Lingkaran Setan Listrik Ramah Lingkungan di Pakistan
Pembangunan sejumlah pembangkit listrik tenaga air di Pakistan berdampak pada lingkungan warga. Pengalihan sebagian besar air sungai untuk PLTA meningkatkan suhu di sejumlah wilayah.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Ambisi Pakistan untuk mengganti seluruh pasokan energi dan listriknya ke sumber-sumber yang ramah lingkungan tampak mulia di atas permukaan. Akan tetapi, kenyataan di lapangan tidak seindah yang dibayangkan karena upaya yang bertujuan melestarikan lingkungan ini justru dilakukan dengan merusak lingkungan.
Hal tersebut terasa di Provinsi Azad Jammu dan Kashmir (AJK) selama tiga tahun terakhir. Demikian yang diutarakan salah satu warganya, Magbool Hadieri (70). Ibu kota provinsi itu, Muzaffarad, dilalui oleh Sungai Neelum. Sejak dulu, warga dimanjakan oleh sepoi angin yang mengusir kegerahan.
Kini, angin itu sudah tidak berembus. ”Dulu di musim panas kami cukup duduk-duduk di teras atau membuka jendela menikmati semilir angin. Sekarang kipas angin terpaksa tidak pernah berhenti menyala,” kata Hadieri.
Penyebabnya ialah karena 80 persen dari aliran Sungai Neelum dialihkan ke pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Di satu aliran sungai itu ada sejumlah PLTA yang tengah dibangun. Setiap unit memperoleh tenaga dengan cara membuat kanal-kanal untuk mengalirkan air Sungai Neelum ke turbin. Akhirnya, air yang mengalir di sungai utama semakin surut.
”Warga tidak ada yang menentang pembangunan PLTA. Toh, kami semua membutuhkan listrik. Tetapi, apakah tidak ada cara lain yang lebih ramah lingkungan?” kata Hadieri.
Kejar capaian
Pakistan memiliki masalah akses listrik. Berdasarkan data dari Otoritas Pembangunan Air dan Listrik Pakistan (WAPDA) tahun 2017, ada 51 juta warga negara tersebut yang tempat tinggalnya sama sekali belum tersentuh listrik. Selain itu, ada 90 juta warga yang sudah menerima listrik, tetapi dalam kondisi tidak stabil alirannya.
WAPDA menghitung Pakistan berpotensi menghasilkan listrik 60.000 megawatt dengan memanfaatkan tenaga air. Wilayah utara negara ini, yaitu Provinsi AJK, Baltistan, Khyber Pakhtunkwa, dan Punjab, kaya akan aliran sungai. Dua sungai utamanya adalah Sungai Jhelum dan Indus. Sejauh ini, baru 7.320 megawatt listrik yang dihasilkan dari PLTA. Mayoritas listrik masih ditopang oleh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang menggunakan batubara impor.
Dilansir dari kantor berita Associated Press of Pakistan, Pembantu Khusus Perdana Menteri untuk Perubahan Iklim Malik Amin Aslam mengungkapkan, negara ini dirundung permasalahan pemanasan suhu dan gletser yang meleleh. Emisi dari PLTU dituduh menjadi biang kerok. Oleh sebab itu, Pemerintah Pakistan menargetkan pada tahun 2030 sebanyak 60 persen listrik dan energi berasal dari sumber yang ramah lingkungan.
”Tentu saja pemerintah membangun pembangkit listrik tenaga surya dan angin, tetapi PLTA tetap prioritas karena itu keunggulan kita,” kata Aslam. Ambisi ini diikuti kebijakan pemerintah memberi insentif fiskal kepada perusahaan swasta dan individu yang mengalihkan konsumsi energi mereka ke sektor ramah lingkungan.
Laporan Asosiasi PLTA Internasional (IHA) menyebutkan, pembangunan PLTA di Pakistan mayoritas merupakan proyek Koridor Ekonomi China-Pakistan (CPEC). Selain itu, ada pula sejumlah proyek dengan pihak lain, seperti konsorsium perusahaan swasta dari Korea Selatan. Wilayah utara dengan Sungai Indus, Sungai Jhelam, dan anak-anak sungai mereka dikeroyok.
Selain membangun PLTA berukuran besar yang menghasilkan daya dari 17 megawatt hingga 4.888 megawatt, seperti Bendungan Tarbela, dibangun pula PLTA mikrohidro. Pakistan mendapat pinjaman dari Bank Pembangunan Asia (ADB) untuk membangun 1.000 PLTA mikrohidro yang secara keseluruhan menghasilkan listrik 100 megawatt untuk dialirkan ke kampung-kampung.
Merusak lingkungan
Ironisnya, perjuangan Pemerintah Pakistan menyelamatkan lingkungan dengan energi bersih justru dilakukan dengan cara merusak lingkungan seperti yang dirasakan oleh 190.000 penduduk Muzaffarad. Mereka memprotes pengalihan aliran Sungai Neelum.
Wakil Kepala Badan Pelestarian Lingkungan (EPA) Provinsi AJK Shafiq Abbasi mengungkapkan, sejak air Sungai Neelum surut di tahun 2018, suhu di kota itu naik 4-5 derajat celsius. Akibatnya, gletser atau kubah salju yang menutupi puncak pegunungan di sekeliling AJK meleleh sehingga udara kian panas. Padahal, gletser itulah pendingin udara alami karena bisa menyerap hawa panas. Kerusakan alam ini menjadi lingkaran setan.
Tidak hanya hawa panas yang melanda, warga kini juga mengalami kekurangan air bersih dan di badan Sungai Neelum terjadi penumpukan material seperti lumpur, lumut, dan tanaman yang membusuk. Bau tidak sedap menguar dari sungai yang kini dangkal itu.
”Pembangunan PLTA ini tidak direncanakan dengan saksama mengenai analisis dampak lingkungannya. Pemerintah pusat memang memberikan dana ke Pemerintah Provinsi AJK untuk menangani kekeringan dan sedimentasi di 36 titik Sungai Neelum, tetapi itu tidak cukup tanpa ada sistem yang komprehensif,” papar Abbasi.
Apalagi, Pemerintah Pakistan kini mulai menggarap sejumlah PLTA di Sungai Jhelum yang juga mengaliri Muzaffarad. Ratusan warga sudah melakukan protes meminta agar eksekusi proyek benar-benar memperhatikan dampak lingkungan, tetapi belum ada tanggapan berarti dari pemerintah. Tanpa rencana kerja yang komprehensif, kesejukan hawa pegunungan di Azad Jammu dan Kashmir bisa-bisa nanti digantikan oleh penyejuk ruangan. (REUTERS)