PBB Kembali Desak Israel Hentikan Pembangunan Permukiman Yahudi
PBB mengecam pengembangan dan perluasan permukiman warga Yahudi yang terus terjadi di wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza. Meski dilarang dan dianggap melanggar hukum internasional, Israel bergeming.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
NEW YORK, JUMAT — Perserikatan Bangsa-Bangsa menuding Israel secara terang-terangan melanggar hukum internasional dengan memperluas pembangunan permukiman Yahudi di wilayah Tepi Barat dan Jerusalem Timur. Permukiman warga Yahudi tidak hanya ilegal di dalam pandangan hukum internasional, tetapi juga berdasarkan hukum Israel.
PBB menuntut Israel menghentikan ekspansi dan pembangunan permukiman warga Yahudi di dua kawasan tersebut. Wilayah Tepi Barat dan Jerusalem Timur ingin dimasukkan oleh Palestina sebagai bagian dari wilayah negara Palestina merdeka nantinya.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dan Utusan PBB untuk Timur Tengah Tor Wennesland, dalam pertemuan dengan Dewan Keamanan (DK) PBB, Kamis (24/6/2021) waktu AS atau Jumat dini hari WIB, melaporkan penerapan resolusi DK PBB 2016 yang menyatakan bahwa permukiman warga Yahudi tidak memiliki validitas hukum. Menanggapi laporan Guterres kepada DK PBB, Wennesland mengatakan, dirinya sangat terganggu dengan persetujuan Pemerintah Israel menambah 540 rumah baru di permukiman Har Homa di Jerusalem Timur dan penambahan beberapa pos pengawasan di sekitar permukiman tersebut.
”Saya sekali lagi menggarisbawahi, dengan tegas, bahwa permukiman Israel merupakan pelanggaran mencolok terhadap resolusi PBB dan hukum internasional. Langkah itu merupakan hambatan solusi dua negara dan perdamaian yang adil, langgeng, dan komprehensif. Pelaksanaan semua aktivitas permukiman harus segera dihentikan,” kata Wennesland.
Dia juga menambahkan, tindakan pembangunan permukiman Yahudi juga ilegal di bawah hukum Israel. Israel membantah pernyataan bahwa permukimannya ilegal.
Baik Guterres dan Wennesland juga meminta Pemerintah Israel mengakhiri pembongkaran rumah-rumah milik warga Palestina dan properti lainnya serta pengusiran mereka, yang dipandang sebagai jendela bagi terciptanya konflik baru antara Palestina dan Israel. Keduanya juga mendesak agar Pemerintah Israel tidak memberikan persetujuan kepada komunitas Yahudi untuk membangun permukiman mereka dan bahkan memenuhi semua kebutuhan pembangunan permukiman tersebut.
Resolusi Desember 2016 tidak hanya membahas soal pengembangan dan permukiman warga Yahudi, tetapi juga menyerukan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mencegah semua tindakan kekerasan atas warga sipil. Selain itu, resolusi yang tidak disepakati oleh AS tersebut mendesak dua pihak bertikai, Israel dan Palestina, untuk menahan diri dari segala tindakan provokatif, hasutan dan retorika yang bisa memicu munculnya konflik.
Resolusi itu juga meminta semua pihak memulai negosiasi mengenai status akhir dan mendesak upaya diplomatik regional, internasional, yang lebih intensif untuk membantu mengakhiri konflik Palestina-Israel yang telah berlangsung puluhan tahun dengan tawaran dua negara sebagai solusinya. Kini, empat tahun berlalu dan resolusi DK PBB 2016 itu diabaikan oleh Israel.
Rapuh
Periode Maret-Juni adalah periode dengan eskalasi kekerasan yang mengkhawatirkan. Di dalam laporan itu disebutkan, skala dan intensitas kekerasan antara faksi-faksi Palestina di Gaza dan Israel tidak pernah terlihat selama bertahun-tahun.
Wennesland menilai, gencatan senjata setelah perang 11 hari di Gaza bulan lalu masih sangat rapuh. PBB bekerja sama dengan Israel, Palestina, dan dimediasi oleh Mesir berupaya terus memperkuat gencatan senjata, termasuk memungkinkan masuknya bantuan darurat kemanusiaan untuk menstabilkan kondisi di Gaza.
Dalam laporannya kepada DK PBB, Guterres mengatakan, akibat perang itu, 295 warga Palestina, termasuk 42 perempuan dan 73 anak-anak, tewas akibat serangan pasukan keamanan Israel. Sebanyak 10.149 orang terluka selama demonstrasi, bentrokan hingga operasi penangkapan, serangan udara, serta insiden lainnya di Gaza, Tepi Barat, dan Jerusalem Timur.
Warga Israel juga terdampak. Sembilan warga Israel, termasuk dua anak, tewas dan 857 orang lainnya terluka. Dua warga asal India dan Thailand di Israel juga tewas dalam perang Gaza, Mei lalu.
Perang Gaza adalah eskalasi permusuhan terburuk sejak 2014 dengan kelompok-kelompok bersenjata Palestina menembakkan lebih dari 4.000 roket dan proyektil ke arah Israel. Sementara pasukan Israel melancarkan lebih dari 1.500 serangan dari udara, darat, dan laut menyasar Jalur Gaza, kata Guterres yang mengutip sumber-sumber Israel.
”Saya mendesak semua pihak untuk menahan diri dari langkah dan provokasi sepihak, mengambil langkah-langkah untuk mengurangi ketegangan, dan membiarkan upaya ini berhasil,” kata Wennesland dalam sidang DK PBB. ”Setiap orang harus melakukan bagian tugas mereka untuk memfasilitasi diskusi yang sedang berlangsung guna menstabilkan situasi di lapangan dan menghindari eskalasi dahsyat lainnya di Gaza,” ujarnya.
Wennesland meminta semua faksi Palestina ”Untuk melakukan upaya serius untuk memastikan penyatuan kembali Gaza dan Tepi Barat di bawah satu pemerintahan nasional yang sah, demokratis,” katanya. Ia menambahkan bahwa Gaza harus tetap menjadi bagian dari negara Palestina dan solusi dua negara.
Pelonggaran perbatasan
Mulai Jumat (25/6/2021), Israel akan membuka kembali Perbatasan Kerem Shalom, lalu lintas barang, dan memperluas zona penangkapan ikan Gaza. Bahan mentah untuk kebutuhan industri akan diizinkan untuk masuk ke Gaza.
Seperti dilansir laman media Israel, Times of Israel, selain sedikit memberikan kelonggaran aktivitas industri di Gaza, militer Israel juga akan kembali mengizinkan nelayan Palestina untuk memperluas wilayah tangkapnya dari semula 6 mil laut atau sekitar 11 kilometer menjadi 9 mil laut atau 16,7 kilometer.
Menteri Pertahanan Benny Gantz menegaskan bahwa pihaknya tidak akan memberikan kelonggaran terlalu besar bagi warga Palestina untuk bergerak, kecuali kelompok Hamas membebaskan dan mengembalikan Avera Mengistu, Hisham al-Sayed, dan sisa-sisa pasukan IDF Hadar Goldin dan Oron Shaul yang tewas pada 2014. Hamas, yang diyakini telah menahan mereka selama lebih dari enam tahun, telah menolak kondisi seperti itu. ”Operasi Penjaga Tembok berakhir, tetapi belum selesai,” kata Gantz. (AP)