China Mempertahankan Sikap Mereka dalam Geopolitik Global
China bersikukuh dengan pendapat mereka tentang sejumlah isu, seperti isu Laut China Selatan, minoritas Uighur, dan asal mula virus pemicu Covid-19.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — China bersikukuh atas sikap politik mereka di kawasan Asia Tenggara dan global. Mereka bergeming mengenai isu seperti Laut China Selatan, asal-usul virus SARS-CoV-2, dan berbagai tuduhan pelanggaran hak asasi manusia yang ditimpakan oleh negara-negara Barat.
Sikap itu diutarakan oleh Duta Besar China untuk Indonesia Xiao Qian dalam jumpa pers daring bersama sejumlah wartawan dari media arus utama Tanah Air di Jakarta, Kamis (15/7/2021). Ia membuka pertemuan dengan menjelaskan situasi China yang dinilai baik dalam mengendalikan pandemi Covid-19. Target akhir tahun 2021 adalah 70 persen penduduk dari negara yang memiliki 1,39 miliar jiwa itu sudah diimunisasi.
Xiao menjabarkan, penanganan pandemi membuat China bisa memulihkan ekonomi sehingga bisa tumbuh di tengah krisis yang dialami negara-negara lain. Berdasarkan data Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional, ekonomi China akan tumbuh 8,1-8,4 persen sehingga memberi sepertiga kontribusi ekonomi global.
”Tahun ini, China memasuki Rencana Pembangunan Lima Tahun ke-14 dengan memantapkan sistem sosialisme berciri khas China. Kami akan fokus kepada sirkulasi domestik tanpa melupakan kerja sama dengan negara-negara lain di dunia tanpa ada pemaksaan untuk mengikuti metode yang dipakai China,” ujarnya.
Dari aspek penanganan Covid-19, China telah mengirim bantuan 500 juta dosis vaksin untuk 125 negara berkembang, jumlah ini setara dengan seperenam produksi vaksin global. Hal ini belum termasuk bantuan 2 miliar dollar Amerika Serikat (AS) untuk pemulihan ekonomi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga mengumumkan bahwa vaksin Sinovac sudah boleh digunakan untuk keadaan darurat di 50 negara dengan total penyuntikan yang sudah dilakukan sebanyak 75 juta dosis. Sinovac dan Sinopharm juga bekerja sama dengan Indonesia, Mesir, Brasil, dan Uni Emirat Arab untuk memproduksi vaksin Covid-19 secara lokal.
”Kedua perusahaan tengah melakukan uji klinis apabila diperlukan suntikan dosis ketiga. Selain itu, perusahaan farmasi CanSino Biologics dan Anhui Zhifei Longcom juga sedang dalam proses negosiasi dengan mitra-mitra di Indonesia untuk membuka produksi,” kata Xiao.
Secara total, China telah menyumbang 6,4 juta dosis vaksin Covid-19 siap pakai dan 115 juta dosis vaksin setengah jadi kepada Indonesia. Menurut Xiao, ini karena China dan Indonesia memiliki konsep teman senasib dan sepenanggungan.
Terkait dengan penyelidikan asal-usul virus SARS-Cov-2, Xiao mengatakan, WHO sudah dua kali mengirim tim pakar ke Wuhan. Laporan kedua kunjungan itu menyatakan bahwa virus korona jenis baru itu bukan berasal dari kebocoran laboratorium. Apabila negara-negara lain ingin menyelidiki, para ahlinya dipersilakan datang ke China untuk mencari informasi.
Seusai pemaparan tersebut, Xiao meminta para pejabat teras Kedutaan Besar China untuk Indonesia agar menjawab pertanyaan-pertanyaan para wartawan. Umumnya, jawaban yang diberikan tidak berbeda dari pernyataan yang telah dilontarkan oleh Pemerintah China, baik oleh Presiden Xi Jinping maupun dari kementerian luar negeri negara itu.
Isu mengenai Laut China Selatan (LCS), misalnya, Wakil Kepala Bagian Politik, Zang Liang menjelaskan bahwa China tetap berdiri pada prinsip fakta dan dokumentasi sejarah ribuan tahun yang mengatakan LCS sebagai bagian dari China. Hal ini tidak pernah dipermasalahkan oleh negara mana pun hingga tahun 1970-an.
”Justru, Vietnam dan Filipina yang mengokupasi pulau-pulau serta terumbu karang di LCS secara ilegal. Meskipun begitu, China tetap mengedepankan pendekatan posisi dan preposisi yang konsisten,” ujar Zang.
Filipina mengajukan sengketa LCS kepada Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda. Pada tahun 2016, mahkamah ini memutuskan bahwa klaim China atas 80 persen LCS dengan memakai sistem sembilan garis putus-putus tidak valid. Mahkamah mendukung posisi Filipina. Ada wilayah di LCS yang merupakan perairan milik Filipina dan Vietnam. Keputusan ini diterima oleh dunia.
Namun, kapal-kapal sipil dan militer China tetap memasuki wilayah LCS yang oleh Filipina dinamakan Laut Filipina Utara. Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengajukan protes langsung ke China, mahkamah internasional, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun, protes itu tidak ditanggapi China. Karena kesal, Duterte kemudian meminta bantuan ke AS.
Filipina dan AS terikat perjanjian di tahun 1951 yang mengatakan, apabila salah satu negara diserang, negara lain harus membantu. Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, awal pekan ini, membuat kecaman terhadap China dan menyuruh China menarik semua kapal mereka dari Laut Filipina Utara atau AS akan turun tangan.
Kapal perang AS, USS Benfold, beberapa hari lalu ”diusir” oleh kapal perang China dari LCS, tepatnya di Kepulauan Paracel. Angkatan Laut AS mengeluarkan pernyataan bahwa USS Benfold berlayar di perairan internasional yang bukan bagian negara mana pun.
”Kami menyayangkan negara-negara yang memiliki isu LCS malah melibatkan pihak lain yang tidak sepantasnya ikut campur masalah ini. Padahal, China selalu terbuka untuk diajak berdialog,” ujar Zang.
Demikian pula pemaparan Zang terkait tuduhan pelanggaran hak asasi manusia oleh Pemerintah China terhadap kelompok minoritas Uighur di Provinsi Xinjiang, penangkapan para pegiat prodemokrasi di Hong Kong, dan perseteruan dengan Taiwan. China menganggap hal ini adalah kampanye hitam oleh AS dan negara-negara anggota G-7 untuk merusak kestabilan China.
Menurut dia, setiap tahun sepanjang 2014-2019, pendapatan domestik bruto Xinjiang meningkat 2 persen, dan angka kemiskinan berkurang. Umat Muslim juga diizinkan beribadah dan merayakan hari-hari besar agama Islam. Bahkan, para perwakilan organisasi-organisasi Islam di Indonesia sudah beberapa kali berkunjung ke Xinjiang.
”Harap dimengerti, yang dipermasalahkan oleh Pemerintah China di Xinjiang adalah persoalan separatisme dan terorisme,” ujar Zang.
bulan Desember 2019, Pengurus Pusat Muhammadiyah menyampaikan sikap mereka terhadap kaum Uighur. Intinya, Muhammadiyah meminta China menghentikan segala jenis pelanggaran HAM dengan dalih apa pun, membuka akses informasi kepada media ataupun lembaga kemanusiaan internasional mengenai keadaan di Xinjiang, dan mengutamakan dialog damai dengan melibatkan penengah.
Dalam tujuh poin pernyataan sikap itu, Muhammadiyah turut meminta PBB dan Organisasi Kerja Sama Islam Internasional membuat resolusi terhadap berbagai wilayah konflik, seperti Xinjiang, Suriah, dan Yaman.