Indonesia, di antara AS dan China
Indonesia berada di antara dua tarikan kekuatan global, Amerika Serikat dan China. Dalam politik luar negeri bebas aktif untuk kepentingan domestik dan kawasan, Indonesia harus selalu mencari keseimbangan.
Tarikan dua kekuatan global di kawasan tidak lantas membuat Indonesia terseret. Indonesia memilih menjalin kerja sama dengan semua pihak untuk tetap menjaga peluang demi kesejahteraan bersama.
Pada September tahun lalu, Angkatan Udara China merilis video yang menunjukkan simulasi serangan oleh pengebom H-6. Pengebom berkemampuan nuklir itu diperlihatkan melesakkan rudal ke landasan pacu Pangkalan Angkatan Udara Andersen, Guam, sebuah fasilitas militer Amerika Serikat (AS) yang memiliki peran kunci di Asia Pasifik.
Collin Koh, peneliti pada Institut Studi Pertahanan dan Strategis Singapura, mengatakan, video itu ditujukan untuk memamerkan pertumbuhan kekuatan China, terutama dalam proyeksi kekuatan jangka panjang. ”Video itu dimaksudkan untuk memperingatkan Amerika bahwa posisi pertahanan yang dianggap paling aman seperti Guam dapat terancam ketika konflik di kawasan, baik terkait Taiwan maupun Laut Cina Selatan, meletus,” kata Collin.
Presiden AS Joe Biden sebagaimana para pendahulunya menegaskan pentingnya kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.
Lima bulan kemudian, dalam perbincangan melalui telepon dengan Presiden China Xi Jinping, Presiden AS Joe Biden sebagaimana para pendahulunya menegaskan pentingnya kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka. Biden sendiri, dalam sebuah kunjungan ke Pentagon, menegaskan pentingnya menghadapi tantangan baru yang dikatakannya ditimbulkan oleh China. Bahkan, dalam kesempatan itu, Biden mengumumkan pembentukan departemen baru yang akan meninjau semua aspek pendekatan keamanan AS atas China.
”Kita perlu menghadapi tantangan yang berkembang yang ditimbulkan oleh China untuk menjaga perdamaian dan mempertahankan kepentingan kita di Indo-Pasifik dan secara global,” kata Biden.
Tak pelak tarik-menarik kepentingan kedua raksasa itu menempatkan kawasan Indo-Pasifik, khususnya Laut China Selatan, sebagai salah satu ”titik panas”.
Dalam pertarungan pengaruh dan dinamika geo-politik di kawasan, Indonesia memilih tidak condong kepada satu sisi. Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Jenderal (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan, dalam wawancara Jumat (25/6/2021), menegaskan, Indonesia berpegang pada prinsip bebas dan aktif dalam menjalankan politik luar negeri. Indonesia memilih mengedepankan kepentingan nasional, yakni pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, yang pada gilirannya memungkinkan membangun kekuatan ekonomi dan pertahanan secara mandiri.
Dalam bidang ekonomi dan teknologi, misalnya, Indonesia menjalin kerja sama dengan China dan Korea Selatan (Korsel). Wujudnya, antara lain, dalam pengembangan pusat industri di Morowali (Sulawesi Tengah), Weda Bay (Maluku), dan Virtue Dragon (Sulawesi Tenggara).
Baca juga : Investor Diundang Masuk Kawasan Ekonomi Khusus
Ada pula Tanah Kuning Industrial Park (Kalimantan Utara) yang diproyeksikan menjadi Green Industrial Park terbesar di dunia seluas 30.000 hektar serta Kawasan Ekonomi Khusus Galang Batang di Kepulauan Riau dengan nilai investasi hampir 117 miliar dollar AS.
”Indonesia sekarang penghasil stainless steel nomor dua di dunia dari pusat industri di Sulawesi. Berbagai kawasan industri strategis dibangun di Halmahera, Morotai, Obi, hingga Bintan dan Natuna. Politeknik dibangun untuk putra daerah yang sambil kuliah juga bekerja di pusat-pusat industri, seperti di Morowali, Sulawesi Tengah. Ekonomi akan tumbuh merata di luar Pulau Jawa. Beberapa industri tersebut akan menjadi pusat industri penting, seperti baterai litium yang akan menjadi penggerak mobil listrik dan electric vehicle yang akan digunakan di seluruh Eropa Barat tahun 2032,” kata Luhut.
Berbagai industri yang sedang berkembang dan dibangun, menurut Luhut, menjadikan Indonesia sebagai pemain dalam rantai pasok global dan tidak hanya mengekspor bahan mentah seperti terjadi selama ini. Kerja sama ekonomi dan teknologi dengan China dan Korsel itu berjalan pesat. Indonesia juga tengah menunggu pembangunan industri sejenis dengan Jepang dan AS.
Sisi menarik dari kerja sama Indonesia-China, Luhut melanjutkan, adalah kemudahan dalam alih teknologi. ”Tentu ada yang mereka masih simpan, tetapi sejauh ini alih teknologi yang diberikan menguntungkan kita,” kata Luhut.
China tampaknya mengedepankan prinsip jie ji sheng dan atau meminjamkan ayam petelur untuk menghasilkan telur yang hasilnya dibagi bersama antara pemilik ayam dan mitra. Menurut mantan Direktur Lee Kwan Yew School of Public Policy, Kishore Mahbubani, prinsip itu merupakan bagian dari budaya di Asia Timur yang dibawa dalam praktik kerja sama internasional yang saling menguntungkan. Prinsip itu mengesampingkan pola Perang Dingin, yakni konfrontasi senjata.
China tampaknya mengedepankan prinsip jie ji sheng dan atau meminjamkan ayam petelur untuk menghasilkan telur yang hasilnya dibagi bersama antara pemilik ayam dan mitra.
Akan tetapi, ada sisi lain yang menarik, menurut Kishore, bahwa secara budaya politik, Indonesia dan sejumlah negara di ASEAN memiliki kedekatan dengan AS. Namun, realitas pertumbuhan ekonomi dan hubungan sosial ekonomi menempatkan Indonesia dan ASEAN lebih dekat dengan China. Hal itu terjadi seiring dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi China, selain kedekatan geografis.
Meskipun demikian, Indonesia tidak lantas condong pada satu sisi. Menurut Luhut, kerja sama Indonesia-AS juga berlangsung erat. Indonesia menjalin komunikasi intensif dengan AS dalam isu penanganan perubahan iklim. Menurut Luhut, Indonesia adalah pemilik karbon kredit terbesar di dunia yang menjadi mitra penting AS.
Sementara itu, aspek lain yang tak kalah penting dari dinamika geopolitik kawasan adalah stabilitas dan keamanan. Meskipun tidak memiliki niat memproyeksikan kekuatan militernya di kawasan, ketegangan yang muncul sebagai ekses tarik-menarik kepentingan di kawasan perlu mendapat perhatian.
Mantan Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Madya (Purn) Fred Lonan mengatakan, idealnya kebutuhan pertahanan Indonesia bukanlah berdasar pada kebutuhan minimal tetapi sebagai angkatan perang operasional.
Baca juga : Anggaran Fantastis Modernisasi Alutsista
”Kita harus mengawal wilayah dengan luas (setara) dari London sampai Kuwait. Diperlukan kekuatan laut, dirgantara, dan darat, yang terpadu dan modern untuk menghadapi perkembangan kawasan dalam 20-30 tahun ke depan, seperti dilakukan negara tetangga, Singapura, juga Australia, China, Tiongkok, Amerika Serikat, dan lain-lain,” kata Fred.
Menurut dia, anggaran kurang dari lima miliar dollar AS per tahun untuk kekuatan maritim dan dirgantara sangatlah minim.
Dihubungi terpisah, peneliti senior Center for Strategic and International Studies (CSIS), Evan A Laksmana, menilai, dalam konteks pengembangan kekuatan pertahanan, Indonesia belum memiliki pusat strategi sebagaimana Dewan Keamanan Nasional di AS yang bisa mengintegrasikan semua opsi strategis, dari ekonomi, diplomasi, hingga militer. ”Akibatnya, strategi pertahanan cenderung berkembang di dalam sektor pertahanan sendiri,” kata Evan.
Dengan kondisi demikian, menurut Evan, persoalan pertahanan berjalan di tempat. Pengembangan pertahanan hanya mengikuti arus keseharian dan batasan anggaran, bukan perencanaan strategis jangka panjang.
Baca juga : Kualitas Alutsista Pengaruhi Prajurit
”Untuk itu, ke depan, Indonesia butuh pengembangan kekuatan masa depan yang tidak hanya fokus pada pengadaan alutsista dan industri pertahanan, tetapi juga pengembangan organisasi (software) dan personel (brainware), mulai dari pendidikan, latihan, hingga doktrin dan konsep operasi. Ini sesuatu yang hingga kini Indonesia belum dikembangkan secara sistematis dan strategis,” kata Evan.
Terkait kawasan, Evan menambahkan, posisi bebas aktif Indonesia memang mengharuskan Indonesia untuk tidak memilih antara China dan AS. ”Kita harus melakukan kerja sama dengan keduanya meski tentu dalam bidang dan skala yang berbeda-beda. Kerja sama pertahanan dengan China tidak akan bisa dalam waktu dekat ’menggantikan’kerja sama pertahanan kita dengan AS dan Eropa, misalnya. Sama halnya dengan perdagangan dan investasi, AS juga akan sangat sulit ’menggantikan’ posisi China di Indonesia,” ujarnya. (AP/AFP/REUTERS/JOS)