Afrika, Benua yang Tertinggal (Lagi)
Benua Afrika, sekali lagi, menjadi wilayah tertinggal dalam hal vaksinasi Covid-19. Jumlah warga yang telah divaksin kurang dari 1,5 persen dari total populasi yang mencapai 1,3 miiar jiwa. Kehancuran di depan mata.

Seorang perempuan tengah mendapat penjelasan sebelum menjalani tes usap di sebuah klinik di Groblersdal, 200 kilometer timur laut Johannesburg, Afrika Selatan, 11 Februari 2021. Afrika Selatan menjadi negara dengan jumlah tertinggi kasus Covid-19. Sementara, jumlah warga yang divaksin belum mencapai 2 persen dari total populasinya.
Sebanyak 10 tempat tidur di sebuah klinik pribadi di Johannesburg semula hanya mengkhususkan diri pada pengobatan penyakit ginjal. Namun, beberapa hari terakhir, klinik itu akhirnya berubah menjadi lokasi darurat penanganan Covid-19 di ibu kota Afrika Selatan.
Bayanda Gumende, nefrolog di klinik tersebut, dikutip dari laman Al Jazeera, menuturkan, telepon membanjiri klinik yang dikelolanya, terutama dari keluarga dan calon pasien yang membutuhkan oksigen. Ketiadaan oksigen di lokasi lainnya memaksa mereka menghubungi klinik yang dikelola Gumende.
”Sangat menyakitkan, menguras emosi, melihat pasien terengah-engah. Beberapa berhasil selamat, melewati masa kritis, tetapi lainnya tidak. Tidak ada yang dapat Anda lalukan lagi. Anda tidak bisa menyelamatkan semua orang,” kata Gumende.
Sejak beberapa pekan terakhir, fasilitas kesehatan di Johannesburg kewalahan menghadapi peningkatan pasien Covid-19. Sabtu akhir pekan lalu, Afrika Selatan mencatat kasus harian teringgi sejak Januari 2021, yaitu mencapai 18.762 kasus. Angka kematian telah melewati 60.000 jiwa. Sejumlah ahli menyatakan, Afrika Selatan tengah berada pada fase ketiga penularan Covid-19.
Baca Juga: Varian Delta Meluas di Afrika Selatan, Ketersediaan Vaksin Mendesak
Saking tidak mampu menerima pasien baru, pemerintah dan tenaga kesehatan mentransfer warga Johannesburg yang terpapar Covid-19 ke rumah-rumah sakit di provinsi tetangga, seperti Provinsi Mpumalanga dan beberapa provinsi di wilayah barat laut Afsel. Sesampainya di rumah sakit di provinsi sebelah, pasien belum tentu bisa langsung mendapat ruang perawatan.
”Anda harus menunggu dua atau tiga jam ketika mereka mencoba mencari ruangan untuk pasien,” kata Lucky Mpeko, Direktur Layanan Ambulans QRS.
Ketidakmampuan fasilitas kesehatan di Johannesburg juga terkait dengan terbakarnya rumah sakit khusus Covid-19, RS Charlotte Maxeke. Rumah sakit yang bisa menampung hingga 1.000 tempat tidur itu terbakar pada April lalu. Hingga sekarang, rumah sakit itu belum beroperasi tanpa alasan yang jelas.
Profesor Salim Abdool Karim, seorang epidemolog dan mantan penasihat pemerintah untuk penanganan Covid-19, mengatakan, jalan keluar dari krisis ini adalah vaksinasi. Tidak ada jalan lain. ”Vaksinasi adalah bagian yang sangat penting dalam upaya mengendalikan virus. Kita harus menggabungkan vaksinasi dengan beberapa tindakan pencegahan lainnya agar penyebaran virus bisa terkendali,” tutur Karim.
Gelombang ketiga
Di Afrika Selatan, negara dengan ekonomi paling kuat di Benua Afrika, jumlah infeksi Covid-19 semakin meningkat setiap hari. Berdasarkan data Worldometers.info, jumlah kasus kini mendekati angka 2 juta kasus dengan tingkat kematian mencapai 60.264 jiwa.

Petugas menghalau seorang pria yang berusaha mendapatkan vaksinasi di Harare, Zimbabwe, Selasa (08/06/2021). Dalam perlombaan negara-negara di dunia melakukan vaksinasi Covid-19 secepat-cepatnya, Benua Afrika adalah yang terbelakang.
Benua dengan jumlah penduduk 1,3 miliar ini tengah berhadapan dengan gelombang ketiga Covid-19. Data dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Afrika (CDC Afrika), hingga Rabu (30/6), jumlah kasus di benua ini telah menyentuh angka 5,3 juta kasus dengan jumlah kematian nyaris mencapai 141.000 jiwa.
Direktur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) wilayah Afrika Matshidiso Moeti mengatakan, gelombang ketiga pandemi yang disebabkan varian delta menyebar lebih cepat dan menghantam lebih keras. Sejak awal Juni, WHO Afrika telah mencatat lonjakan kasus harian hingga 30 persen per hari di benua ini. ”Lonjakan terbaru bisa menjadi yang terburuk,” kata Moeti.
Baca Juga: Afrika Tak Sampai 1 Persen, AS-Eropa Timbun Vaksin
Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Afrika (CDC Afrika) John Nkengasong menggambarkan gelombang ketiga sebagai sebuah kondisi yang sangat brutal dan bisa sangat menghancurkan.

Menurut WHO, varian delta yang pertama kali terdeteksi di India telah dilaporkan berada di 14 negara Afrika, termasuk di Republik Demokratik Kongo dan Uganda. Namibia dan Zambia juga memperlihatkan kenaikan jumlah kasus yang signifikan. Presiden Liberia George Weah memperingatkan gelombang ketiga pandemi akan lebih mengkhawatirkan dibandingkan dengan varian-varian lainnya karena fasilitas kesehatan bisa berpotensi kolaps.
Baca Juga: Galang Solidaritas untuk Membantu Negara-negara Miskin
Kementerian Kesehatan Zambia, menurut CDC Afrika, telah melaporkan angka kematian yang tinggi. Jenazah pasien Covid-19 yang tidak tertangani menumpuk di kamar mayat. CDC Afrika menyebut Zambia kewalahan.
Vaksinasi terlambat
Di tengah pandemi, gejolak tidak pernah berhenti terjadi di benua ini. Belum usai konflik, peperangan yang berujung pada anak-anak yang kekurangan gizi dan bahkan pada bahaya malapetaka kelaparan yang mengancam jiwa, pandemi menjadi pukulan hebat.

Warga miskin tengah menantikan pembagian bantuan bahan pangan dari sebuah organisasi kemanusiaan, Ghous-e-aazam Welfare, di Kota Johannesburg, 5 Mei 2020, tanpa mengindahkan protokol kesehatan. Kini, Afrika Selatan menjadi negara dengan jumlah tertinggi kasus Covid-19, sedangkan jumlah warga yang divaksin belum mencapai 2 persen dari total populasinya.
Dikutip dari laman BBC, platform COVAX, platform yang didukung WHO dan lembaga multilateral lainnya untuk penyediaan dan distribusi vaksin global yang lebih adil, berencana memasok 600 juta vaksin ke Afrika tahun ini. Jumlah tersebut diyakini bisa memvaksin setidaknya 20 persen dari total populasi Afrika.
Akan tetapi, sejauh ini, menurut WHO, jumlah populasi Afrika yang telah divaksin kurang dari 1,5 persen, rasio terendah secara global. Afsel, negara dengan tingkat perekonomian yang lebih baik, tingkat vaksinasi belum mencapai 1 persen dari penduduk yang disarankan untuk divaksin.
Kondisi yang sama juga terjadi di Nigeria. Dengan penduduk 200 juta orang, negara ini baru mampu memvaksin 0,1 persen dari jumlah penduduknya. Menurut WHO, 90 persen negara-negara di Afrika akan kehilangan target bisa memvaksin 10 persen dari total populasi masing-masing pada September nanti.
Baca Juga: Pandemi Covid-19 Bisa Membuyarkan Pembangunan di Afrika
Beberapa negara gagal melaksanakan vaksinasi karena maslah logistik dan ketidakyakinan warganya terhadap vaksin itu sendiri. Di Malawi, contohnya, hampir 20000 dosis vaksin yang dikembangkan AstraZeneca dimusnahkan karena kedaluwarsa. Hal yang sama terjadi di Kongo dan Sudan Selatan dengan angka vaksin yang lebih besar, mencapai 2 juta dosis.
Dikutip dari laman WHO, sebanyak 18 negara Afrika telah menggunakan lebih dari 80 persen persediaan vaksin mereka dan delapan diantaranya telah kehabisan stok. Sebanyak 29 negara baru menggunakan 50 persen pasokan yang mereka dapatkan. Namun, dengan semua angka tadi, dari 2,7 miliar dosis vaksin yang sudah disebar ke seluruh dunia, angka vaksinasi di benua ini kurang dari 1,5 persen.
Baca Juga: Separuh Lebih Stok Vaksin Covid-19 Dikuasai Negara Kaya
”Orang-orang sekarat. Ini sebuah kondisi yang gila. Mengkhawatirkan,” kata Fatimah Hasan, seorang pengacara hak asasi manusia di Afrika Selatan.

Dua pria berjalan melintasi Long Street, salah satu pusat hiburan tersibuk dan paling populer dengan bar, klub, dan restoran di kota, dengan papan reklame ”Stay Home”, di Cape Town pada 3 April 2020.
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional Kristalina Georgieva mengkhawatirkan kondisi ini. ”Tanpa bantuan internasional, masa depan Afrika dan Sub-Sahara akan membawa kehancuran. Tanpa bantuan, kawasan ini berisiko tertinggal lebih jauh,” kata Georgieva.
Direktur Kedaruratan WHO Michael Ryan menyebut kenyataan yang dialami warga Afrika sebagai konsekuensi dari distribusi vaksin yang tidak adil.
Baca Juga: Multilateralisme Vaksin
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi saat berbicara dengan negara-negara anggota G-20 mengingatkan, Covid-19 memiliki dampak besar terhadap Afrika, yaitu kesehatan, sosial ekonomi, dan berujung pada semakin lebarnya kesenjangan antara Afrika dan belahan dunia lainnya. Perspektif negara-negara maju memberikan ”bantuan” atau mengulurkan tangan, kata Retno, harus diubah dengan perspektif lain, yaitu kemitraan. Dalam konteks ketersediaan vaksin, menurut Retno, hal itu bisa dilakukan melalui The Partnership for Africa Vaccine Manufacturing Initiative.
Beberapa lembaga sudah menyatakan tertarik untuk membantu Afrika dalam proses produksi vaksin sendiri. International Finance Corporation (IFC), bekerja sama dengan lembaga bantuan keuangan Pemerintah Jerman (DFG) dan lembaga bantuan keuangan Pemerintah AS (DFC) sepakat menggelontorkan dana untuk membantu pengembangan vaksin di Afrika. Uni Eropa juga sepakat menggelontorkan dana hingga 1 miliar euro untuk mengembangkan vaksin, obat-obatan, dan peralatan medis lainnya di Afrika.

Seorang warga di wilayah Sahel, Afrika. Lebih dari 5 juta warga di wilayah itu saat ini terancam kelaparan berat di tengah mulai merebaknya pandemi Covid-19 dan ancaman kekerasan senjata.
WHO, bekerja sama dengan Pfizer-BioNTech dan Moderna, juga menginisiasi pusat transfer teknologi vaksin, yang memungkinkan perusahaan Afrika mulai memproduksi vaksin mRNA dalam waktu sembilan hingga 12 bulan.
Namun, kendalanya juga besar, terutama dalam hal bahan baku, bahan dasar vaksin yang kini dikuasai oleh India. Selain itu, transfer teknologi untuk memproduksi vaksin juga membutuhkan waktu. Pengembangan vaksin di Afrika kini berkejaran dengan waktu, terutama dengan jumlah kasus yang semakin meningkat.
Untuk jangka panjang, investasi pengembangan vaksin di Afrika mungkin menjanjikan. Selain mengurangi tingkat ketergantungan, Afrika akan menjadi lebih siap apabila pada masa yang akan datang menghadapi pandemi yang serupa.
Yang kini dibutuhkan adalah uluran tangan dari negara-negara maju, yang menguasai vaksin dalam jumlah besar, kepada rakyat Afrika. Seperti yang disampaikan Retno Marsudi dalam pertemuan para menlu G-20 di Italia. ”Kemitraan global saat ini menjadi sangat penting agar dunia bisa pulih bersama, lebih kuat. Recover together...recover stronger,” demikian Retno.