Masyarakat di sejumlah negara rata-rata sudah pernah mengalami masa karantina atau pembatasan sosial, bahkan lebih dari sekali. Inilah cara individu berkontribusi untuk mempercepat pemulihan dunia dari pandemi.
Oleh
Fransisca Romana Ninik
·4 menit baca
Sungguh tidak menyenangkan, kembali memasuki masa karantina darurat alias pembatasan wilayah dan pergerakan yang ketat. Terlebih ketika banyak negara sudah mulai melonggarkan pengetatan, bahkan mendeklarasikan diri ”sebentar lagi bebas dari virus korona”.
Ketika menyaksikan pertandingan Piala Eropa di televisi, sempat tebersit rasa iri. Orang sebanyak itu sudah bisa berkumpul bersama, tanpa masker pula. Sementara kompleks Gelora Bung Karno, tempat warga biasanya berolahraga semasa pandemi, justru ditutup, sesuai dengan aturan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat pada 3-20 Juli.
Presiden Amerika Serikat Joe Biden, saat perayaan hari kemerdekaan AS pada 4 Juli 2021, mengungkapkan, tak lama lagi AS bakal merdeka dari virus yang mematikan. ”Kita sudah semakin unggul dalam melawan virus ini. Tetapi, jangan salah, Covid-19 belum lenyap. Kita tahu varian baru bermunculan, seperti varian Delta,” katanya.
Sejak pandemi melanda pada Maret 2019, AS mencatat korban meninggal hingga lebih dari 600.000 orang. Setelah setahun lebih berjalan, mereka berhasil menekan kasus infeksi Covid-19 lewat berbagai langkah, termasuk karantina wilayah, pembatasan sosial, dan vaksinasi.
Soal vaksinasi, Negara Bagian Vermont di timur laut AS—yang terkenal berkat lelucon tentang Senator Bernie Sanders—menjadi yang pertama mencapai 80 persen penduduk yang divaksinasi. Sampai-sampai Vermont dijuluki tempat teraman di AS, bahkan di dunia. Sebanyak 82 persen penduduk berusia 12 tahun ke atas sudah mendapatkan setidaknya satu dosis vaksin.
Tetangga Indonesia, Malaysia dan Singapura, juga mulai ”berdamai” dengan virus korona. Malaysia mengumumkan telah melonggarkan lockdown alias karantina ketat untuk wilayah dan pergerakan orang di lima negara bagian mulai Senin (5/7/2021). Sejak 1 Juni, Malaysia memberlakukan lockdown nasional dan terus diperpanjang sampai sekarang agar tercapai sesedikit mungkin kasus baru.
Sementara Singapura memperkenalkan metode baru untuk ”hidup berdampingan dengan virus korona”. Selama berbulan-bulan, negara kota itu memberlakukan aturan karantina dan pembatasan sangat ketat untuk membendung laju infeksi Covid-19. Itu pun tidak membuat Singapura lepas dari kasus baru akibat varian Delta, dengan kenaikan kasus lokal berjumlah puluhan.
Namun, seperti dilaporkan Wall Street Journal, dengan 40 persen penduduk telah divaksinasi, Singapura merilis rencana baru, yakni tidak akan lagi melacak setiap kasus dan mengakhiri semua penularan. Covid-19 dianggap penyakit yang tidak semengerikan sebelumnya, hanya seperti flu. ”Berita buruknya, Covid-19 tidak akan benar-benar hilang. Berita baiknya, sangat mungkin untuk hidup normal bersama Covid-19 di tengah kita,” demikian pernyataan pemerintah dalam editorial di The Straits Times.
Penyemangat
Situasi semacam itu bagi masyarakat Indonesia hari-hari ini bisa dibilang masih jauh. Pemberlakuan PPKM darurat diharapkan bisa mendekatkan Indonesia pada capaian negara-negara tersebut.
Saat ini, percakapan di grup pertemanan atau pekerjaan berisi ucapan penyemangat atas rasa sakit, bingung, jenuh, dan frustrasi saat kembali berhadapan dengan pembatasan sosial dan pandemi yang belum jelas kapan berakhir. Secercah kesempatan tatap muka yang sempat kita rasakan kini berganti lagi dengan tatap layar.
Namun, mengenai rasa bosan ini, Paus Fransiskus, pemimpin umat Katolik sedunia, pernah menyampaikan pesan yang menyentuh. ”Saya tidak menganggap tinggal di rumah bersama orang-orang yang kita cintai sebagai isolasi atau lockdown. Isolasi adalah yang dialami mereka yang benar-benar sakit di rumah sakit. Berhenti mengatakan kamu bosan, sedih tidak bisa keluar rumah, sementara semua orang yang berada di rumah sakit ingin pulang ke rumah,” katanya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, saat kasus penularan Covid-19 terus meningkat, banyak individu sehat yang diminta tinggal di rumah atau karantina mandiri. Seperti halnya saat PPKM darurat selama dua pekan ini.
Tinggal di rumah saja dalam periode cukup lama, menurut WHO, bukannya tanpa tantangan. Posisi aktivitas yang sama, terutama duduk, bisa berdampak negatif bagi kesehatan dan juga kualitas kehidupan individu.
WHO menyarankan aktivitas fisik intensitas sedang selama 150 menit dalam sepekan atau 75 menit untuk aktivitas yang intensitasnya lebih berat. Ini setara 20-an menit aktivitas per hari. Dengan cara ini, setidaknya individu bisa berkontribusi untuk tidak menambah jumlah orang sakit.
Setelah selama beberapa waktu berada di masa karantina, orang-orang mulai kehabisan serial untuk diikuti secara maraton, kemampuan dan hobi baru untuk dipelajari, serta tugas-tugas untuk dilakukan. Kendati demikian, internet tidak kering ide untuk membuat orang tetap bisa sibuk atau tertawa sejenak.
Jika berselancar di internet, ratusan ide—yang kadang terasa konyol—dilontarkan untuk menemani masa karantina. Mulai dari belajar tenis meja virtual, menekuni silsilah keluarga hingga ke nenek moyang, menyempurnakan teknik merangkai bunga, dan mempelajari beberapa bahasa asing sekaligus.
”Momen di rumah saja benar-benar melambatkan orang. Mereka punya kesempatan untuk mengerjakan hal-hal yang semula sulit dikerjakan. Ini jadi kesempatan untuk menata ulang apa yang berhasil dan apa yang mungkin tidak berhasil dalam hidup,” kata Nakia Hamlett, pakar kesehatan mental pada Departemen Psikologi, Connecticut College, seperti dikutip CNBC.
Jadi, seperti disampaikan Paus Fransiskus, ini masa untuk melihat sisi lain dari kondisi karantina dan pembatasan ini, bukan sebagai ”hukuman”, melainkan berkah. Bangsa-bangsa lain sudah berhasil melewatinya, kini waktunya bagi Indonesia. (AFP)