Kesal Diblokir, Trump Gugat Facebook, Twitter, dan Google
Presiden Amerika Serikat periode 2017-2021, Donald Trump, menggugat Facebook Inc, Twitter Inc, dan Google Inc atas tuduhan pemberangusan kebebasan pendapat.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
BEDMINSTER, JUMAT — Presiden Amerika Serikat periode 2017-2021, Donald Trump, menggugat tiga raksasa digital, yakni Facebook Inc, Twitter Inc, dan Google Inc, atas tuduhan pemberangusan kebebasan pendapat. Namun para pakar hukum negara tersebut meragukan gugatan itu bisa menang di pengadilan karena menurut mereka Trump salah memahami Undang-Undang Dasar Amerika Serikat.
”Ini bukan gugatan pribadi, melainkan gugatan perwakilan kelompok (class action) dan saya adalah kepala perwakilannya,” kata Trump dari retret golfnya di Bedminster, New Jersey, Rabu (7/6/2021) siang waktu setempat.
Trump didukung America First Policy Institute yang mengatakan bahwa ada ratusan orang korban pemblokiran oleh perusahaan-perusahaan media sosial tersebut. Belum ada keterangan jumlah persisnya orang-orang yang masuk dalam gugatan kelompok ini.
Para tergugat mencakup Direktur Utama Facebook Inc Mark Zuckerberg, Direktur Utama Google Inc Sundar Pichai, dan Direktur Utama Twitter Inc Jack Dorsey. Tuduhan terhadap mereka ialah melakukan pemberangusan kebebasan berekspresi terhadap Trump serta anggota kelompok penggugat.
Pada 7 Januari lalu, Facebook membekukan akun milik Trump selama dua tahun ke depan. Alasannya, Trump dinilai memprovokasi massa yang merangsek ke dalam Gedung Capitol di Washington sehingga menyebabkan kerusakan. Massa tidak terima dengan kemenangan Joe Biden yang mengalahkan Trump dalam pemilihan umum presiden 2020. Mereka menuduh ada kecurangan.
Tidak lama sesudah itu, Twitter mengumumkan menghapus akun Trump untuk selamanya. Google melalui laman Youtube juga menghapus semua video Trump, termasuk ketika ia berpidato ataupun memberikan keterangan pers mengenai penanganan pandemi Covid-19. Alasan penghapusan itu antara lain karena unggahan Trump berisiko memunculkan kekerasan di masyarakat, fitnah, dan tidak sesuai dengan aturan bermedia sosial.
”Kami tidak meminta ganti rugi karena kami yakin akan menang,” ujar Trump yang tengah menyusun kampanye guna mengikuti pilpres 2024.
Gugatan dimasukkan kepada Pengadilan Negeri Miami di Florida. Pengadilan itu harus memutuskan menerima gugatan itu atau tidak sekaligus memutuskan apakah gugatan itu merupakan wujud gugatan kelompok.
Sejumlah pakar hukum mengatakan kecil kemungkinan gugatan itu diterima di pengadilan, apalagi menang. Menurut mereka, justru Trump yang salah memahami Undang-Undang Dasar (Amandemen) AS. Di Pasal 1 memang dinyatakan bahwa semua rakyat AS memiliki kebebasan berpendapat.
”Akan tetapi, kebebasan ini dibatasi ketika seseorang merupakan pejabat publik atau pegawai pemerintahan,” kata pakar hukum dari Universitas Santa Clara, Eric Goldman. Unggahan-unggahan Trump yang diblokir di media sosial semuanya dari ketika ia menjabat sebagai presiden.
Faktor kedua ialah tuduhan Trump bahwa perusahaan media sosial tebang pilih terhadap orang-orang yang berpandangan politik sama dengannya juga keliru. Buktinya, akun milik pengamat politik beraliran konservatif Ben Shapiro dan tokoh agama fundamentalis Franklin Graham tidak dipermasalahkan.
Selain itu, AS juga memiliki Undang-Undang Tata Komunikasi 1996. Di Pasal 230 tertera bahwa setiap perusahaan diizinkan memoderasi semua konten sebelum ditampilkan. Apabila konten tidak sesuai dengan nilai serta norma di masyarakat, berisiko membahayakan publik, atau bertolak belakang dengan aturan yang diterapkan perusahaan tersebut, perusahaan boleh tidak menerbitkan atau menghapusnya.
”Berdasarkan aturan tersebut, Facebook, Google, dan Twitter tidak bersalah karena menjalankan hak mereka,” kata Ketua Asosiasi Industri Komputer dan Komunikasi (CCIA) Matt Schuers. (AP/AFP/REUTERS/DNE)