Bayang-bayang kekacauan yang kian parah di Afghanistan tampak di depan mata. Dunia perlu segera bertindak mencegah negara itu jatuh dalam tragedi kemanusiaan.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Hampir tiada hari berlalu di Afghanistan tanpa pertempuran antara pasukan pemerintah dan kelompok Taliban. Penguasaan wilayah oleh kelompok militan dilaporkan terus meluas. Terdesak di banyak wilayah, pemerintahan Presiden Ashraf Ghani mempersenjatai warga lewat gerakan militerisasi sipil. Bayang-bayang perang saudara berkepanjangan di negara itu, dengan dampak tragedi kemanusiaan memilukan, sudah di depan mata. PBB menyebut, hampir 60.000 orang mengungsi dari distrik-distrik yang dikuasai Taliban.
Wajar jika sejumlah perwakilan asing menutup kantor mereka atau mengevakuasi warga dan staf diplomatik mereka dari Afghanistan. Diawali Australia menutup kantor kedutaannya di Kabul, akhir Mei lalu, langkah serupa disusul Turki, Rusia, dan Jerman yang dilaporkan menutup kantor konsulat mereka di Mazar-e-Sharif, Provinsi Balkh, Afghanistan utara. Konsulat Uzbekistan, Tajikistan, India, Iran, dan Pakistan juga telah mengurangi layanan mereka.
Tak hanya di utara, pada Minggu (11/7/2021), India juga mengumumkan menarik pulang 50 diplomat dan personel keamanan dari konsulatnya di Kandahar, Afghanistan selatan. Awal Juli, China mengirim pesawat khusus guna mengevakuasi 210 warganya dari Afghanistan. Penutupan kantor perwakilan dan evakuasi oleh sejumlah negara itu menjadi potret situasi keamanan di Afghanistan yang terus memburuk. Bocoran laporan intelijen AS, seperti dilansir harian The Wall Street Journal (23/6/2021), menyebut pemerintahan Ghani bisa jatuh ke tangan Taliban dalam enam bulan setelah Amerika Serikat menarik seluruh pasukannya dari sana.
Harus dikatakan, situasi pelik di Afghanistan saat ini bermula saat AS pada Februari 2020 menandatangani kesepakatan dengan Taliban di Doha, Qatar. Salah satu isinya, AS menarik seluruh pasukan negaranya dan tentara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dari Afghanistan, dengan imbalan Taliban tak membiarkan kelompok-kelompok militan menjadikan Afghanistan sebagai pangkalan menyerang AS.
Dijadwalkan, 31 Agustus nanti seluruh pasukan AS—kecuali unit pengamanan misi diplomatik AS—ditarik dari Afghanistan, menandai berakhirnya 20 tahun perang AS di negara itu. Dalam kesepakatan AS-Taliban, sebenarnya juga berisi dorongan perundingan damai antara Pemerintah Afghanistan dan Taliban. Namun, tak banyak kemajuan di meja perundingan. Taliban hanya menjadikan negosiasi untuk mengulur waktu agar milisinya menguasai wilayah yang lebih luas.
Apa yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan Afghanistan? Satu-satunya opsi tersisa, meski utopis, yaitu mengoptimalkan perundingan damai Kabul dan Taliban guna menghasilkan kesepakatan politik yang komprehensif dan inklusif, berbasis dukungan luas, dengan sasaran membentuk pemerintahan bersama melibatkan seluruh elemen di Afghanistan. Di sinilah komunitas internasional harus berperan.