Peristiwa pembunuhan Presiden Haiti, Jovenel Moise, memantik kembali pembicaraan tentang tentara bayaran. Fenomena lama yang sudah menjadi bisnis lintas negara itu menyimpan banyak dimensi.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
Presiden Haiti Jovenel Moise dibunuh di kediamannya di Port-au-Prince, Rabu (7/7/2021) dini hari waktu setempat. Istrinya menderita luka parah dan saat ini dirawat di rumah sakit di Miami, Florida, Amerika Serikat (AS). Keduanya diberondong timah panas oleh komplotan pembunuh.
Pihak kepolisian sejauh ini telah menangkap 28 tersangka yang diidentifikasi sebagai tentara bayaran. Sebanyak 17 orang di antaranya adalah bekas tentara Kolombia. Selebihnya adalah warga negara AS.
Tentara bayaran adalah praktik lazim yang sudah lama berlangsung di dunia internasional. Jasanya selama ini dimanfaatkan, antara lain, untuk menjaga lokasi tambang, perbatasan negara, dan penjara. Bahkan, tak sedikit tentara bayaran digunakan untuk mengawal misi kemanusiaan. Namun, ada pula yang dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok tertentu guna menangkap atau membunuh seseorang yang menjadi target, sebagaimana terjadi pada Presiden Haiti Jovenel Moise.
Kolombia menjadi salah satu negara di Amerika Selatan yang banyak memasok tentara bayaran. Mereka umumnya adalah bekas tentara.
Tentara Kolombia dikenal sangat terlatih. Mereka telah berpuluh-puluh tahun berperang melawan pemberontak terbesar, Pasukan Revolusioner Bersenjata Kolombia– Tentara Rakyat (FARC-EP atau FARC). Operasi FARC didanai oleh aktivitas ilegal, seperti penculikan dengan tebusan, pertambangan ilegal, pungutan liar, dan aktivitas penyalahgunaan narkoba.
Selain melawan gerilyawan FARC, tentara Kolombia juga membantu polisi memerangi mafia yang mendanai operasi FARC. Meski sudah ada perjanjian gencatan senjata pada Juni 2016, pelanggaran di lapangan jamak terjadi setiap hari.
Sebagian tentara Kolombia yang sangat terlatih dan terbisa berperang itu sering pensiun dini di usia produktif, yakni di usia sekitar 40 tahun. Kelompok tentara ini umumnya dari unit elite kontraterorisme. Dengan bekal uang pensiun yang rendah, mereka dibiarkan tanpa tujuan dan tak tahu pekerjaan apa yang sesuai dengan pengalaman lapangan mereka.
Dalam situasi seperti itu, mereka sering tergoda oleh peluang untuk melakukan perdagangan ilegal. Ada juga mantan atau pensiunan tentara yang lebih suka menerima tawaran dari luar negeri, dengan bayaran besar, sebagai penjaga keamanan aset perusahaan-perusahaan swasta di Irak, Suriah, Yaman, atau Libya.
Konflik internal di Kolombia selama hampir 60 tahun, yakni melawan kelompok pemberontak FARC, telah menjadikan negara di Amerika Selatan itu tempat pelatihan yang produktif bagi tentara. Pemberontakan FARC dimulai pada 1964 atau hampir enam dekade silam. Bagi pihak yang ingin menyewa tentara bayaran, Kolombia adalah negara dengan sumber daya melimpah dan andal.
”Perekrutan (mantan) tentara Kolombia untuk pergi ke bagian lain dunia sebagai tentara bayaran adalah masalah yang sudah ada sejak lama. Hal itu karena tidak ada undang-undang yang melarangnya,” kata Komandan Angkatan Darat Kolombia Jenderal Luis Fernando Navarro kepada wartawan.
Uni Emirat Arab (UEA) telah menjadi salah satu klien penting bagi tentara bayaran asal Kolombia. Negara Arab ini mengerahkan mereka untuk memerangi pemberontak Houthi yang didukung Iran di Yaman. Ada pula tentara bayaran asal Kolombia di Dubai.
Sean McFate, peneliti senior di Atlantic Council sekaligus pakar strategi di Universitas Pertahanan Nasional dan Sekolah Layanan Luar Negeri Universitas Georgetown, AS, mengatakan, tentara bayaran asal Kolombia itu dalam menjalankan misinya acap kali bergabung dengan tentara bayaran dari negara lain. Dalam perang di Timur Tengah, misalnya, mereka bergabung dengan rekannya dari Panama, El Salvador, dan Chile.
McFate dalam laporannya pada 2019 menyebutkan, tentara bayaran asal Amerika Latin sering menjadi bagian dari misi yang dilakukan tentara AS atau Inggris. Mereka melakukannya dengan imbalan upah hingga empat kali gaji lama mereka.
”Tentara Kolombia sering direkrut sebagai tentara bayaran karena semua pengalaman mereka. Hal itu memalukan karena kami melatih mereka untuk hal-hal lain,” kata Panglima Angkatan Bersenjata Kolombia Jenderal Eduardo Zapateiro.
Sumber militer menyebutkan, bekas tentara Kolombia dengan pengalaman memerangi pemberontakan dan terorisme perkotaan menjadi sasaran empuk perekrutan. Begitu juga dengan bekas tentara Kolombia yang telah menerima pelatihan di negara-negara seperti AS dan Israel.
Di Kolombia, semua pemuda harus menjalani wajib militer selama satu tahun pada dinas militer atau kepolisian nasional. Menjadi tentara adalah salah satu dari sedikit pekerjaan formal bagi mereka yang berasal dari keluarga miskin, terutama di perdesaan yang dilanda konflik.
Pekerjaan itu menghasilkan gaji kecil, berbahaya, dan membuat mereka jauh dari orang yang dicintai. Sudah begitu, berbagai pihak sering mencurigai mereka, terutama di tempat-tempat di mana tentara dituduh melanggar hak asasi manusia (HAM). Bahkan, kadang-kadang, mereka dihukum karena dianggap melanggar HAM.
McFate mengatakan, terdapat banyak perusahaan penyedia jasa tentara bayaran di AS. Namun, Blackwater tetap menjadi kontraktor militer swasta AS paling terkenal. Sejumlah mantan tentara di negara lain sekarang meniru bisnis para penyedia jasa tentara bayaran di AS tersebut.
”Setiap hari kelompok militer swasta baru muncul dari negara-negara seperti Rusia, Uganda, Irak, Afghanistan, dan Kolombia. Layanan mereka lebih kuat daripada Blackwater, menawarkan kekuatan tempur yang lebih besar, dan kemauan untuk bekerja demi penawar tertinggi dengan sedikit memperhatikan hak asasi manusia. Mereka adalah tentara bayaran dalam arti kata sesungguhnya,” kata McFate. (REUTERS/AFP/CAL)