Tokoh-tokoh Kashmir Tuntut Modi Kembalikan Status Semiotonomi
Sebagian pemimpin Jammu-Kashmir yang pro-New Delhi meminta PM Narendra Modi mengembalikan status semiotonomi atas wilayah mereka setelah status itu dibekukan pada 2019.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
NEW DELHI, JUMAT — Perdana Menteri India Narendra Modi telah bertemu dengan para pemimpin wilayah Jammu-Kashmir untuk pertama kali setelah mencabut status semiotonomi wilayah itu pada Agustus 2019. Namun, pertemuan itu berakhir tanpa ada kesepahaman soal status Jammu-Kashmir.
Modi menyerukan langkah-langkah untuk mempercepat pemilu wilayah di Jammu-Kashmir. Sekalipun sepakat dengan seruan Modi, sebagian politisi pro-New Delhi itu meminta pengembalian status semiotonomi atas Jammu-Kashmir. Bagi Modi, perubahan status itu sudah final untuk kemajuan pembangunan ekonomi dan masyarakat di wilayah tersebut.
Negara Bagian Jammu-Kashmir, satu-satunya kawasan berpenduduk mayoritas Muslim di India, telah berada di bawah kendali New Delhi. Kawasan itu telah dibagi menjadi dua wilayah federal: Jammu-Kashmir dan Ladakh. ”Pembagian itu sebagai langkah penting untuk kemajuan pembangunan kawasan,” tulis kantor berita AFP, Jumat (25/6/2021), mengutip klaim New Delhi.
Pertemuan Modi dengan sekitar 14 pemimpin sejumlah partai politik lokal Jammu-Kashmir digelar di ibu kota New Delhi, Kamis (24/6/2021). Seusai pertemuan, Kamis malam, Modi mencuit di Twitter bahwa pertemuan ini adalah ”langkah penting dalam upaya berkelanjutan menuju Jammu dan Kashmir yang maju dan progresif”.
”Pembatasan harus dilakukan dengan cepat sehingga pemilu wilayah bisa berjalan,” ujar Modi, mengacu pada penyampaian ulang batas kursi majelis untuk mewakili perubahan populasi.
Tidak ada keputusan besar yang diumumkan setelah pertemuan antara Modi dan para pemimpin lokal Jammu-Kashmir itu. Banyak pemimpin Jammu-Kashmir mengatakan, mereka mengulangi lagi tuntutan mereka bahwa New Delhi harus mengembalikan status yang sudah diubah pada 5 Agustus 2019.
Pembagian wilayah itu, oleh New Delhi, diklaim untuk mengakhiri pemberontakan bersenjata selama tiga dekade yang sudah menewaskan ribuan warga sipil.
Para ahli mengatakan, pertemuan tersebut untuk menangkal kritik yang meningkat di dalam dan luar negeri setelah pemerintah nasionalis Modi mencabut status khusus Negara Bagian Jammu-Kashmir, 5 Agustus 2019. Keputusan Modi itu juga meniadakan perlindungan hak warisan atas tanah dan lapangan pekerjaan bagi penduduk lokal. Keputusan itu memantik kemarahan warga.
Sejak Jammu-Kashmir dibagi jadi dua wilayah federal, New Delhi sudah memberlakukan banyak perubahan administratif melalui UU baru. Hal itu memicu kebencian dan kemarahan masyarakat karena banyak yang menyamakan langkah Modi dengan kolonialisme baru atas pemukim.
Modi menyebut perubahan tersebut dilakukan untuk mendorong pembangunan ekonomi dan sepenuhnya mengintegrasikan Kashmir dengan India. Kashmir yang mayoritas Muslim merupakan wilayah yang menjadi obyek persengketaan dua negara berkekuatan nuklir, India dan Pakistan. Masing-masing dari dua negara itu mengklaimnya secara keseluruhan atas wilayah tersebut.
Pemberontak telah berperang melawan pemerintahan India sejak 1989. Sebagian besar penduduk Muslim Kashmir mendukung tujuan pemberontak agar wilayah itu dapat bergabung menjadi satu wilayah dengan Pakistan atau dapat berdiri sendiri sebagai negara merdeka.
Menyadari sensitifnya isu tersebut, Modi segera menggelar pertemuan dengan para pemimpin wilayah Jammu-Kashmir. Modi memimpin pertemuan dengan 14 pemimpin politik kawasan Himalaya, termasuk anggota partai Modi sendiri.
Di antara mereka yang diundang adalah tiga mantan menteri besar Jamu-Kashmir, yakni Mehbooba Mufti, Farooq Abdullah dan putranya, Omar Abdullah. Mufti adalah mitra koalisi regional Partai Bharatiya Janata (BJP) pimpinan Modi selama hampir dua tahun setelah pemilu lokal pada 2016.
Menteri Dalam Negeri India Amit Shah dan administrator New Delhi di kawasan Jammu-Kashmir, Manoj Sinha, juga menghadiri pertemuan tersebut.
Meskipun pro-India dan dilihat oleh banyak orang di Kashmir sebagai kolaborator New Delhi, Amit Shah tahun lalu menyebut ketiga mantan menteri besar Jamu-Kashmir itu sebagai ”geng”. Sementara beberapa orang lain menyebut mereka sebagai ”elemen antinasional”. Beberapa pemimpin senior BJP juga menjuluki ketiga tokoh itu sebagai orang yang tidak tersentuh politik akibat keputusan 2019.
Tiga orang itu dan beberapa pemimpin lain yang diundang, termasuk di antara ribuan yang ditangkap dan ditahan selama berbulan-bulan tahun 2019. Mereka telah mengkritik kebijakan India di Kashmir dan membentuk aliansi dengan empat partai lain untuk melawan New Delhi.
Tuntutan Aliansi Kashmir
Shah mengatakan, pemerintah ”menekankan untuk memperkuat proses demokrasi” di wilayah itu. Juru bicara aliansi 14 tokoh itu, Yousuf Tarigami, mengaku mereka tidak mendapatkan jaminan konkret dari Modi dan Shah meskipun ”mendengar keprihatinan, tuntutan, dan aspirasi kami”.
Aliansi Kashmir tetap pada tuntutan mereka. Mereka memberi tahu Modi selama pertemuan bahwa kekuatan semiotonom di kawasan itu harus dipulihkan. ”Perubahan inkonstitusional, ilegal, dan tidak bermoral India di kawasan itu tidak dapat kami terima,” kata Mufti.
Menurut Mufti, dia mengatakan kepada para pemimpin India bahwa New Delhi juga harus berbicara dengan negara tetangga Pakistan dan mencari solusi untuk perselisihan tersebut.
”Kami memberi tahu PM bahwa kami tidak setuju dengan dilakukannya pada 5 Agustus 2019,” ujar Abdullah kepada NDTV India merujuk pencabutan status semiotonomi Kashmir. ”Kami belum siap menerimanya. Kami akan melawan ini di pengadilan,” ucapnya.
Akan tetapi, beberapa pemimpin lain berusaha menghindari pemulihan status khusus. Mereka malah menekankan penyelenggaraan pemilu, keamanan hak atas tanah, dan pekerjaan bagi rakyat. (AFP/REUTERS/AP)