemerintah Afghanistan maupun media-media Afghanistan juga belum menuliskan kabar ini di laman media mereka.
Pada awal Maret 2020, Taliban juga pernah menuntut pemerintah Afghanistan untuk membebaskan anggota mereka sebagai prasyarat dimulainya perundingan. Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani, menolak tuntutan itu. Banyak kalangan juga menolak, termasuk sejumlah keluarga korban kekerasan. Pertimbangannya, sebagian besar tahanan Taliban yang tersisa merupakan penjahat kelas kakap.
Taliban lantas melanjutkan kekerasan bersenjatanya. Korbannya termasuk warga sipil. Tidak terkecuali perempuan dan anak-anak. Dalam situasi itu, pemerintah Afghanistan, pada Agustus 2020, akhirnya membebaskan sejumlah tahanan sebagaimana tuntutan Taliban. Bahkan, beberapa diantaranya diterbangkan langsung ke Doha, Qatar, dan bergabung dengan kantor politik Taliban yang bermarkas di sana.
Perundingan antara pemerintah Afghanistan dan Taliban akhirnya dimulai pada September 2020, jauh dari jadwal semula yang direncanakan pada Maret atau sepekan setelah penandatanganan Nota Kesepakatan Damai Amerika Serikat-Taliban per akhir Februari 2020. Namun bersamaan dengan dimulainya perundingan tersebut, ternyata serangan dan kekerasan bersenjata terhadap militer dan warga sipil Afghanistan tidak berhenti. Intensitasnya bahkan justru meningkat.
Salah satu warga Kabul menyatakan, Taliban tidak bisa dipercaya. "Pembebasan 5.000 tahanan tidak membawa perdamaian. Bahkan, kebanyakan dari mereka kini melawan pasukan pemerintah. Sekarang mereka meminta 7.000 lagi dibebaskan. Itu jumlah yang besar,” kata Ahmad.
Muska Dastageer, dosen di American University of Afghanistan, menyatakan tawaran gencatan senjata Taliban merupakan upaya mereka untuk mengkonsolidasikan posisi yang telah mereka peroleh begitu cepat dalam beberapa pekan terakhir.
"Gencatan senjata (jika disepakati) secara efektif akan menghambat upaya pasukan nasional Afghanistan merebut kembali titik-titik perbatasan penting yang telah direbut Taliban baru-baru ini," cuit Dastageer pada akun Twitter milikya.
Tawaran gencatan senjata dari Taliban datang bersamaan dengan upaya pasukan penjaga perbatasan Pakistan untuk menghalangi dan membubarkan ratusan warga yang mencoba menyeberangi perbatasan, dari Afghanistan ke Pakistan. Pakistan menutup perbatasannya setelah Kelompok Taliban merebut Spin Boldak dari pasukan Afghanistan.
Seorang pejabat keamanan Pemerintah Pakistan mengatakan, sekitar 400 orang berupaya menerobos gerbang yang membatasi kedua negara dengan paksa. Pasukan penjaga perbatasan terpaksa menggunakan gas air mata untuk membubarkan massa yang terus bertambah.
Jumadad Khan, seorang pejabat senior pemerintah di Kota Chaman, Pakistan, mengatakan, situasi sekarang telah terkendali. Sumber petinggi Taliban mengatakan, mereka tengah berbicara dengan pihak berwenang di Pakistan agar pemerintah mau membuka perbatasan kedua negara. Dia mendapat janji bahwa gerbang perbatasan kedua negara akan dibuka dalam satu atau dua hari ke depan.
Perlintasan kedua negara di bagian Kota Chaman mengarah langsung ke Provinsi Balochistan, Pakistan, lokasi yang pernah dijadikan markas para petinggi Taliban selama beberapa dekade. Perlintasan itu juga sering digunakan para simpatisan Taliban untuk memasuki Afghanistan, membantu Taliban yang tengah bertempur.
Pemerintah Afghanistan telah meminta Pemerintah Pakistan untuk membantu proses perdamaian di Afghanistan, terutama memastikan keberhasilan perundingan dan keberlanjutan stabilitas. Menteri Luar Negeri Afghanitan, Mohammad Hanef Atmar, dikutip dari kantor berita Bakhtar, Rabu (14/7), bertemu dengan Menteri Luar Negeri Pakistan, Shah Mahmood Qureshi, disela-sela pertemuan negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO).
Atmar, dalam pertemuan itu mengatakan, kehadiran pejuang asing dan kelompok teroris regional di samping Taliban adalah ancaman besar tidak hanya bagi kawasan tapi juga dunia. Dia menekankan kerja sama negara-negara di kawasan, khususnya Pakistan, untuk menutup tempat-tempat yang diduga menjadi markas kelompok teroris tersebut dan menghentikan sumber pendanaannya.
Menlu Qureshi sepakat soal ketidakstabilan di kawasan yang mungkin timbul akibat konflik di Afghanitan. Dia menjanjikan dukungan bagi perdamaian Afghanistan dan komitmennya untuk membujuk Taliban agar mau berunding dan menemukan penyelesaian politik. (AFP)