Setelah tertunda, pertemuan para menlu ASEAN dan AS digelar. Namun, AS masih menekankan isu keamanan ketimbang ekonomi.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden mencoba memperbaiki dan menghangatkan hubungan dengan ASEAN. Setelah rencana sebelumnya batal, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menggelar pertemuan virtual dengan para menteri luar negeri ASEAN, Rabu (14/7/2021).
Pertemuan tersebut membahas sejumlah isu, antara lain, kekerasan di Myanmar, ketegangan beberapa negara ASEAN dengan China di Laut China Selatan, dan diplomasi vaksin. Ini adalah pertemuan ketiga ASEAN dan negara adidaya. Sebelumnya, ASEAN melakukan dua pertemuan terpisah dengan China dan Rusia.
”Pertama-tama, AS meminta agar ASEAN segera menyelesaikan konflik dan pertumpahan darah di Myanmar. Kami meminta agar lima konsensus ASEAN segera dijalankan dan Myanmar membebaskan para tahanan politik,” papar Ned Price, juru bicara Departemen Luar Negeri AS.
Poin kedua mengenai Laut China Selatan. AS menegaskan kembali sikap mendukung kedaulatan negara-negara anggota ASEAN atas Laut China Selatan dan mengecam perbuatan China yang tidak memedulikan kedaulatan itu.
Poin ketiga mengenai diplomasi vaksin Covid-19. Koordinator Gedung Putih untuk Wilayah Indo-Pasifik Kurt Campbell mengatakan, selama pemerintahan Presiden Donald Trump (2017-2021), AS tidak aktif di Asia Pasifik. Pengaruhnya hampir tidak berasa. Akibatnya, Rusia dan China yang kemudian melebarkan sayap mereka ke kawasan ini. Sejak pandemi Covid-19 dimulai, China mempraktikkan diplomasi vaksin kepada negara-negara Asia Pasifik dan Afrika.
Pada Maret, AS mengadakan rapat dengan Jepang, India, dan Australia. Keempat negara itu sepakat memberi kontrak produksi 1 miliar dosis vaksin Covid-19 kepada perusahaan Biological E Limited dari India. Vaksin buatan mereka akan disebar ke Asia Pasifik per tahun 2022. Langkah ini menghadapi hambatan karena India tengah menghadapi gelombang kedua pandemi yang lebih mematikan daripada gelombang pertama.
Bebas tekanan politik
Dari pihak ASEAN, sejumlah menteri telah mengutarakan pendapat. Intinya, mengingatkan AS bahwa sistem hubungan dengan ASEAN bersifat kemitraan, bukan sekutu. Artinya, ASEAN diperlakukan sebagai mitra setara yang bebas dari tekanan politik AS, China, ataupun Rusia. Ini berbeda dengan sistem sekutu yang apabila salah satu anggota diserang, anggota lain wajib membalas.
Salah satu menteri yang menyampaikan konsep ini adalah Menteri Komunikasi dan Informasi Singapura Josephine Teo dalam wawancara dengan media CNBC. Ia menjabarkan dari perspektif teknologi digital. Berdasarkan laporan kerja sama Google, Temasek Holdings, dan Bain and Company tahun 2020, Asia Tenggara memiliki 400 juta pengguna internet atau setara 70 persen jumlah penduduknya.
Dalam Rencana Pokok Pembangunan Digital ASEAN 2025 juga disebutkan, kawasan ini hendak meningkatkan e-dagang agar bisa meliputi semua wilayah sehingga tercapai inklusivitas ekonomi. Begitu pula integrasi data dan keamanan siber.
Menurut Teo, setiap negara, perusahaan, dan individu di ASEAN berhak memilih jenis teknologi yang cocok dengan kebutuhan masing-masing, terlepas asal-usul teknologi tersebut. ”Kami ingin agar AS dan China, ataupun negara penghasil teknologi digital lainnya, tidak memolitisasi kebutuhan ini. ASEAN tidak mau sanksi ekonomi AS terhadap perusahaan-perusahaan teknologi China berimbas kepada Asia Tenggara, begitu pula sebaliknya,” katanya.
Sementara itu, Menlu RI Retno LP Marsudi mengatakan, pertemuan ini adalah langkah positif bagi AS untuk kembali ke kancah relasi multilateralisme. Prinsip ini akan memberi kestabilan dan perdamaian di kawasan Asia Tenggara. Ia mengingatkan, ASEAN mengedepankan praktik bermusyawarah dan kolaborasi, bukan kompetisi dan defisit kepercayaan.
Menurut pengamat, cara pandang dan pendekatan AS terhadap negara-negara ASEAN masih menekankan pada soal keamanan dibandingkan dengan pendekatan ekonomi. ”AS terlalu berpikir mengenai keamanan semata. Berbeda dengan China yang berpikir jangka panjang dengan pendekatan ekonominya ke negara-negara ASEAN,” kata Nanto Sriyanto, pengamat hubungan internasional pada Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Dia mengatakan, hal itu bisa dilihat dari pernyataan Deplu AS yang memberikan proporsi cukup besar pada masalah Laut China Selatan dan persoalan di Delta Sungai Mekong. Tidak ada pernyataan khusus mengenai pengembangan infrastruktur atau pengembangan ekonomi kawasan secara spesifik. Secara keseluruhan, AS masih memperlihatkan pandangan dan cara melihat ASEAN hanya dalam perspektif keamanan.
Anggota Tim Kajian ASEAN LIPI, Khanisa Krisman, menjelaskan, fakta bahwa China, Rusia, dan AS mengadakan pertemuan terpisah dengan ASEAN membuktikan ASEAN masih dianggap sebagai entitas yang berpengaruh di Asia Tenggara. Demikian pula ketika ASEAN bisa mengumpulkan ketiga negara itu untuk duduk bersama di KTT Asia Timur. Namun, ketiga adidaya itu harus memahami bahwa ASEAN bukan entitas politik yang akan melakukan segala sesuatu seperti permintaan negara-negara adidaya. (REUTERS)