28 Warga Negara Kolombia dan AS Diduga Pembunuh Presiden Haiti
Kepolisan Haiti mengidentifikasi kelompok terduga pembunuh Presiden Moise. Pembunuhan presiden mempertegas buruknya situasi keamanan dan krisis politik di Haiti.
Oleh
Fransisca Romana Ninik
·4 menit baca
PORT-AU-PRINCE, KAMIS — Kepolisian Haiti menyatakan, kelompok yang terdiri atas 28 warga negara Kolombia dan Amerika Serikat membunuh Presiden Jovenel Moise. Polisi masih memburu delapan orang lainnya dan berupaya mengungkap dalang pembunuhan.
”Sebuah tim terdiri atas 28 orang, 26 orang dari Kolombia, yang melakukan operasi pembunuhan presiden. Kami telah menangkap 15 orang Kolombia dan dua orang Amerika Serikat keturunan Haiti. Tiga orang tewas, sementara delapan orang lainnya masih dalam pelarian,” kata Kepala Kepolisian Nasional Haiti Leon Charles, Kamis (8/7/2021).
Presiden Moise dibunuh, Rabu, di kediamannya. Istrinya, Martine, terluka dan dilarikan ke rumah sakit. Dia lalu dipindahkan ke Miami, AS, untuk perawatan lebih lanjut. Putri mereka, Jomarlie, bersembunyi di kamar tidur saudaranya saat penyerangan terjadi. Seorang asisten rumah tangga dan pekerja lainnya diikat oleh para penyerang.
”Kami akan mengadili mereka,” kata Charles. Ke-17 terduga pelaku duduk di lantai dengan tangan diborgol saat konferensi pers.
Taiwan mengonfirmasi bahwa 11 tersangka pelaku ditangkap di kantor perwakilannya setelah petugas keamanan menemukan sekelompok orang bersenjata mendobrak halaman kantor yang ditutup setelah pembunuhan Moise. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Taiwan Joanne Ou mengatakan, Kedutaan Taiwan memberikan izin kepada polisi Haiti untuk masuk dan menangkap para tersangka.
Menteri Pertahanan Kolombia Diego Molano mengatakan, setidaknya enam dari terduga pelaku pembunuhan tampaknya merupakan mantan tentara Kolombia. Identitas mereka tidak diungkapkan. Kepala Kepolisian Nasional Kolombia Jenderal Jorge Luis Bargas Valencia mengatakan, Presiden Ivan Duque telah memerintahkan jajaran militer dan kepolisian Kolombia untuk bekerja sama dalam investigasi Pemerintah Haiti.
”Sebuah tim beranggotakan penyelidik terbaik telah dibentuk. Mereka akan mengirimkan tanggal, waktu penerbangan, dan informasi finansial yang sudah dikumpulkan untuk dikirim ke Port-au-Prince,” kata Vargas.
Kementerian Luar Negeri AS tidak dapat mengonfirmasi bahwa warga negaranya ditangkap. Duta Besar Haiti untuk AS Bocchit Edmond mengatakan, para pembunuh adalah tentara bayaran profesional yang menyamar sebagai agen Badan Pengawas Obat-obatan AS (DEA).
Juru bicara Kemlu AS, Ned Price, mengatakan, Haiti telah meminta bantuan AS untuk menginvestigasi kasus ini. ”Kami menerima permintaan Kepolisian Nasional Haiti untuk bantuan investigasi dan AS sedang menjawab,” kata Price kepada wartawan.
Warga AS keturunan Haiti yang diduga sebagai pelaku diidentifikasi sebagai James Solages (35) dan Joseph Vincent (55), menurut dokumen yang dibagikan Menteri Pemilihan Umum Haiti Mathias Pierre, seperti dikutip Associated Press. Solages menyebut dirinya sebagai agen diplomat bersertifikat, pengacara untuk anak-anak, dan politisi pemula dalam sebuah laman amal yang didirikannya tahun 2019 di Florida selatan untuk membantu warga Jacmel, kota pesisir di Haiti. Disebutkan di laman itu, Solages sebelumnya bekerja sebagai pengawal di Kedutaan Kanada di Haiti.
Gagal melindungi
Di Port-au-Prince, suasana pada Jumat (9/7) masih tegang. Pertokoan, bank, dan stasiun pengisian bahan bakar tutup. Bandara utama Haiti masih tutup, tetapi akan dibuka kembali pada Jumat.
Warga juga dihantui pertanyaan tentang bagaimana bisa Presiden Moise dibunuh dan mengapa para pengawal gagal melindunginya. Banyak pihak bertanya-tanya bagaimana para penyerang bisa menembus kediaman Moise, sistem keamanan, dan melarikan diri tanpa terluka, tetapi kemudian tertangkap tanpa pelarian diri yang sukses. Jaksa memiliki pertanyaan serupa.
”Saya telah memberikan wewenang kepada kepolisian untuk menginterogasi seluruh petugas keamanan yang dekat dengan Presiden Moise. Jika kamu bertanggung jawab pada keamanan presiden, ada di mana kamu? Apa yang kamu lakukan untuk mengindarkan nasib ini atas presiden,” kata anggota komisi pemerintahan, Bed-Ford Claude.
Marco Destin, warga Port-au-Prince, terpaksa berjalan kaki untuk menemui keluarganya karena transportasi umum belum beroperasi. Dia membawa roti untuk keluarganya karena tidak ada yang berani keluar rumah sejak pembunuhan presiden. Mereka juga khawatir atas hidup mereka.
”Semua orang di rumah tidur dengan satu mata terbuka dan satu mata tertutup. Jika kepala negara saja tidak terlindungi, apalagi saya, tidak memiliki perlindungan apa pun,” katanya.
Suara tembakan sesekali terdengar menyalak di sekitar Port-au-Prince setelah pembunuhan Moise. Tembakan itu mengingatkan akan kekuatan geng bersenjata yang mulai meningkat dan menyasar warga.
Perdana menteri sementara Haiti, Claude Joseph, menyatakan tahap pengepungan nasional dan mengambil alih tanggung jawab. Namun, pernyataan diri Joseph itu justru mempertegas krisis politik yang melanda Haiti sepeninggal Moise.
Joseph hanya menjabat sebagai perdana menteri selama tiga bulan. Dia seharusnya turun dari jabatannya beberapa hari setelah Moise mengumumkan penggantian perdana menteri, Senin pekan depan.
Pengganti Joseph, Ariel Henry, mengatakan, Joseph bukan lagi perdana menteri. ”Apakah mungkin sebuah negara punya beberapa perdana menteri?” ujar Henry.
Moise berkuasa di Haiti berdasarkan dekrit setelah pemilihan legislatif pada 2018 ditunda. Haiti berencana menggelar referendum pada September, begitu juga dengan pemilihan presiden, legislatif, dan kepala daerah.
Moise, pengusaha sukses, disumpah sebagai presiden pada Februari 2017. Akhir masa jabatannya menjadi bahan perdebatan lantaran Moise menyebutkan jabatannya berlanjut hingga Februari 2022, tetapi pihak lain mengatakan pada Februari 2021. Perdebatan muncul karena kemenangan Moise pada pemilu 2015 dibatalkan atas dasar kecurangan. Akan tetapi, dia terpilih lagi pada November 2016. (AP/AFP/REUTERS)