Amankan Bandara Kabul dari Serangan Taliban, Sistem Antirudal Dipasang
Bandara Kabul yang menjadi pintu masuk dan ke luar Afghanistan, kini diperkuat dengan sistem pertahanan udara. Penguatan itu menyusul penguasaan wilayah Afghanistan oleh Taliban yang semakin luas.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
AFP/JAVED TANVEER
Personel keamanan Afghanistan berjaga di sepanjang jalan di tengah pertempuran yang sedang berlangsung antara pasukan keamanan Afghanistan dan pejuang Taliban di Kandahar pada 9 Juli 2021.
KABUL, SENIN — Otoritas keamanan Afghanistan dibantu oleh pasukan Amerika Serikat dan NATO berupaya memperkuat sistem pertahanan di kota Kabul, ibu kota Afghanistan. Minggu (11/7/2021), otoritas keamanan Afghanistan memasang sistem anti-rudal di Bandar Udara Kabul untuk membantu pengamanan jalur masuk dan ke luar bagi diplomat asing dan pekerja kemanusiaan.
Kementerian Dalam Negeri Afghanistan dalam sebuah pernyataan menyebutkan, sistem pertahanan udara yang baru telah dipasang dan telah beroperasi sejak Minggu (11/7/2021) pukul 02.00 dini hari. Peralatan tersebut memiliki kemampuan menangkis serangan roket dan rudal.
Juru bicara pasukan keamanan Afghanistan, Ajmal Omar Shinwari, menyebutkan, untuk saat ini, operasional sistem pertahanan itu masih dibantu oleh pihak yang disebutkan sebagai teman-teman asing. ”Sistem itu memiliki teknologi yang sangat rumit. Kami masih mencoba membangun kapasitas untuk bisa mengoperasikannya,” kata Shinwari.
Sistem pertahanan udara yang dipasang di Bandara Kabul adalah sistem pertahanan udara counter rocket, artillery, and mortar system (C-RAM) untuk menghadang roket yang diarahkan ke lokasi. Sistem ini juga merupakan sistem pertahanan yang sama yang digunakan oleh militer Amerika Serikat (AS) untuk melindungi seluruh pangkalan militernya di Afghanistan.
Selain sistem penangkis dan pengecoh serangan, sistem ini juga memberikan peringatan dini pada pasukan untuk bersiaga terhadap kemungkinan serangan yang lebih masif.
Wapres Kalla saat tiba di Bandara Internasional Hamid Karzai, Kabul, Afghanistan, Selasa (27/2), saat mengawali kunjungan kerja selama tiga hari.
Seorang pejabat keamanan asing, yang berbicara dengan syarat anonim, mengatakan, Taliban tidak memiliki kapasitas terorganisasi. Namun, serangan-serangannya menunjukkan bahwa mereka mampu meluncurkan roket yang telah dimodifikasi dari kendaraan dan menciptakan kepanikan, terutama jika serangan itu ditujukan ke bandara.
Pasukan pemerintah yang pada awalnya membantu pengamanan di wilayah perdesaan untuk mencegah kontrol Taliban tidak mampu berbuat banyak ketika kelompok ini secara teratur menyerang basis pertahanan mereka dengan roket dan mortir sepanjang 2020. Hal yang sama juga dilakukan oleh anggota Negara Islam Irak dan Suriah yang ada di Afghanistan.
Kesalahan strategi
Keberhasilan Kelompok Taliban menguasai lebih dari separuh distrik yang ada di Afghanistan membuat situasi keamanan di negara itu semakin tidak menentu. Pada saat yang sama, perundingan antara Pemerintah Afghanistan dan Taliban yang diharapkan bisa membuahkan kesepakatan yang lebih menjanjikan bagi masa depan perdamaian tidak jelas nasibnya.
Penguasaan wilayah Afghanistan yang lebih luas oleh Kelompok Taliban dianggap sebagai kesalahan strategi, baik oleh AS dan pasukan koalisi serta di dalam pemerintahan Afghanistan sendiri. AS dianggap tidak bertanggung jawab karena dinilai terlalu cepat meninggalkan Afghanistan, terutama setelah nota kesepakatan damai akhir Februari 2020 lalu. Akibatnya, militer Afghanistan tidak siap secara logistik.
Ata Mohammad Noor, mantan panglima perang Pemerintah Afghanistan yang kini tinggal di wilayah Mazar-e-Sharif, kota utama di Afhanistan bagian utara, mengatakan, ketidakmampuan militer Afghanistan untuk mengorganisasi diri dalam bertempur menghadapi Taliban menyebabkan banyak distrik jatuh dengan mudah ke tangan kelompok tersebut. Noor mencontohkan di Badakhshan. ”Dalam 24 jam, 19 distrik menyerah tanpa perlawanan,” kata Noor.
AP/RAHMAT GUL
Tentara Afghanistan berjaga-jaga setelah militer AS meninggalkan Pangkalan Udara Bagram.
Di lapangan, menurut Noor, anggota Taliban tidak terlampau besar dibandingkan dengan jumlah militer pemerintah. Bahkan, sebenarnya terlalu sedikit untuk bisa merebut sebuah distrik dari penguasaan pemerintah. Namun, militer pemerintah memilih menyerah. Lantas, mereka menyerahkan senjatanya dan pergi meninggalkan wilayah begitu saja.
Laporan dan foto yang dibagikan secara luas di media sosial menunjukkan beberapa pejabat pemerintah di ibu kota Provinsi Faizabad menaiki salah satu penerbangan komersial terakhir ke Kabul. Ibu Kota Afghanistan tetap berada di tangan pemerintah.
Noor, yang kini telah berusia 57 tahun adalah panglima terkuat di wilayah utara, memimpin milisi pribadi dengan ribuan pejuang dan pernah menjadi gubernur provinsi Balkh, di mana Mazar-e-Sharif adalah ibu kotanya. Meski tidak menjabat lagi, dia masih dihormati. Secara faktual, dia pula yang menjalankan kekuasaan di provinsi tersebut. Sebagai kepala Jamiat-e-Islami, salah satu partai terkuat di Afghanistan, ia memiliki pengaruh di utara.
Noor mengkritik keras kepemimpinan Afghanistan yang terpecah. Dalam pandangannya, pemerintah membiarkan militer Afghanistan bertempur sendiri tanpa pasokan logistik yang memadai, mulai dari bahan makanan hingga gaji yang tidak menentu. Dia menyatakan telah mengingatkan hal itu berulang-ulang untuk menaikkan moral pasukan. ”Namun, mereka tidak mendengarkan,” ujarnya.
Persoalan lapangan yang dihadapi militer pemerintah Afghanistan, menurut Noor, tidak hanya masalah sistem komando, tetapi juga nihilnya strategi dan pembagian kerja yang jelas. Misalnya, unit komando elit terlalu banyak dan sering diturunkan, termasuk mengirim mereka ke medan tempur tanpa persiapan yang memadai. Bahkan, tidak jarang, unit elit tidak mendapatkan istirahat layak.
Jatuhnya distrik demi distrik dan kelelahan yang melanda unit elite militer Afghanistan membuat munculnya desakan untuk membentuk milisi sipik sebagaimana diserukan Noor. Kehadiran milisi sipil diharapkan meningkatkan moral tentara yang kini sedang jatuh.
Meski begitu, dia mengakui bahaya keberadaan milisi sipil.
AFP
Para tokoh masyarakat, tokoh agama, dan politisi di Afghanistan menghadiri hari pertama Loya Jirga (Majelis Agung) di Kabul, Afghanistan, Senin (29/4/2019). Mereka membahas isu perang dan langkah AS mengupayakan perdamaian dengan kelompok Taliban.
”Ada kemungkinan nyata terjadinya perang saudara. Ini adalah kemungkinan yang sangat berbahaya,” katanya. Ini bisa terjadi karena adanya kepentingan eksternal yang menggunakan faksi-faksi di Afghanistan untuk mewujudkan kepentingan mereka. Kepentingan eksternal yang dimaksud adalah kepentingan negara-negara tetangga Afghanistan, yakni Pakistan, Iran, Rusia dan India.
Potensi itu disadari banyak pihak, termasuk Pemerintah Pakistan. Utusan Pakistan untuk Afghanistan, Mansoor Ahmad Khan, mendesak dunia internasional untuk membantu memperkuat pasukan pemerintah.
”Jika situasi terus memburuk dan memburuk di Afghanistan, tentu saja, akan ada tantangan dalam hal keamanan di dalam Afghanistan,” kata Khan.
Sementara itu, Kabul mendesak negara-negara Eropa untuk menghentikan deportasi migran Afghanistan selama tiga bulan ke depan mengingat gelombang kekerasan. (AP/AFP)