Situasi keamanan yang memburuk membuat militer AS berpikir untuk menyisakan sejumlah anggotanya untuk berjaga di Kabul, Afghanistan. Sementara pasukan pemerintah mulai kewalahan menghadapi gempuran kelompok Taliban.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
AFP PHOTO/SHAH MARAI
Sebuah helikopter Mi-17 milik Angkatan Udara Afghanistan terbang di atas tentara Afghanistan dalam latihan militer di Pusat Pelatihan Militer Kabul (KMTC) di pinggiran Kabul, Afghanistan, Selasa (17/10).
KABUL, JUMAT — Banyak pihak mengkhawatirkan, pertempuran yang terus berlangsung antara pasukan Pemerintah Afghanistan dan kelompok Taliban akan mengganggu proses penarikan mundur pasukan Amerika Serikat dan NATO. Untuk memastikan keamanan proses penarikan pasukan dan misi diplomatiknya, Pemerintah AS memutuskan untuk menyisakan sekitar 650 tentara di Afghanistan.
Selain itu, beberapa ratus personel pasukan tambahan AS akan tetap berada di Bandara Internasional kabul, membantu pasukan Turki menjaga keamanan untuk sementara waktu sampai operasi keamanan yang akan dipimpin militer Turki berjalan. Secara keseluruhan, AS berharap komando militer AS dan koalisi telah menarik sebagian besar pasukannya dari Afghanistan pada 4 Juli atau setidaknya tidak lama setelah itu, jauh sebelum tenggat 11 September seperti yang ditentukan Presiden AS Joe Biden.
Rencana itu disampaikan sejumlah pejabat yang mengetahuinya, tetapi meminta agar nama mereka dirahasiakan. Meski resmi dan belum ada kesepakatan dengan militer Turki, Kepala Staf Gabungan Jenderal Mark Milley mengaku dirinya akan sangat lega jika pengamanan di bandara itu dipegang oleh pasukan AS dan Turki.
”Saya merasa sangat nyaman bahwa keamanan di bandara Kabul akan dipertahankan dan Turki akan menjadi bagian dari itu,” kata Milley. Dia belum bisa berbicara lebih detail karena belum ada perjanjian antara militer AS dan militer Turki.
Namun, sejumlah pejabat yang mengetahui rencana tersebut mengatakan, militer AS telah sepakat untuk meninggalkan sistem pertahanan C-RAM (counter-rocket artillery and mortar) di bandara serta beberapa personel untuk mengoperasikannya. Militer AS juga berencana menugaskan beberapa awak pesawat untuk mengoperasikan helikopter militer mereka di Afghanistan.
AFP PHOTO/SHAH MARAI
Anggota Angkatan Darat Nasional Afghanistan (ANA) dalam latihan militer di Pusat Pelatihan Militer Kabul (KMTC) di pinggiran Kabul, Afghanistan, Selasa (17/10).
Menurut para pejabat, Turki setuju untuk mengamankan bandara selama menerima dukungan dari pasukan Amerika. Pejabat militer AS dan Turki bertemu di Ankara minggu ini untuk menuntaskan pengaturannya.
Sekretaris Pers Pentagon John Kirby dalam pernyataannya, Kamis (24/6/2021) malam, mengatakan, tidak ada perubahan rencana penarikan mundur pasukan AS dari Afghanistan. Semua berjalan seperti rencana semula.
”Tidak ada yang berubah tentang target itu. Situasinya dinamis dan kami meninjau perkembangannya setiap hari. Spekulasi oleh sumber yang tidak disebutkan namanya tentang potensi perubahan kebijakan tidak boleh ditafsirkan sebagai prediksi sebuah kebijakan,” katanya.
AP PHOTO/MARIAM ZUHAIB
Pasukan pendukung membersihkan puing kendaraan yang hancur akibat serangan bom mobil di Kabul, Afghanistan, 5 September 2019. Serangan itu menewaskan 12 orang, termasuk seorang tentara AS, diklaim oleh kelompok Taliban. Serangan itu dijadikan alasan oleh Presiden AS Donald Trump menghentikan perundingan damai antara AS dan Taliban, Sabtu (7/9/2019).
Dalam beberapa hari terakhir, pertempuran antara kelompok Taliban dan militer Afghanistan terjadi di wilayah utara negara itu. Taliban memenangi pertempuran tersebut dan menguasai beberapa distrik di wilayah itu. Di sejumlah wilayah, Taliban bahkan berhasil menguasainya tanpa ada perlawanan dan mengendalikan rute perdagangan utama Afghanistan-Tajikistan. Mereka juga menguasai distrik Koshi. Distrik tersebut berada dalam posisi strategis karena menjadi satu-satunya jalan penghubung antara Kabul dan wilayah utara Afghanistan.
Kamis lalu, juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, mengatakan kepada The Associated Press bahwa mereka berhasil merebut 104 distrik. Sebanyak 29 distrik di antaranya direbut dalam pertempuran baru-baru ini. Tambahan 29 distrik itu membuat kelompok Taliban mengklaim menguasai 165 dari 471 distrik di seluruh negeri.
Mobilisasi Nasional
Penguasaan wilayah yang semakin membesar oleh Taliban membuat pemerintahan Presiden Ashraf Ghani mengambil beberapa kebijakan drastis. Pertama, Ghani meluncurkan Mobilisasi Nasional, gerakan mempersenjatai warga sipil (militerisasi sipil).
Dengan disaksikan beberapa anggota Polisi Nasional Afghanistan, Rabu (23/6/2021), puluhan warga desa yang dipersenjatai berkumpul di Koh Daman, utara Kabul, untuk mendapatkan pengarahan. Sebagian memegang senjata otomatis dan sebagian lainnya membawa peluncur roket.
”Kami membutuhkan mereka. Kami tidak memiliki kepemimpinan, kami tidak memiliki bantuan,” kata Moman, salah satu polisi.
AFP/WAKIL KOHSAR
Dalam foto yang diambil pada 28 Maret 2021 ini tampak seorang anggota milisi ”Sangorian”, kelompok warga sipil anti-Taliban, tengah menembakkan senjatanya dalam pertempuran melawan Taliban di Desa Mukhtar, pos terdepan di pinggiran Lashkar Gah, Provinsi Helmand, Afghanistan.
Selain mempersenjatai warga sipil, Ghani juga memutuskan untuk menunjuk Bismillah Khan, mantan panglima perang, sebagai menteri pertahanan. Khan sebelumnya dicopot karena korupsi dan milisi yang dipimpinnya dikritik karena diduga melakukan pembunuhan di luar hukum. Pasukan Khan terlibat dalam perang saudara dengan Taliban pada tahun 1996.
Pengamat mengatakan langkah itu hanya membangkitkan kembali milisi yang akan setia kepada komandan lokal atau panglima perang sekutu Kabul yang kuat, yang menghancurkan ibu kota Afghanistan selama pertempuran antarfaksi tahun 1990-an dan menewaskan ribuan warga sipil.
”Fakta bahwa pemerintah telah mengeluarkan seruan untuk milisi adalah pengakuan yang jelas atas kegagalan pasukan keamanan pemerintah. Dan, tentu saja itu adalah tindakan yang putus asa,” kata Bill Roggio, peneliti senior pada Yayasan Pembela Demokrasi yang berbasis di AS.
Dia menambahkan, sulit baginya membayangkan milisi sipil yang dipersenjatai bisa bekerja lebih baik daripada pasukan keamanan dengan persenjataan lengkap dan terorganisasi. (AP)