Kebangkitan Milisi Sipil di Afghanistan
Bersamaan dengan pengumuman bahwa lebih dari 90 persen pasukan Amerika Serikat dan koalisinya telah ditarik dari Afghanistan, penguasaan wilayah utara negara itu oleh kelompok Taliban semakin membesar.

Para anggota milis bergabung dengan pasukan keamanan dan pertahanan Afghanistan dalam sebuah kumpulan di Kabul, Afghanistan, 23 Juni 2021.
Sebanyak 1.000 anggota pasukan keamanan Afghanistan melarikan diri, menyeberang ke negara tetangga, memaksa Presiden Tajikistan Emomali Rahmon memobilisasi 20.000 anggota pasukan cadangan untuk memperkuat penjagaan perbatasan dengan Afghanistan.
Pemerintah Turki dan Rusia dilaporkan telah menutup kantor konsulat mereka di Mazar-e-Sharif, ibu kota Provinsi Balkh di utara dan kota keempat terbesar di Afghanistan. Konsulat Uzbekistan, Tajikistan, India, dan Pakistan dilaporkan telah mengurangi layanan mereka. Hal yang sama dilakukan Pemerintah Iran.
Baca juga: Lebih dari 1.000 Tentara Afghanistan Kabur ke Tajikistan
Penaklukan demi penaklukan yang dilakukan Taliban membuat pemerintahan Presiden Ashraf Ghani mengambil kebijakan drastis. Dia meluncurkan gerakan Mobilisasi Nasional, gerakan militerisasi sipil dengan cara mempersenjatai warga, membantu pasukan pemerintah menghadapi Taliban. Dia juga menunjuk mantan panglima perang, Bismillah Khan, sebagai menteri pertahanan untuk menghadapi gempuran Taliban.
”Kami membutuhkan mereka. Kami tidak memiliki kepemimpinan, tidak memiliki bantuan,” kata Moman, anggota kepolisian di wilayah Koh Daman, utara kota Kabul, pekan ketiga Juni lalu. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, puluhan warga desa mendapatkan bantuan senjata, mulai dari senapan mesin otomatis, granat, hingga peluncur roket, dari pemerintah.

Pasukan milisi di Afghanistan berjaga di sebuah pos pemeriksaan dalam patroli untuk menghadapi kelompok Taliban di area Tange Farkhar, Taloqan, Provinsi Takhar, Afghanistan utara, Selasa (6/7/2021).

Tidak lama setelah mendapatkan pengarahan, mereka berteriak, menyemangati diri dan sesamanya. ”Kematian bagi penjahat!” dan ”Matilah Taliban” adalah dua contoh yel-yel yang bisa didengar Moman dan beberapa warga lain yang melihat dari kejauhan.
Mobilisasi warga
Sejak beberapa bulan terakhir, hampir di setiap provinsi berlangsung mobilisasi warga untuk membantu pasukan pemerintah menghadapi Taliban. Seperti dilaporkan laman Radio Free Europe, di Provinsi Uruzgan, Parwan, dan Kapisa, warga mulai melengkapi dirinya dengan senjata standar militer serta berbagai perlengkapan tempur lainnya.
Sher Mohammad Afghanzai, seorang warga, mengungkapkan situasi dan kondisi negara sudah sangat kritis. Sudah saatnya bagi dirinya dan warga membantu pemerintah menghadapi kelompok pemberontak. ”Kami menginginkan perdamaian. Ini cara agar perdamaian tercipta di negeri ini. Kami harus mempertahankan tanah air kami,” katanya.
Baca juga: Petugas Imunisasi Polio di Afghanistan Tewas Ditembak Kelompok Bersenjata
Di Kapisa juga terjadi gerakan yang sama. Puluhan hingga ratusan warga, khususnya laki-laki, mulai mengeluarkan persenjataan yang mereka miliki untuk membantu pasukan pemerintah yang kewalahan menghadapi serangan Taliban.
Mohammed Yosef Mayel, warga Kapisa, mengatakan, dulu mereka tidak ikut bertempur karena yakin dengan kemampuan pasukan pemerintah yang didukung pasukan koalisi dan pasukan AS. Namun, kini kondisinya sudah berbeda. ”Pasukan pemerintah terlihat memiliki kelemahan. Kami harus berada di samping mereka dan membantu mereka sekarang,” ujarnya.

Para petempur kelompok Taliban meletakkan senjata mereka saat mereka bergabung dengan Pemerintah Afghanistan dalam sebuah upacara di Herat, 24 Juni 2021.
Mobilisisasi warga juga terjadi di beberapa provinsi lain, seperti Herat dan Daikundi. Di Herat, mantan panglima perang Ismail Khan sudah unjuk gigi, memperlihatkan ratusan anggota pasukannya dengan persenjataan lengkap sejak April lalu.
Hal yang sama juga diperlihatkan kelompok minoritas Hazara di Provinsi Daikundi. Ratusan anggota milisi bersenjata telah melengkapi dirinya dengan senjata AK-47 buatan Uni Soviet untuk menghadapi Taliban. Milisi sipil di provinsi ini dipimpin Mohammad Ali Shadaqat, yang kenyang dengan pengalaman tempur saat Uni Soviet berkuasa di Afghanistan.
Baca juga : Ribuan Anggota Taliban Pakistan Bersembunyi di Afghanistan
Zulfikar Omid, aktivis di provinsi itu, mengatakan, sebagai etnis minoritas di Afghanistan, mereka merasa tak aman dengan kondisi sekarang ini. Pascakesepakatan damai antara Taliban dan AS, kondisi mereka semakin tidak menentu. Semua serba tidak jelas. ”Kami merasa tidak aman,” kata Omid, dikutip dari laman RFE.
Kemunculan warga sipil yang dipersenjatai dan juga para panglima perang veteran tidak terlepas dari kondisi keamanan Afghanistan yang semakin memburuk. Catatan Misi Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Afghanistan yang diluncurkan pada pertengahan Juni lalu mencatat, antara 12 Februari dan 15 Mei 2021 terdapat 6.827 kekerasan bersenjata di negara ini. Angka ini naik hampir 27 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Kabul menunggu waktu
Deborah Lyons, Kepala Misi PBB untuk Afghanistan (UNAMA), dalam laporannya menyebutkan, sejak awal Mei, ketika Presiden AS Joe Biden mengambil keputusan untuk menarik seluruh pasukan dari Afghanistan, Taliban mulai melakukan serangan besar-besaran terhadap wilayah-wilayah yang selama ini dikuasai pemerintah dan berhasil menguasai 50 dari 370-an distrik di negara itu. Bahkan, ada yang meyakini jumlah distrik yang kini dikuasai Taliban lebih dari 100 distrik.
Baca juga: Membuka Kotak Hitam Afghanistan
Yang mengkhawatirkan Lyons adalah distrik-distrik yang dikuasai Taliban itu mengepung ibu kota Afghanistan, Kabul. Dia khawatir, apabila pasukan AS dan koalisi benar-benar angkat kaki, bukan tidak mungkin, Kabul akan segera jatuh ke Taliban. ”Tampaknya, dengan posisi seperti itu, Taliban akan berupaya mengambil alih ibu kota ketika seluruh pasukan AS dan koalisi ditarik,” kata Lyons.

Bandar Udara Militer Kabul, yang menampung helikopter-helikopter, seperti terlihat dari sebuah pesawat komersial, Rabu (7/7/2021).
Lyons mengkhawatirkan serangan demi serangan yang terus dilakukan Taliban dan pasukan pemerintah, ditambah kemunculan milisi sipil, akan menambah buruk situasi kekerasan di Afghanistan. Tidak hanya kekerasan tidak berhenti, kondisi masyarakat yang bertahun-tahun dilanda konflik pun semakin memburuk.
Baca juga: Perdamaian Afghanistan Berisiko Runtuh
Bill Rogio, peneliti senior pada Yayasan Pertahanan Demokrasi yang berbasis di Amerika Serikat, menyebutkan bahwa mempersenjatai warga sipil untuk menghadapi Taliban adalah pengakuan yang sangat jelas atas ketidakmampuan Pemerintah Afghanistan mengatasi konflik dengan Taliban. Hal itu, kata Rogio, tindakan keputusasaan.
”Militer dan polisi Afghanistan telah banyak meninggalkan pos terdepan, pangkalan dan pusat-pusat pemerintahan di distrik-distrik. Sulit membayangkan bahwa milisi yang diorganisasi dengan tergesa-gesa bisa bekerja lebih baik daripada pasukan keamanan, militer dan polisi, yang terorganisasi,” kata Rogio.
Anarki berkepanjangan
Shukria Barakzai, mantan diplomat dan mantan anggota parlemen Afghanistan, dikutip dari laman Foreign Policy, memperkirakan, mempersenjatai rakyat sipil akan berdampak buruk bagi Afghanistan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Kehadiran milisi sipil yang diorganisasi pemerintah dan miiter sama saja dengan menghadirkan angkatan bersenjata ilegal.
”Selain itu, ini akan menjadi bibit konflik baru yang sebenarnya sudah ada antara komandan lokal dan kelompok etnis yang berbeda-beda. Ini akan memperburuk rasa ketidakamanan warga,” kata Barakzai.

Foto yagn diambil pada 28 Maret 2021 memperlihatkan seorang anggota milisi sipil anti-Taliban ”Sangorians” menembakkan senapan mesin saat bertempur dengan kelompok Taliban di wilayah Lashkar Gah, Provinsi Helmand, Afghanistan.
Menurut Enayat Najafizada, salah satu pendiri Institut Perang dan Studi Perdamaian, lembaga pemikir di Kabul, pemerintah dan militer harus belajar dari sejarah kehadiran milisi sipil itu sendiri yang pernah terjadi di Afghanistan. Seusai perang, sesama anggota milisi akan berebut kekuasaan dan akses pada ekonomi dan politik.
Baca juga: Taliban Tawarkan ”Sistem Islam Sejati” untuk Akhiri Masalah Afghanistan
”Apabila tidak diatur dengan baik, di masa depan, kita akan sama-sama melihat konflik yang lebih serius di tingkat lokal. Ini akan menjadi benih konflik dan anarki yang berkepanjangan di Afghanistan. Konflik tidak akan pernah usai,” kata Najafizada.
Abdul Khasani, pegawai pemerintah, mengungkapkan, dirinya tidak melihat adanya harapan stabilitas dan perdamaian di tanah kelahirannya dalam waktu dekat. ”Di Afghanistan, saat Taliban berkuasa, orang-orang menderita. Kini, di bawah pemerintah, rakyat juga tetap susah dan menderita,” ujarnya.
Perdamaian di Afghanistan pun bakal semakin jauh dari negeri itu.