Kerusuhan dan penjarahan di Afrika Selatan meluas dan dikhawatirkan akan menimbulkan krisis kemanusiaan karena distribusi makanan dan bahan bakar terganggu.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
JOHANNESBURG, RABU — Kerusuhan dan penjarahan akibat protes atas pemenjaraan mantan Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma meluas dan memasuki hari keenam. Situasi ini memicu kekhawatiran akan kekurangan stok makanan dan bahan bakar. Sedikitnya 72 orang tewas dan lebih dari 1.200 orang ditahan sejak Zuma mulai menjalani masa hukuman penjara selama 15 bulan. Penjarahan ini memukul rantai distribusi makanan dan bahan bakar serta memutus jaringan transportasi, terutama di wilayah Provinsi KwaZulu-Natal.
Pemerintah Afsel mencatat, Rabu (14/7/2021), terjadi 208 penjarahan dan vandalisme hingga pemerintah menambah dua kali lipat jumlah tentara yang dikerahkan untuk mengendalikan massa hingga menjadi 5.000 personel. Menteri Pertahanan Afsel Nosiviwe Mapisa-Nqakula akan memperketat patroli untuk mencegah kerusuhan akibat kelompok-kelompok anak muda yang miskin.
Kerusuhan dan penjarahan terjadi cepat dan meluas karena banyak warga yang menganggap Zuma sebagai pembela orang miskin. Zuma, yang dijuluki ”presiden teflon”, dijatuhi hukuman penjara pada 29 Juni lalu oleh Mahkamah Konstitusi karena melawan perintah untuk hadir di hadapan komite penyelidik korupsi yang tengah menyelidiki dugaan korupsi selama Zuma menjadi presiden pada 2009-2018.
Sekitar 800 pertokoan ritel dijarah warga. Presiden Afsel Cyril Ramaphosa mengingatkan, sebagian wilayah Afsel akan mengalami krisis kebutuhan dasar, termasuk obat-obatan. Ini karena jalur distribusi salah satu operator logistik milik pemerintah, Transnet, terganggu gara-gara kerusuhan.
Ratusan orang di kota pelabuhan Durban harus mengantre selama berjam-jam menunggu toko-toko bahan makanan buka. Antrean panjang juga terlibat di SPBU. Kelangkaan bahan bakar itu juga terjadi sebagian karena kilang minyak terbesar di Afsel, SAPREF, menutup kilangnya di Durban. ”Kami akan krisis bahan bakar beberapa hari atau beberapa pekan ke depan,” kata Ketua Asosiasi Industri Mobil Layton Beard.
Karena banyak toko yang dijarah, para penjual makanan terpaksa menjual makanan dengan truk-truk pengiriman barang di luar pusat-pusat pertokoan. ”Penjarahan ini mengancam ketahanan energi dan ketahanan pangan kita,” kata Guru Besar Bisnis dan Ekonomi di University of the Free State, Bonang Mohale.
Persoalan lain yang lebih riskan adalah akibat kerusuhan ini program vaksinasi Covid-19 dan pengiriman obat-obatan ke rumah sakit juga terganggu. Kasus Covid-19 di Afsel yang diterjang gelombang ketiga telah mencapai 2,2 juta dan jumlah kematian setiap harinya sekitar 633 orang.
Direktur Eksekutif AgriSA, organisasi pertanian terbesar di Afsel, Christo van der Rheede, mengatakan, para petani kesulitan mengirimkan hasil panennya ke pasar karena distribusi terhambat. Belum lagi banyak perkebunan tebu di KwaZulu-Natal yang dibakar dan banyak hewan ternak dicuri. ”Kalau situasi keamanan tidak segera pulih, kami akan mengalami krisis kemanusiaan yang luar biasa," ujarnya.
Untuk mencegah kerusuhan dan penjarahan, banyak warga yang membentuk tim pengamanan sendiri untuk melindungi infrastruktur yang ada di lingkungan tempat tinggal masing-masing. Mereka khawatir penjarahan akan sampai ke daerah mereka karena banyak warga kalap menjarah kulkas, microwave oven, pakaian, makanan, dan alkohol.
Pemimpin komunitas Zulu, Misuzulu Zulu, kecewa dengan kerusuhan dan penjarahan yang dianggapnya memalukan itu. ”Kekacauan ini menghancurkan perekonomian dan yang orang miskin yang paling menderita,” ujarnya.
Ekonom Afsel, Lumkile Mondi, menilai para penjarah itu juga yang nantinya akan ikut menanggung beban karena akan kehilangan pekerjaan dan harus menghadapi keterlambatan pasokan kebutuhan hidup sehari-hari.
Katlego Motati, warga Durban, sedih dengan kerusuhan dan penjarahan yang terjadi apalagi karena ia mengenal sebagian orang yang ikut menjarah pertokoan. ”Beberapa tetangga saya cerita mereka mencuri banyak barang dari toko. Kalau mereka kesulitan lagi, pasti mereka akan datang minta-minta makanan ke saya. Pandemi ini memperparah hidup rakyat yang sudah menderita akibat kemiskinan dan tidak adanya pekerjaan,” ujarnya.
Menurut Bank Dunia, tingkat pengangguran Afsel sekitar 32 persen dan lebih banyak penduduk berusia di bawah 35 tahun. Meski perekonomian negara berpenduduk 60 juta jiwa ini paling maju di Afrika, Afsel merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kesenjangan tinggi karena lebih dari 50 persen penduduknya hidup miskin dan paling rawan ketahanan pangannya.
”Akibat pandemi dan kebijakan pembatasan, semakin banyak orang kehilangan pekerjaan. Orang menjarah karena sudah frustrasi sejak lama. Saya kira ini bukan hanya karena kasus Zuma. Ketika ada pemicunya, semua turun dan ikut menjarah,” kata Motati. (AP/AFP)