Beragam Alasan China Menertibkan Raksasa Teknologi di Negaranya
Beijing telah mengumumkan akan mengawasi lebih ketat perusahaan-perusahaan yang menawarkan saham di luar negeri. Beijing juga akan mengelola lebih ketat aliran data ke luar negeri.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
Secara global, nilai perusahaan-perusahaan teknologi China terpangkas hingga 823 miliar dollar AS sepanjang tahun 2021. Sikap keras Beijing pada perusahaan-perusahaan itu menjadi salah satu pemicunya.
Selama beberapa waktu terakhir, Beijing menertibkan berbagai raksasa teknologi. Alibaba, Meituan, ByteDance, hingga Didi jadi sasaran penertiban itu.
Alibaba dan sejumlah perusahaan lain lebih dulu diperiksa dan didenda total miliaran dollar AS. Denda terbesar dijatuhkan pada Alibaba dan AntGroup, hampir 3 miliar dollar AS. Mereka dituding melanggar aturan soal monopoli.
Pemeriksaan terbaru ditujukan kepada Didi, perusahaan pengelola aplikasi transportasi yang mirip Gojek di Indonesia. Pengumuman pemeriksaan oleh Cyberspace Administration of China (CAC) pada Didi diungkap beberapa saat selepas perusahaan itu menawarkan saham di Amerika Serikat.
Pengumuman CAC membuat nilai Didi terpangkas hingga 22 miliar dollar AS. Kini, nilai perusahaan itu ditaksir pada rentang 45 miliar dollar AS hingga 46 miliar dollar AS.
Direktur Riset Aequitas, Sumeet Singh, menyebut ada faktor keraguan investor atas tata kelola Didi pada kemerosotan nilai pasarnya. “Beberapa sumber menyebut, Didi sudah berbulan-bulan tahu soal penertiban itu. Jika pemberangusan itu sudah direncanakan berbulan-bulan, jelas tidak akan selesai dalam waktu dekat,” ujarnya.
CAC tidak hanya mengumumkan pemeriksaan terhadap Didi. CAC memerintahkan aplikasi itu dihapus dari pusat unduhan di ponsel-ponsel. Perintah itu sama saja membuat Didi tidak bisa menambah pasarnya.
Penyebab perintah itu adalah Didi diduga secara serampangan mengumpulkan data penggunanya. Didi, seperti juga Alibaba dan perusahaan lain yang diperiksa Beijing, diduga menerapkan praktik monopoli. Praktik itu mematikan perkembangan usaha dan tidak menerapkan keadilan bagi pelaku pasar.
Alasan pemeriksaan
Sejumlah analis meragukan alasan resmi yang diajukan Beijing soal pemeriksaan. Mereka menuding, Beijing khawatir kehilangan kendali terhadap perusahaan-perusahaan yang menawarkan saham di luar negeri. Sebab, penawaran itu berarti harus diikuti dengan kepatuhan pada hukum di lokasi penjualan saham.
“Partai tidak mau ada yang di luar kendali mereka,” kata Kendra Schaefer dari lembaga konsultan Trivium China, merujuk pada Partai Komunis China.
Perusahaan yang menawarkan saham di luar negeri pasti sudah mengantongi izin dari Beijing. Jika ada pemeriksaan selepas penawaran, pasti ada masalah di seputar restu dari Beijing.
Sementara analis lain menyebut, kekhawatiran Beijing soal data pengguna aplikasi memang beralasan. Sebab, raksasa teknologi China memang mengumpulkan banyak data pribadi dari jutaan penggunanya. “Semua (sasaran pemberangusan) terkait data,” kata Hong Hao dari Bocom International, perusahaan layanan jasa keuangan.
Beijing memang telah mengumumkan akan mengawasi lebih ketat perusahaan yang menawarkan saham di luar negeri. Beijing juga akan mengelola lebih ketat aliran data ke luar negeri. Soal data menjadi salah satu tawaran raksasa teknologi kepada investor asing. Aturan baru yang disusun Beijing akan memberi otoritas melarang perusahaan menawarkan saham di luar negeri.
Rangkaian pemberangusan juga menjadi penanda akhir era pertumbuhan tanpa aturan di kalangan raksasa internet China. Pakar dari Zhejiang University, Fang Xingdong, menyebut bahwa ke depan perusahaan harus memastikan mereka patuh pada aturan.
Pertumbuhan drastis raksasa China memang menjadi perhatian. Ming Liao dari Prospect Avenue Capital dan Max Luo dari UBS Asset Management menyebut, raksasa teknologi China tumbuh terlalu cepat.
“Beberapa tahun ini, perusahaan bisa tumbuh sampai 50 persen per tahun. Sekarang, mungkin akan di bawah 30 persen karena aturan lebih ketat. Jika perusahaan tidak sedang diselidiki, tidak berarti tidak akan diselidiki di masa depan (karena tidak patuh),” kata Max Luo.
Ming mengatakan, kini pertanyaan kepada setiap perusahaan adalah apakah perusahaan itu patuh pada aturan. “Jika ada masalah soal kepatuhan, pertanyaan lain menjadi tidak berguna,” ujarnya.
Ming merujuk pada fakta bahwa perusahaan yang dinilai tidak patuh akan menjadi sasaran penertiban. Jika menjadi sasaran, nilai perusahaan akan anjlok, dan investor tidak mau modal mereka terpangkas drastis dalam situasi seperti itu.
Meski banyak penindakan, bukan berarti perusahaan teknologi China akan berakhir. “Wacana itu (akhir perusahaan teknologi China) terlalu berlebihan. Mungkin akan turun beberapa waktu. Sebagian investor justru akan tenang jika tahu bahwa penawaran saham dapat restu dari otoritas,” kata Dave Wang, dari Nuvest Capital. (AFP/REUTERS)