Studi Awal Kombinasi Vaksin Covid-19 Menjanjikan Perlindungan Tinggi
Penelitian awal Universitas Oxford di Inggris memperlihatkan pemberian kombinasi vaksin Pfizer dan AstraZeneca memberikan perlindungan yang cukup tinggi bagi para penggunanya. Studi lebih lanjut diperlukan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
LONDON, SELASA — Sejumlah ahli di Inggris kini tengah melakukan penelitian efektivitas vaksinasi campuran dari beberapa jenis vaksin Covid-19 yang beredar di pasaran dan respons kekebalan yang ditimbulkannya. Sejauh ini hasilnya cukup menggembirakan.
Hasil awal studi vaksin yang telah dilakukan sejak Februari 2021 oleh para peneliti Universitas Oxford memperlihatkan, menyuntikkan dua vaksin yang berbeda dalam jangka waktu tertentu bisa memicu respons kekebalan tubuh yang lebih baik terhadap virus SARS-CoV-2, penyebab Covid-19.
Profesor Matthew Snape, ahli di balik uji coba tersebut, mengatakan, temuan awal para peneliti bisa memberikan fleksibilitas pemanfaatan vaksin bagi warga dunia yang kini tengah berjuang untuk menghentikan laju infeksi.
”Hal ini tentu menggembirakan. Bahwa antibodi dan respons sel-T terlihat bagus dengan jadwal tertentu. Tetapi, saya pikir, untuk sementara, kita semua harus sepakat dengan penjadwalan vaksinasi yang sudah ada, kecuali ada alasan yang sangat bagus untuk sebaliknya,” kata Snape dalam konferensi pers, Senin (28/6/2021). Ia menambahkan, meski menunjukkan hasil yang positif, terlalu dini bagi mereka untuk merekomendasikan vaksinasi campuran saat ini kepada para pengambil kebijakan.
Penelitian vaksinasi campuran yang disebut Com-COV menguji coba penggunaan campuran dua vaksin, yaitu vaksin Pfizer-BioNTech dan AstraZeneca-Universitas Oxford, dua vaksin yang dinilai efektif untuk ”melawan” Covid-19.
Dikutip dari laman New York Times, pada tahap pertama penelitian, Profesor Snape dan tim peneliti menyuntik 830 sukarelawan dengan satu dari empat kombinasi vaksin. Beberapa orang mendapat dua dosis vaksin Pfizer atau AstraZeneca, seperti yang sudah berlaku di seluruh dunia. Yang lainnya mendapat kombinasi vaksin, satu dosis vaksin Pfizer sebagai vaksin pertama dan satu dosis AstraZeneca sebagai dosis kedua atau sebaliknya.
Untuk sukarelawan gelombang pertama, para peneliti memberikan jeda waktu empat minggu antara suntikan pertama dan suntikan kedua. Studi menemukan bahwa vaksin AstraZeneca memberikan perlindungan yang lebih kuat jika dosis kedua diberikan dengan jeda sekitar 12 minggu atau tiga bulan dari dosis pertama, yang membuat para peneliti menjalankan uji coba terpisah dengan vaksin ini dan baru akan mengumumkan hasilnya pada Juli.
Tim peneliti juga mengambil sampel darah para sukarelawan untuk mengukur respons imun yang ditimbulkan. Hasil studi menemukan bahwa mereka yang mendapatkan dua dosis vaksin Pfizer-BioNTech menghasilkan tingkat antibodi sekitar 10 kali lebih tinggi dari mereka yang mendapat dua dosis vaksin AstraZeneca-Oxford, dosis yang kini berlaku umum di seluruh dunia.
Hasil penelitian terhadap sukarelawan yang mendapatkan vaksin Pfizer sebagai dosis pertama diikuti AstraZeneca sebagai dosis kedua menunjukkan tingkat antibodi sekitar lima kali lebih tinggi dibandingkan dengan dua dosis AstraZeneca. Sementara sukarelawan yang disuntik vaksin AstraZeneca sebagai dosis pertama dan diikuti oleh vaksin Pfizer mencapai tingkat antibodi setinggi mereka yang mendapat dua dosis Pfizer.
Profesor Snape mengatakan, perbedaan akan lebih kecil pada sukarelawan yang mendapatkan dosis kedua setelah dua pekan, terutama karena vaksin AstraZeneca memiliki lebih banyak waktu untuk memperkuat efeknya.
Studi ini juga menemukan bahwa menggunakan vaksin yang berbeda menghasilkan tingkat sel kekebalan yang lebih tinggi yang siap menyerang virus korona daripada hanya mendapat dua dosis vaksin yang sama. Dia belum bisa menjelaskan secara detail mengapa pencampuran itu memiliki keuntungan sangat tinggi pada penggunanya. ”Ini sangat menarik,” ujarnya.
Tim peneliti juga tengah melakukan studi serupa dengan produk vaksin yang berbeda, yaitu vaksin Moderna dan Novavax.
Untuk saat ini, ujarnya, tindakan terbaik tetap mendapatkan dua dosis vaksin yang sama. Uji klinis besar telah dengan jelas menunjukkan bahwa strategi ini mengurangi kemungkinan terkena Covid-19.
Namun, apabila dosis vaksin kedua tidak mungkin diberikan karena masalah ketersediaan dan distribusi serta kekhwatiran soal efek samping, khususnya pembekuan darah, warga bisa memiliki alternatif untuk beralih ke vaksin yang lain.
”Ini memberikan bukti meyakinkan yang seharusnya berhasil,” kata Dr Snape.
Dr Kate O’Brien, Direktur Unit Vaksin Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, vaksin yang kini beredar di dunia dirancang untuk merangsang sistem kekebalan tubuh manusia untuk menghasilkan antibodi penangkal virus. Melihat mekanisme kerja vaksin, dia cukup yakin penggunaan vaksin yang terkombinasi menjanjikan perlindungan.
”Berdasarkan prinsip-prinsip dasar bagaimana vaksin bekerja, kami berpikir bahwa rejimen mix-and-match akan berhasil,” katanya. (AP/Reuters)