Olimpiade Tokyo 2020, yang bergulir pekan depan, semula diharapkan jadi momentum Jepang bersinar di panggung global. Namun, pandemi Covid-19 membuat kesabaran negeri itu benar-benar diuji.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·5 menit baca
Permintaan maaf diiringi tetesan air mata Hidenori Suzuki pada tengah pekan lalu terasa sangat sentimental. Pejabat Olimpiade Tokyo yang bertanggung jawab atas penjualan tiket penonton itu harus membatalkan dan mengembalikan tiket-tiket yang sudah dibeli warga. Olimpiade Tokyo, yang bakal digelar 23 Juli-8 Agustus 2021, diputuskan digelar tanpa kehadiran penonton di tempat pertandingan.
Panitia penyelenggara mengumumkan keputusan untuk melarang penggemar datang ke stadion arena Olimpiade, Kamis (8/7/2021) pekan lalu. Gelombang infeksi baru Covid-19 memaksa Jepang menyatakan keadaan darurat di ibu kota sepanjang berlangsungnya Olimpiade. ”Kami telah melakukan semua yang kami bisa untuk memenuhi harapan mereka yang telah membeli tiket dan saya merasakan rasa sakit yang mendalam,” kata Suzuki seperti dikutip Reuters.
Keputusan menggelar Olimpiade Tokyo tanpa penonton adalah sebuah keputusan besar dari Pemerintah Jepang, berubah tajam dari rencana awal. Sejumlah pejabat Jepang sebelumnya masih bersikeras dapat menggelar Olimpiade dengan aman dengan kehadiran penonton secara langsung.
Namun, Perdana Menteri Yoshihide Suga menegaskan, penting sifatnya untuk mencegah Tokyo menjadi titik api infeksi baru Covid-19 di negerinya. Varian Delta yang sangat menular diketahui telah ada dan menyebar di kota itu. Kelambanan proses vaksinasi Covid-19 juga ikut menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan terkait gelaran Olimpiade tanpa penonton.
Selama kondisi darurat, warga akan diminta tidak berkumpul pada nomor-nomor lomba Olimpiade yang digelar di jalan umum, seperti triatlon. Prefektur tetangga Tokyo, yakni Kanagawa, Saitama, dan Chiba, juga tidak mengizinkan penonton hadir di gelanggang Olimpiade. Namun, para pejabat menyebut beberapa tempat di luar wilayah metropolitan Tokyo memungkinkan kehadiran sejumlah kecil penonton.
Kesabaran Jepang benar-benar tengah diuji. Olimpiade Tokyo sejatinya dilihat sebagai kesempatan bagi Jepang untuk bersinar di panggung global. Olimpiade diharapkan menjadi pelipur lara sekaligus tonggak penyemangat dari beberapa peristiwa yang menghantam sebelumnya, termasuk bencana gempa bumi dan tsunami, selama dekade terakhir.
Kesabaran Jepang benar-benar tengah diuji. Olimpiade Tokyo sejatinya dilihat sebagai kesempatan bagi Jepang untuk bersinar di panggung global.
Sebelumnya, kelindan belanja infrastruktur dan efek positif dari dunia pariwisata Jepang diharapkan berbuah dari gelaran Olimpiade dan pascapandemi Covid-19. Ini meniru gelaran Olimpiade Tokyo 1964, di mana revitalisasi dan rekonstruksi infrastruktur Jepang dilakukan pasca-Perang Dunia II. Di bidang pariwisata, 60 juta wisatawan internasional ditargetkan datang ke Jepang per tahun pada 2030.
Strategi pengembangan pariwisata agresif yang diterapkan, jauh sebelum pandemi Covid-19 melanda, adalah salah satu reformasi struktural yang diperkenalkan PM Shinzo Abe guna mendorong pertumbuhan ekonomi Jepang di masa depan. Potensi pendapatan hingga keuntungan ekonomi dari pariwisata itu diharapkan menjadi warisan bagi Jepang kelak.
Ketika kepercayaan konsumen pulih dan perjalanan internasional kembali normal, strategi pengembangan pariwisata Jepang yang agresif akan mendapatkan lagi momentumnya. Begitulah harapan dan kalkulasi awalnya.
Kerugian ekonomi
Namun, akibat penundaan karena pandemi Covid-19 dan belakangan keputusan soal tanpa penonton, kekhawatiran soal kerugian secara ekonomi juga mengemuka. Penundaan Olimpiade selama setahun itu telah menjadikan pembengkakan anggaran besar-besaran.
Total anggaran biaya penyelenggaraan Olimpiade Tokyo akibat penundaan menjadi 15,4 miliar dollar AS (sekitar Rp 223,3 triliun). Sebuah studi yang dilakukan Katsuhiro Miyamoto, profesor ekonomi di Universitas Kansai, memperkirakan penyelenggaraan Olimpiade dan Paralimpiade tahun ini tanpa penonton akan mengakibatkan total kerugian ekonomi 23,1 miliar dollar AS bagi Jepang.
Kerugian langsung atas keputusan itu diperkirakan senilai 3,7 miliar dollar AS dan berupa belanja konsumsi rumah tangga yang turun seiring kemungkinan melorotnya antusiasme warga Jepang senilai 2,7 miliar dollar AS. Selain itu, keuntungan ekonomi dari promosi acara olahraga dan budaya promosi setelah Olimpiade juga diperkirakan berkurang setengahnya senilai 8,2 miliar dollar AS.
Sponsor-sponsor Olimpiade Tokyo telah membatalkan atau mengurangi stan dan acara promosi terkait dengan ajang olahraga multicabang itu. Mereka merasa frustrasi dengan kondisi yang mendera setahun terakhir. Sekitar 60 perusahaan Jepang membayar lebih dari 3 miliar dollar AS untuk hak sponsor dan kemudian tambahan 200 juta dollar AS guna memperpanjang kontrak mereka setelah Olimpiade ditunda tahun lalu akibat pandemi.
Wakil Direktur Asia dan Pasifik Dana Moneter Internasional (IMF) Odd Per Brekk, pada pertengahan April lalu, menyatakan, pembatalan ataupun penundaan Olimpiade Tokyo mungkin tidak akan banyak merugikan ekonomi Jepang. Syaratnya adalah Pemerintah Jepang harus dapat menawarkan dukungan bagi perusahaan-perusahaan Jepang, khususnya perusahaan kecil dan para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah yang mungkin terpukul keras atas kondisi yang terjadi atas ajang olahraga multicabang terakbar sejagad itu. Analisis berbasis survei menunjukkan, pembatalan atau penundaan Olimpiade dapat menurunkan pertumbuhan penjualan mereka lebih dari 5 persen.
”Perubahan pada rencana Olimpiade akan berdampak terbatas pada prospek pertumbuhan jangka pendek secara keseluruhan, mengingat Jepang adalah ekonomi yang besar dan terdiversifikasi,” kata Brekk.
Sebagian besar infrastruktur untuk Olimpiade sudah tersedia, tambah Brekk, dan dampak terhadap pertumbuhan dari hilangnya ekonomi pariwisata, khususnya selama gelaran itu berlangsung, akan kecil.
Ekonomi Jepang telah bangkit dari kemerosotan tahun lalu yang disebabkan oleh pandemi Covid-19. Meskipun demikian, para analis memperkirakan, pemulihan apa pun akan terjadi secara moderat karena lonjakan baru infeksi Covid-19 telah membebani konsumsi. Dengan kebijakan ketukan palu dan tarian (hammer and dance) dalam menghadapi pandemi, gerak ekonomi layaknya permainan yoyo, turun naik.
Data Pemerintah Jepang yang dirilis, Selasa (18/5/2021), menunjukkan ekonomi Jepang kembali menyusut 5,1 persen pada tiga bulan pertama tahun ini dibandingkan periode yang sama setahun lalu. Tekanan atas ekonomi Jepang itu lebih tinggi dari proyeksi para analis sebelumnya, yakni terkontraksi 4,6 persen secara tahunan.
Pada triwulan terakhir tahun lalu, ekonomi Jepang melonjak 11,6 persen dibandingkan periode sama setahun sebelumnya. Kenaikan itu terjadi menyusul kenaikan serupa pada periode Juli-September 2020. Pemulihan yang didorong ekspor itu lalu terhenti karena konsumsi terpukul oleh lonjakan varian virus baru yang memaksa pemerintah memberlakukan lagi pembatasan kegiatan warga, 10 pekan sebelum Olimpiade.
Namun, IMF tetap meningkatkan perkiraan ekonomi Jepang akan tumbuh di level 3,3 persen untuk tahun ini. Ekspor yang kuat dan pengaruh stimulus fiskal besar-besaran diproyeksikan menopang pertumbuhan negara itu.
”Seperti di semua negara, prospek pertumbuhan di Jepang tunduk pada risiko penurunan yang signifikan dari ketidakpastian tentang evolusi virus dan peluncuran vaksin, baik di dalam negeri maupun global,” kata Brekk.